Inkonstitusional Bersyarat, MK Setengah Hati Hapus UU Ciptaker

Opini583 Views

 

 

Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H, M.H, Dosen

_________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA –Keputusan MK mengenai UU Ciptaker menyatakan sebagai UU cacat secara formil patut diberikan apresiasi yang luar biasa. Protes dari rakyat akhirnya didengarkan oleh pemerintah. Namun, apa daya kebahagiaan yang dirasakan hanya sementara karena pernyataan  MK terkait UU Ciptaker hanya inkonstitusional bersyarat.

Hal ini berarti bahwa ketika putusan dibacakan material (UU) yang diuji dianggap inkonstitusional akan tetapi akan menjadi kosntitusional apabia syarat yang ditetapkan oleh MK dipenuhi.

Dalam kasus UU Ciptaker ini diberikan waktu 2 tahun oleh MK untuk melakukan revisi sesuai dengan yang ditetapkan MK jika tidak maka UU tersebut menjadi inkonstitusional permanen.

Guru Besar Tata Negara, Denny Indrayana, menilai MK mencoba mengakomodasi berbagai kepentingan dan mengambil jalan tengah yang membuat putusan menjadi ambigu. Mantan wamenkumham itu menyatakan uji formil UU Ciptaker dilakukan MK untuk menilai keabsahan prosedure pembuatan UU, bukan terkait isinya. (www.cnnindonesia.com, 27 Nov 2021).

‘Inkonstitusional Bersyarat’ buat kapital
sejak berbentuk rancangan, UU ini memang sudah memicu perdebatan. Reaksi penolakan terjadi dari berbagai kalangan.

Aliansi Pekerja Sumut menjadi salah satu lembaga yang menolak RUU tersebut karena dianggap tidak berpihak kepada para buruh/pekerja. Bahkan berbagai pihak mengajukan gugatan, baik dari kalangan LSM termasuk LBH, organisasi adat, dll.

Gugatan meraka bahwa UU No. 11 Tahun 2020 ini cacat secara formil dan materil. Secara formil pembentukannya bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

Sedangkan secara materil, banyak pasal-pasal dalam UU ini bertentangan dengan UUD RI 1945 karena dipandang lebih memihak kepada pemilik modal dan akan berbahaya bagi masyarkat luas.

Masyarakat diberikan “angin segar” saat MK akhirnya mengakui bahwa UU Omnibus Law memang melanggar UU yakni UU PPP. Dalam UU PPP diamanatkan mengenai asas keterbukaan, di mana implementasinya dalam bentuk partisipasi masyarakat secara maksimal sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 22A UUD 1945. Bukankah ini merupakan wujud dari negara Demokrasi yang terikat dengan slogan dari Rakyat, oleh Rakyat Untuk Rakyat?

Rakyat yang diutamakan

Namun, MK akhirnya memutuskan UU Ciptaker ini “inkonstitusional bersyarat” atau conditionally inconstitutional. Keputusan ini banyak dianggap berbagai pihak merupakan jalan tengah. Padahal telah jelas diawal UU ini cacat secara formil maupun materil yang menuai banyak penolakan. Sarat kepentingan kapital (pemilik modal).

Dengan Omnibus Law diharapkan UU yang menghambat investasi dapat memudahkan investasi tersebut masuk ke Indonesia. Kepentingan para investor akan terus dijaga salah satunya dengan keputusan MK “inkonstitusional bersyarat” bukan mencabut UU yang sudah jelas cacat.

Jika kita telaah lebih dalam UU ini menunjukkan bahwa negeri ini telah “terjajah” secara suka rela dengan sistem kapitalisme-neoliberalisme. Kepentingan para kapital (pemilik modal) menjadi pertimbangan utama ketika merancang UU.

Persoalan ini dikarenakan sistem yang diterapkan saat ini yakni sistem kapitalis-demokrasi di mana UU dibuat oleh akal manusia yang lemah dan serba terbatas serta sesuai dengan standar sistem yang diterapkan dalam suatu negara tersebut. Sistem kapitalis-demokrasi yang berstandarkan kepada modal sehingga yang berkuasa adalah pemilik modal.

Islam Solusi

Islam yang menerapkan syariat  sebagai aturan yang berasal dari Allah mampu menyelesaikan persoalan ini. Mengingat syariat Islam adalah aturan yang menyeluruh yang secara praktis  menyelesaikan berbagai persoalan manusia.

Islam menerapkan politik ekonomi Islam yakni penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang benar dan konsisten, Baitul maal  akan mampu meraup dana yang cukup besar.

Selanjutnya, dana tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan, khususnya sektor yang masuk dengan istilah kewajiban layanan publik, yakni pendidikan, kesehatan, infrastruktur.

Termasuk pula pembiayaan industri berat seperti industri persenjataan, industri baja, dan berbagai proyek besar seperti pembangunan bendungan dan jaringan telekomunikasi di seluruh negeri, kredit bebas bunga untuk menggerakan ekonomi rakyat serta bantuan negara bagi rakyat yang membutuhkan.

Ini semua dapat terealisasi tanpa melibatkan investasi atau pinjaman asing.

Islam memiliki kebijakan strategis (strategic policy) dalam upaya mengatasi masalah perburuhan/ketenagakerjaan. Di samping ditetapkannya kepemilikan,  Islam juga mengharamkan kebebasan bekerja maksudnya tidak boleh bekerja apasaja tanpa melihat standar halal dan haram. Tiap muslim diperbolehkan bekerja untuk menghasilkan harta tetapi terikat dengan ketentuan hukum syara’.

Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan adalah manfaat tenaga yang diberikan buruh di pasar bukan living cost terendah. Sehingga tidak terjadi eksploitasi buruh oleh majikan. Hak berserikat juga diberikan dalam islam tapi tidak untuk membentuk serikat kerja. Ini merupakan dua hal yang berbeda.

Dana pensiun, penghargaan dan kompensasi ini merupakan solusi tambal sulam yang diberikan kapitalis buat masalah buruh yang tak kunjung selesai. Upaya ini menghilangkan kewajiban negara untuk membrikan jaminan bagi rakyat untuk memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini bukan kewajiban majikan ataupun perusahaan.

Sudah saatnya kita mengganti sistem Kapitalisme telah rentan dan tidak berdaya menghadapi persoalan ekonomi dunia. Kapitalisme telah membuat buruh dan manusia lainnya menderita. Harus dicarikan pengganti sistem yang lebih baik dan manusiawi. Hanya islam satu satunya alternatif pengganti sehingga mampu membebaskan Indonesia dari penjajahan kapitalisme neoliberalisme.[]

Comment