RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Statemen Menag Fachrul Razi dalam salah satu acara webinar melalui Channel YouTube Kemenpan RB. kembali menimbulkan kontroversi dan membuat gaduh publik.
Pada acara tersebut Menag menyatakan bahwa radikalisme dapat masuk melalui anak yang good looking, penguasaan bahasa Arab yang bagus, hafiz (hafal Qur’an), hingga mereka masuk ke masjid dan menyebarkan idenya.
Pernyataan Menag ini karuan saja dan langsung menuai respon di tengah masyarakat. Tak sedikit yang mempertanyakan, mengingat sosok radikal yang digambarkan menag justru identik dengan sosok pemuda muslim yang Islami atau agamis. Pemuda yang dekat dengan Al Qur’an, bahasa arab dan masjid pasti dipahami oleh masyarakat sebagai pemuda yang sholih.
Dalam forum tersebut juga disampaikan bahwa akan diterapkan program sertifikasi pemceramah/dai, sebagai langkah untuk menangkal paham radikalisme yang potensial tumbuh di masjid-mesjid.
Majelis Ulama Indonesia dengan tegas menolak program sertifikasi dai (atau dai bersertifikasi) yang direncanakan Kementerian Agama.
“MUI menolak rencana program tersebut,” tulis pers rilis yang ditandatangi Wakil Ketua Umum MUI Pusat KH Muhyiddin Junaedi dan Sekjen MUI Pusat Anwar Abbas, Selasa (8/9/2020) di Jakarta.
Menurut MUI, penolakan itu dilakukan lantaran sertifikasi dai/mubaligh dan/atau program dai/mubaligh bersertifikat sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Agama telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman dan kekhawatiran akan adanya intervensi pemerintah pada aspek keagamaan yang dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengontrol kehidupan keagamaan.
Di samping itu, MUI juga menghimbau kepada semua pihak agar tidak mudah mengaitkan masalah radikalisme dengan ulama, dai/mubaligh dan hafizh serta tampilan fisik (performance) mereka, termasuk yang lantang menyuarakan amar ma’ruf nahi mungkar bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhyiddin, yang juga Ketua Hubungan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah itu mengatakan bahwa pernyataan Menag justru menunjukkan ketidakpahaman. Menag dan data yang tak akurat diterimanya. Seakan yang radikal itu hanya umat Islam dan para huffaz Al-Qur’an.
Seharusnya Menag yang berlatar belakang militer lebih mengerti tentang peran umat Islam Indonesia dan menjadikannya sebagai rujukan untuk menciptakan stabilitas nasional, persatuan dan kemajuan di tengah kebinekatunggalikaan.
“Muhyiddin mengatakan, Menag harus banyak baca literatur yang benar, bukan ceramah yang disiapkan oleh pihak yang sengaja punya hidden agenda di negeri ini. Seharusnya ia berterima kasih dan membantu semua pihak yang mendorong proses islamisasi di kalangan generasi muda dan ghirah umat Islam yang ingin menghafal Al-Qur’an,” sambung Muhyiddin.
Muhyiddin juga menyindir Fachrul yang dianggap kerap menyudutkan umat Islam sejak menjabat Menag. Padahal, kata Muhyiddin, ada pengikut agama lain juga yang melakukan gerakan radikal.
“Menag tak boleh mengeneralisir satu kasus yang ditemukan dalam masyarakat sebagai perilaku mayoritas umat Islam. Sejak jadi Menag, yang dijadikan kambinghitamkan adalah umat Islam. Ia sama sekali tak pernah menyinggung pengikut agama lain melakukan kerusakan bahkan menjadikan rumah ibadah sebagai tempat untuk mengkader para generasi anti-NKRI dan separatis radikalis yang jelas musuh bersama.
Menag, masih menurut Muhyiddin, menghilangkan semua stigma negatif tentang umat Islam yang beramar makruf dan nahi munkar demi tegaknya keadilan dan kebenaran di negeri ini.
Radikalisme, Narasi negatif terhadap Islam
War on radicalism masih menjadi agenda besar di negeri ini, seolah bahaya Radikalisme menjadi problem utama di negeri ini.
Padahal bersamaan dengan isu radikalisme yang digulirkan, media juga memberitakan Ditangkapnya komunitas gay yang sedang pesta sex di salah satu hotel di Jakarta.
Pejabat negeri harusnya lebih peduli menyelesaikan problem kerusakan di negeri ini. Mereka juga harusnya menjaga ketenangan masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuanya, mengajak masyarakat bahu membahu memerangi kemaksiyatan, kemungkaran yang nyata di depan mata.
Namun faktanya, mereka justru menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat, menjadikan masyarakat saling curiga mencurigai, menstigma negatif Islam, bahkan mencover pada sosok pemuda muslim.
Maka patut diduga ini adalah bagian dari upaya war on radicalism yang ditujukan pada Islam dan kaum muslimin. Tujuannya agar umat Islam takut dengan Islamnya.
Jika dipandang para pemuda yang ‘good looking’ itu pembawa radikalisme yang dianggap muka cermin di belah. Problem pelik di negeri ini bukan karena Islam dan pemuda muslim.
Justru sumber persoalan adalah akibat penerapan sistem demokrasi kapitalis yang menyebabkan berbagai kerusakan di berbagai lini, baik ekonomi, sosial, pendidikan dan politik.
Dalam ranah pendidikan sebagai pilar pembentuk generasi pemuda, kalau mau jujur, sistem pendidikan saat ini belum mampu melahirkan sosok-sosok berkepribadian mulia yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami. Sosok yang memiliki kepedulian terhadap urusan ummat, dan turut mengambil peran memperjuangkan perbaikan negeri.
Berdasarkan data dari KPAI 2020, negeri ini justru menghadapi fakta yang miris. 90% anak usia 11 tahun sudah terpapar pornografi, 48 dari 1000 pelajar hamil diluar nikah, dan 50% dari kehamilan itu melakuakn aborsi.
Belum lagi tawuran antar pelajar, narkoba dan miras yang sudah dianggap biasa, hingga komunitas LGBT yang terus menyasar para generasi muda.
Ironis jika seorang Menteri yang harusnya disibukkan menyelesaikan multiproblem di segala lini termasuk kerusakan generasi muda, justru punya pemikiran yang dangkal dan provokatif membahayakan.
Lalu bagaimana dengan pemuda yang terpapar liberalisme? Pemuda bad looking yang menjadi troubel maker dengan kasus kriminalitas, asusila dll.
Bukankah yang merusak negeri ini adalah para koruptor, pelaku kriminal, penjual aset negara?
Apa yang terjadi hingga hari ini membuktikan bahwa sekularisme berhasil menciptakan momok Islamophobia akut di negeri ini sehingga mereka tak mampu lagi melihat mana yang baik dan mana yang buruk.
Kita sejatinya berterima kasih pada generasi muda ‘good looking’ ini, karena mereka sesungguhnya telah mengurangi tingkat kerusakan di negeri ini. Memberi citra buruk dengan sebutan radikal kepada mereka hanya membuat gaduh publik dan persoalan baru di masyarakat.
Generasi Muslim adalah generasi yang memiliki karakter dan berkepribadian Islam.
Sebuah generasi yang menjadikan pola pikir dan sikapnya sesuai dengan Islam. Generasi yang menjadikan ‘Iman dan taqwa’ sebagai landasan berprilaku dan bersikap terhadap kejadian apapun di negeri ini.
Mereka inilah generasi harapan masa depan sebagai agen perubahan peradaban. Bukan generasi kebablasan yang hanya having fun dan memburu kesenangan hidup dan hedonis di masa muda.
Hari ini kebutuhan terhadap Islam sebagai sistem kehidupan menjadi harapan baru bagi masyarakat. Sebuah kerinduan umat yang sangat kuat kepada hukum Allah.
Maka radikalisme tak lain adalah upaya untuk membendung laju kebangkitan Islam agar kapitalisme tetap bercokol di negeri ini, sekaligus meredam laju kebangkitan Islam. Inilah dampak ketika Islam dan umat Islam hidup di bawah kekuasaan sistem kapitalisme.
Meski di negeri dengan jumlah penganut Islam mayoritas dalam segi jumlah, tidak menjamin kebebasan menjalankan syariat Islam secara utuh bagi umatnya.
Umat membutuhkan islam untuk menyelesakan seluruh permasalah sistemik yang terjadi saat ini. Maka sudah saatnya umat kembali kepada sistem hidup yang hakiki dengan penerapan syariat Islam secara kaffah sebagai wujud ketaatan totalitas kepada perintah Allah SWT. Wallahu a’lam bi ash showab.[]
*Praktisi pendidikan di Jambi
Comment