Oleh: Yuli Farida, Aktivis Dakwah Kampus
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Beberapa hari yang lalu kita mendengar seruan peringatan kemerdekaan dan slogan HUT RI ke 76, Indonesia tangguh dan tumbuh.
Ada pesan optimisme di balik tema tersebut yaitu “Indonesia Tangguh menghadapi berbagai krisis yang selama ini menempa masyarakat”.
Seperti diketahui, berbagai krisis telah menimpa Indonesia mulai dari krisis 1998 hingga pandemi COVID-19. Namun Indonesia harus tetap tumbuh dan bangkit.
“Dengan ketangguhan dan berbagai upaya yang dilakukan di masa pandemi maka Indonesia akan tumbuh’’. Logo HUT Ke-76 RI sendiri merupakan visualisasi dari tema Indonesia Tangguh dan Indonesia Tumbuh.
Tema ini berisi pesan tentang ketangguhan dan semangat pantang menyerah untuk terus maju menyongsong masa depan. Hal itu digambarkan dalam komposisi dinamis antar bentuk geometris yang sederhana tetapi kokoh dan dalam perpaduannya bergeliat dengan energi yang lincah. Tema dan logo peringatan HUT Ke-76 RI sebelumnya resmi dirilis di situs Setneg.
Mensesneg Pratikno mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada pimpinan lembaga negara, menteri Kabinet Indonesia Maju, Gubernur Bank Indonesia, Panglima, Kapolri, hingga seluruh kepala daerah di Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, kami mohon kiranya Bapak/lbu berkenan memperbanyak dan mensosialisasikannya di lingkungan kerja Bapak/lbu serta membantu menyebarluaskan kepada masyarakat umum,” demikian penggalan bunyi surat edaran tersebut.
Selain itu, Mensesneg mengeluarkan keputusan terkait panitia pelaksana perayaan HUT Ke-76 RI. Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono menjadi Ketua Pelaksana dan Kepala Sekretariat Wakil Presiden Mohamad Oemar sebagai Wakil Ketua Pelaksana.(tribun.com 17/08/2021)
Menteri Sekretaris Negara, Pratikno mengajak seluruh masyarakat untuk menghentikan kegiatan sejenak dan mengambil sikap sempurna pada upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI.
Ini untuk menjaga kekhidmatan acara dan menghormati peringatan tersebut. Dalam video tersebut, para atlet Indonesia yang meraih medali pada Olimpiade Tokyo 2020 juga turut mengajak masyarakat melakukan penghormatan detik proklamasi kemerdekaan.
Ajakan dilontarkan pasangan ganda putri bulu tangkis peraih medali emas Olimpiade Tokyo, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu, kemudian peraih medali perak Eko Yuli Irawan (angkat besi kelas 61 kilogram putra).
Tidak ketinggalan tiga atlet peraih medali perunggu masing-masing Windy Cantika Aisah (angkat besi 49 kilogram putri), Rahmat Erwin Abdullah (angkat besi 73 kilogram putra), serta Anthony Sinisuka Ginting (bulu tangkis tunggal putra).
Sama seperti tahun lalu, Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun ini pun hanya akan dihadiri oleh undangan terbatas yang terlibat dalam rangkaian upacara peringatan. Hal tersebut dilakukan untuk lebih mengutamakan kesehatan dan keselamatan masyarakat karena pandemi Covid-19 yang masih melanda. ( merdeka.com 15/08/2021 ).
Penting untuk memahami hakikat kemerdekaan supaya umat menyadari kondisi kehidupan yang sebenarnya sedang terjadi, apakah mereka sudah meraih kemerdekaannya? Atau sebaliknya, masih dalam kungkungan penjajahan?
Kesadaran ini akan mendorong umat untuk melakukan perubahan. Umat pun tidak akan tertipu dengan perayaan semu yang sejatinya justru makin mengukuhkan cengkeraman kafir penjajah.
Mereka dengan leluasa menancapkan taring-taringnya untuk melemahkan potensi umat. Jadilah umat ibarat budak, apa pun yang dilakukan semata mengikuti titah tuannya dan demi kepentingan majikannya.
Seorang budak tidak memiliki kebebasan dan kedaulatan bahkan untuk menentukan nasibnya sendiri sekalipun kemerdekaan bangsanya sudah diproklamasikan. Begitulah gambaran umat terjajah.
Kemerdekaan Hakiki Adalah Amanah Penciptaan Manusia
Bagi umat Islam, kemerdekaan bukan sekadar hak yang harus diperjuangkan, tetapi juga menjadi misi risalah Islam itu sendiri. Hal ini tampak jelas dalam sabda Rasulullah ﷺ yang dituliskan dalam sebuah surat untuk penduduk Najran. Berikut sebagian dari surat tersebut:
«… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ …»
…Amma ba’du. Aku menyeru kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)… (Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553).
Misi agung inilah yang terus menjadi pengobar semangat juang, pemantik keberanian para duta Islam sekalipun berhadapan dengan musuh yang kuat. Seperti yang diucapkan oleh Rab’i bin ‘Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra.) di hadapan jenderal Rustum dalam peristiwa Perang Qadisiyah.
Penggalan dialog itu muncul ketika Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Dengan lantang Rab’i bin menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam…” (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401).
Misi ini bukanlah ditetapkan oleh manusia, tapi amanah dari Pencipta manusia. Allah Swt. berfirman, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariat: 56).
Imam Syafi’i mengaitkan kemerdekaan seorang manusia dengan penciptaannya. Pernyataan tersebut muncul ketika beliau memberikan nasihat pada seseorang,
إن الله خلقك حرًّا؛ فكن كما خلقك!
“Allah telah menciptakanmu sebagai orang merdeka, maka jadilah sebagaimana Dia telah menciptakanmu.” (Manaqib Asy-Syafi’i karya Imam Al Baihaqi: 2/197).
Jadi, wujud kemerdekaan hakiki bagi seorang manusia adalah ketika dia mampu menunjukkan ibadah yang sempurna pada Allah Swt. sesuai dengan ketentuan syariat, menyerahkan semua permasalahannya, serta menggantungkan dirinya kepada Allah Swt..
Merdeka atau Mati Bukan Sekadar Slogan, tetapi Pilihan yang Pasti
Pekikan “merdeka atau mati” dikenal sebagai rangkaian kalimat yang meluncur dari lisan para pejuang. Kalimat yang menggambarkan ketegasan dan keteguhan sikap.
Pantang pulang sebelum meraih kemenangan. Tidak akan mundur dari pertempuran sebelum melumpuhkan musuh. Keteguhan sikap seperti ini dicontohkan oleh Baginda Rasulullah ﷺ ketika merespons permintaan paman beliau.
Abu Thalib meminta Rasulullah ﷺ agar menghentikan dakwah Islam untuk menghindari ancaman dari bangsa Quraisy. Rasulullah ﷺ menjawab permintaan tersebut dengan gamblang dan mengandung ketegasan, “Wahai Paman, Demi Allah, kalau pun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan perkara ini (penyampaian risalah), sehingga Allah memenangkannya atau aku binasa, pastilah tidak akan aku meninggalkannya.” Hadis ini dikeluarkan oleh Ibnu Ishaq dalam Al-Maghazi (Sirah Ibnu Hisyam).
Hanya ada dua pilihan dalam kamus seorang pejuang: merdeka atau mati. Terus mengemban dakwah hingga Islam tegak di muka bumi atau mati di medan pertempuran dengan menyandang gelar syahid.
Keduanya adalah pilihan mulia sebagai wujud ketaatan atas perintah Tuhannya yang akan mengantarkannya pada rida-Nya.
Merdeka Bukan Liberal
Bagi seorang muslim, merdeka itu bukan kebebasan tanpa batas (liberal), melainkan kebebasan yang berada dalam koridor syariat; kebebasan yang terukur, yakni berupa keterikatannya pada aturan Allah Swt.. Demikianlah yang diwahyukan Allah Swt. dalam Al-Qur’an, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya.” (TQS Al-Baqarah: 208).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala berfirman, memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan rasul-rasul-Nya untuk memegang semua ikatan Islam dan syariat-syariat-Nya, mengamalkan semua perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-Nya semampu mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/555)
Mengungkap Jati Diri Penjajah
Merupakan kesalahan besar jika menganggap penjajah hanya kepada pihak yang menduduki suatu wilayah secara paksa dan dengan kekerasan seperti yang dilakukan Belanda dan Jepang kepada Indonesia pada masa kolonialisme dulu.Penjajahan dewasa ini sudah berubah bentuk dan menggunakan beragam cara. Bisa bermuka penolong dengan gelontoran bantuan, berupa pinjaman lunak atau hibah bersyarat, atau perjanjian kerja sama ekonomi dan investasi.
Ujung-ujungnya, lilitan utang kian menumpuk, kekayaan alam terus dikuras, ditandatanganinya berbagai perjanjian kerja sama yang membuat ketergantungan, munculnya berbagai kehancuran budaya dan pemikiran, serta kriminalisasi para aktivis dan pejuang kebenaran.
Intinya, melanggengkan umat tetap dalam hegemoni mereka dan menjauhkannya dari ketundukan penuh pada PenciptanyaPenjajahan gaya baru ini bisa bermula dari paham komunisme yang menjadikan agama sebagai candu sehingga harus dijauhkan dari kehidupan manusia.
Paham ini menganggap agama sebagai ancaman. Dewasa ini tipu daya mereka kadang bermuka lembut, bukan dengan cara melarang umat meyakini agama, tetapi lewat strategi pemandulan agama. Menggiringnya ke arah budaya buatan manusia.
Kolaborasi sekularisme dan kapitalisme lebih terlihat sepak terjangnya. Paham ini tidak alergi dengan agama selama tidak terlibat dalam urusan kehidupan dunia. Namun, paham ini pun akan berubah garang tatkala umat Islam mulai memahami hakikatnya sebagai hamba Allah Swt. yang merdeka menjalankan seluruh ajaran Islam secara sempurna.
Mereka pun akan sibuk untuk mengadang dan menjegal perjuangan umat Islam untuk menegakkan Islam kafah. Muncullah berbagai istilah yang dialamatkan pada umat Islam dan ajarannya, seperti tuduhan Khilafah dan jihad sebagai ajaran radikal.
Cukuplah firman Allah Swt. berikut menjadi pengingat terkait sifat busuk mereka, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (TQS Ali Imran: 118).
Jadi, hakikatnya isme-isme tersebut adalah penjajah yang berganti kulit. Mereka sama-sama menghilangkan penghambaan manusia kepada Penciptanya dan memalingkan ketaatan pada kemaksiatan.
Memahami Makna Kemerdekaan Lahirkan Semangat Memperjuangkan Islam Kafah
Kemerdekaan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan. Senantiasa dibutuhkan upaya untuk mewujudkannya dan menghilangkan semua hambatan dan rintangan. Ketika umat memiliki kesadaran yang benar tentang hakikat kemerdekaan hakiki, akan muncul semangat untuk mewujudkannya.
Lahir dorongan untuk memberikan kontribusi dalam merealisasikan kemerdekaan tersebut, sebagai gelora semangat yang terus diserukan oleh para ulama dan aktivis yang terlibat dalam mengusir penjajah Belanda dan Jepang.
Pekik takbir terus berkumandang. Semangat menyemat jiwa dan menjadi amunisi ampuh yang akan membangkitkan keyakinan bahwa hidup mulia ketika kalimat Allah tinggi dan mati syahid dalam memperjuangkannya adalah kemuliaan yang akan mengantarkan pada derajat tinggi di sisi Allah Swt.
Kemerdekaan Hakiki Akan Terwujud Ketika Khilafah Tegak
Tanpa hadirnya Khilafah, kemerdekaan masih harapan yang harus diwujudkan. Tanpa Khilafah, umat masih hidup dalam belenggu penjajahan dengan berbagai ragam bentuknya. Mulai dari penjajahan pemikiran, budaya, politik, ekonomi, sampai hilangnya kebebasan untuk menjalankan syariat agamanya secara kafah.
Semangat ketaatan ini ternyata dikerangkeng dengan tuduhan radikal dan ekstremis, serta dibajak oleh pemikiran Islam moderat.
Allah Swt. telah menyatakan bahwa Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dari penjajahan menuju kemerdekaan, dari kezaliman menuju keadilan, dari kesesatan menuju jalan hidayah.
Kekuatan risalah Islam ini akan muncul dan dirasakan hanya ketika seluruh ajarannya yang ada dalam Al-Qur’an diterapkan.
Firman Allah Swt., “Alif, laam raa. (Inilah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita menuju cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji”. (TQS Ibrahim: 1).
Inilah yang harus disampaikan pada umat, sehingga mereka tidak terjebak pada semangat kemerdekaan semu padahal hakikatnya sebagai topeng penjajahan.
Mereka harus paham bahwa kemerdekaan hakiki hanya bisa terwujud ketika Islam tegak sebagai pengatur kehidupan yang ditegakkan oleh institusi negara yang berdaulat untuk menerapkan syariat penciptanya.
Negara yang memahami peranannya sebagai pelaksana syariat dan dipimpin oleh individu bertakwa yang takut pada Tuhannya. Negara yang tegak di atas minhaj kenabian. Itulah Negara Khilafah Islamiah. Wallahu a’lam.[]
Comment