RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Menjelang akhir tahun 2022 ini, Indef menggelar Seminar Evaluasi Ekonomi Akhir Tahun di Universitas Paramadina, Selasa (20/12/2022).
Hadir dalam seminar tersebut para pembicara dan pakar ekonomi seperti Eisha M Rachbini S.E,M.Sc.Ph.D, Dosen Institute Pertanian Bogor (IPB), Dr Handi Rizsa SE.,M.Ec., Wakil Rektor Universitas Paramadina, Dr Agus Herta S.,SP.,M.Si., Dosen Universitas Mercu Buana dan Adrian A Wijanarko., MM sebagai moderator.
Berikut adalah resume lengkap masing masing pembicara:
Eisha M Rachbini S.E,M.Sc.Ph.D, Dosen Institute Pertanian Bogor (IPB) menggaris bawahi beberapa poin sebagai berikut:
Sebab musabab awal yang menjadi pemicu persoalan ekonomi beberapa tahun terakhir ini tidak lain adalah Covid-19, yang melanda seluiruh dunia termasuk Indonesia.
Dampakmnya tidak hanya bersifat negatif tetapi mengubah secara total dan mendasar struktur dan sifat perekonomian global dan Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dunia lalu anjok berat menjadi negatif -3,1 persen karena disrupsi sisi permintaan dan supplainya.
Setelah pandemi covid-19 selesai, semua berharap langsung terjadi recovery ekonomi, tetapi itu tidak terjadfi karena ekonomi global langsung dihantam perang yang mekluas di Eropa dan Rusia. Kondisi geopolitik yang keras ini memperparah ketidakpastian ekonomi global dan berakibat pada kelangkaan pangan dan energi.
Akibatnya, harga pangan dan energi meningkat tinggi dan menyebabkan tingkat inflasi di banyak negara meningkat pesat. Ekonomi global sudah diubah prediksinya berkali-kali dan tahun 2022 ini diperkirakan hanya tumbuh 3,2 persen dan inflasi tinggi sekitar 8,8 persen (IMF, 2022).
Pertanyaannya, darimana channeling Indonesia untuk menyiasati dampak ekonomi global saat ini? Seharusnya channel berasal dari nilai tukar, inflasi, dan bagaimana konsolidasi yang diperlukan dengan evalusi terhadap perekonomian domestik. Indonesia cenderung menerapkan kebijakan moneter ketat, sehingga berdampak pada sektor riil. Sektor riil di Amerika Serikat juga mengalami perlambatan pertumbuhan. Secara global jika ada pengetatan moneter maka hal tersebut akan menyebabkan perlambatan ekonomi.
Di kawasan Asia Pasifik, kesempatan kerja turun 3,2 persen (yoy) atau sekitar 61.8 juta orang yang kehilangan pekerjaan. Level kesempatan kerja di kawan ini sekitar 1,8 milyar orang (2020). Pengangguran di negara-negara G20 juga cukup tinggi rata-rata 8,5 persen di tahun 2020, lebih tinggi dari tahunh sebelumnya 7,2 persen. Pada tahun 2021, pengangguran di negara-negara ini sekitar 7,9 persen dan diperkirakan akan meurun tahun 2022 sekitar 6,97 persen.
Sedangkan di Indonesia, sekitar 29, 1 juta orang terkena dampak dari covid-19 atau sekitar 14,3 persen dari total populasi angkatan kerja (2020). Dampak ini berpengaruh pada tahun berikutnya 2021 dan 2022.
Kebijakan the Fed meningkatkan suku bunga acuan dengan melakukan kebijakan quantitative easing (suku bunga rendah) untuk menjaga pertumbuhan dan tingkat pengangguran yang rendah. Kondisi perekonomian AS mengalami masalah cukup berat, Inflasi tinggi (8.5% in March 2022), dan pengangguran yang dapat dikendalikan pasca pandemi (3.6% April 2022). Keputusan the Fed menaikkan suku bunga acuan dilakukan secara beuntuh di bulan Maret dan April. Pada bulan Nov ’22 berada pada level 3.78.
Ketika AS menaikan sukubunga akan berdampak pada perekonomian Indoesia terutama dari sisi nilai tukar, inflasi yang tinggi karena kenaikan harga pangan dan energi. Sektor riil mendapat beban besar dari harga impor include bahan impor akibat kenaikan nilai tukar. Dibutuhkan penguatan dari sisi fiskal di Indonesia.
Salah satu risiko besar yang menjadi ancaman stabilitas ekonomi global adalah krisis energi akibat tren peningkatan harga komoditas energi dunia. Harga Minyak Mentah dan Gas Alam meningkat lebih tinggi dibandingkan level awal tahun 2022
Pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup baik pada Q3 dan Q4 berada pada level 5.45% dan 5.72% (yoy). Pertumbuhan ekonomi 2022 menurut pengeluaran didorong oleh Ekspor dan
Konsumsi RT. Tetapi pengeluaran pemerintah mengalami pertumbuhan negative (yoy) pada Q2 dan Q3 2022
Menurut lapangan usaha, kinerja sektoral mengalami pertumbuhan pada Q2 dan Q3 2022, terutama pada sector transportasi & pergudangan, akomodasi, makanan & minuman, industri pengolahan, informasi dan komunikasi
Sedangkan tingkat inflasi masih bisa dikendalikan meskipun lebih tinggi pada tahun 2022, dibandingkan tahun 2021. Pada sisi penawaran, terjadi kenaikan harga-harga komoditas dunia dan juga ada gangguan pasokan global dan domestik. Penyumbang utama inflasi tahunan: komoditas bensin, bahan bakar rumah tangga,dan tarif angkutan udara. Pada November 2022, penyumbang utama inflasi bulanan di antaranya adalah komoditas telur ayam ras, rokok kretek filter, dan tomat
Tren penurunan Global Purchasing Managers’ Index (PMI) : indikasi perlambatan ekonomi global yang disebabkan oleh melemahnya permintaan dunia. Pada Oktober 2022, global PMI Manufaktur mencapai 49,4 (dari 49,8 di September).
Penurunan output didominasi pada sektor barang setengah jadi. Hal in menunjukkan optimisme bisnis turun mendekati level terendah dalam dua setengah tahun terakhir. Melemahnya permintaan global menjadi tantangan bagi kinerja industri dan investasi di dalam negeri. Inflasi vang tinggi juga menjadi ancaman pada peningkatan biaya produksi.
Pertumbuhan investasi tidak disertai dengan laju pertumbuhan industri pengolahan yang juga tinggi. Seperti pada triwulan III 2022, pertumbuhan investasi mampu mencapai 42,1 persen (y-o-y) namun industri pengolahan (non migas) hanya tumbuh 4,88 persen dan masi di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Usaha mengarahkan investasi agar semakin banyak masuk ke sektor
manufaktur menjadi tantangan besar bagi proses industrialisasi dan hilirisasi sumber daya alam strategis. Pada saat ini visi besar Pemerintah adalah untuk mewuiudkan transformasi ekonomi dengan penciptaan nilai tambah melalui hilirisasi industri.
Terdapat tantangan cukup besar dari sektor industri untuk menjadi pusat pertumbuhan kembali. Sektor yang tertekan dampak ekonomi global dan menyebabkan menurunnya optimisme bisnis. Pada 2021 – 2022 porsi sektor manufaktur menjadi penyumbang bagi PDB menurun menjadi hanya 20% an saja, padahal sebelum pandemi bisa mendekati 30%.
Tantangan sektor riil saat ini bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi yang bisa memberi nilai tambah untuk mencapai target 2045. Perlu didorong investasi dalam dan luar negeri untuk meningkatkan kemampuan sektor riil. Seharusnya semakin banyak investasi masuk, akan semakin menambah nilai tambah lebih besar bagi sektor manufaktur dan akhirnya menaikkan kontribusi ke PDB.
Pada Undang Undang No 17 Tahun 2003, yaitu defisit anggaran dibatasi maksimal 3 persen dan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto. Dengan mengembalikan aturan ini, maka Pemerintah dapat menekan angka rasio utang pemerintah terhadap PDB, karena penarikan utang Pemerintah tidak sebesar ketika pandemi berlangsung.
Dr Handi Rizsa S.E.,M.Ec., Wakil Rektor Universitas Paramadina:
Terdapat pergeseran konflik global ke bentuk konflik geopolitik yang menyebabkan terjadinya kenaikan inflasi global yang amat tinggi sejak Februari 2022. Di saat demand mulai pulih dan supply juga beranjak berbenah, tiba-tiba terjadi konflik Rusia vs Ukraina.
Krisis global juga menjadikan sukubunga naik tinggi dan menyebabkan munculnya cost of fund di banyak benua. Terdapat 60 negara yang default karena kegagalan membayar utang. Ujungnya, stagflasi mengancam. Inflasi global naik tinggi sekali tetapi pertumbuhan ekonomi melambat sehingga menjadi bentuk Stagflasi. dampak bertubi-tubi dari ekonomi global mau tak mau akan berdampak pada perekonomian domestic.
Pertumbuhan ekonomi sampai kwartal terakhir 2022 secara makro nampak baik. Pertumbuhan ekonomi mampu tumbuh 5% sebanding dengan ketika sebelum pandemi. Namun yang menjadi catatan, pertumbuhan tersebut berasal dari low base. Ada pada biaya rendah seihingga nanti ketika terdapat aktivitas ekonomi tiggi akan langsung melonjak ke biaya tinggi.
Windfall menyebabkan harga komoditas tinggi sekali dari sawit, batubara dan nikel. Hal ini yang memndorong ekspor Indonesia pada awal 2022 meningkat signifikan. Sayangnya investasi belum sepenuhnya pulih seperti sebelum pandemic. Begitu pula daya beli dan konsumsi masyarakat.Pertumbuhan ekonomi domestic saat ini lebih didominasi oleh sektor transportasi, pergudangan dan makanan/minuman. Namun sektor manufaktur pengolahan masih belum mencapai titik puncak. Tingkat kontribusi PDB dari sektor manufaktur malah menurun di bawah 20%.
Perolehan gain signifikan dari neraca dagang surplus dalam setahun terakhir seharusnya menjadi modal besar untuk meningkatkan kinerja ekspor, yang tidak lagi bergantung pada komoditas. Tetapi harus berkembang ke sektor industri/manufaktur yang lain. Sehingga bisa memperkuat fundamental ekonomi Indonesia.
Realisasi PDB triw 2/2022 sebesar 5,44% (yoy). Pertumbuha ekonomi masih ditopang oleh tingginya ekspor dan peningkatan permintaan domestic terutama pulihnya konsumsi rumah tangga. Perlu menjaga tingkat daya beli dan konsumsi masyarakat. Ancaman inflasi berasal dari makanan yang folatile. Laju tahun ini diperkirana di atas proyeksi BI yang 4%. Komponen volatile food memberikan bobot terhadap inflasi sebesar 16%. Sementara pada September inflasi dari volatile food mencapai 9,02%.
Indonesia masih harus berhati hati terhadap kebijakan SBN domestic dan Nilai tukar, Memperhtikan angka Kemiskinan dan Pengangguran, ICOR kita yang masih tinggi sehingga berisiko keengganan pada investor luarnegeri. Di samping itu juga harus mulai kreatif untuk mendekomposisi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru, sehingga tidak lagi bergantung pada kenaikan harga komoditas sawit dan batubara. Karena diprediksi pada 2023 harga komoditas akan kembali turun.
Dr Agus Herta S.,SP.,M.Si., Dosen Universitas Mercu Buana:
Kondisi ketidakpastian.
Siklus bisnis, mampu memperkirakan akan berada di mana kondisi ekonomi yang sangat baik, sehinga setelah 7 tahun kemudian ekonomi siap ketika terjadi paceklik. Siklus-siklus perekonomian yang diajarkan pada konsep The Joseph cycles.
Ada siklus bisnis yang bisa menyebabkan situasi ekonomi berubah dan tidak bisa kita hindari. The great depression 1930 sebagai contoh, dan di Indonesia juga sudah beberapa kali mengalami krisis.
Setuju adanya intervensi pemerintah dari siklus bisnis yang konjungtif. Perlu adanya intervensi government supaya kondisi yang tidak optimal kembali ke kondisi optimalnya.
Indonesia pada 1980-an mengalami oil booming. Tetapi pada awal 83—harga minyak bumi dunia turun dari 30 USD per barel ke 25 USD per barel. Padahal 2/3 pendapatan nasional saat itu berasal dari penjualan BBM. Yang menarik, pemerintah waktu itu melakukan langkah pengetatan fiskal. Orde baru tercatat menganut asas pro siklikal dan bukan counter siklikal. Dilakukanlah berbagai upaya menekan biaya seefisien mungkin. Sisi monter diberikan pelonggaran dengan deregulasi perbankan sehingga bisa membuka bank hanya dengan modal Rp1 Milliar saja. Dampaknya, Likuiditas negara kembali baik.
Pada 1997 terjadi krisis moneter. 3 bulan Sebelum krisis, Gubernur BI menyatakan bahwa kondisi perekonomian nasional sangat kuat. Namun 3 bulan ekonomi tumbang. Hal itu akibat dari kebijakan yangtidak tepat, kebingungan kebijakan. Setelah krismon 1997 pemerintah membuat SOP yang dapat digunakan dalam menghadapi gelombang kejut berikutnya.
Pada 2008 terjadi siklus bisnis ke 3. Muncul krisis 2008 dari skandal subprime mortgage. tetapi Indonesia telah siap dan ekonomi kita masih positif. Terdapat kesiapan terhadap situasi krisis.
Namun pada 2019-2020 terjadi bencana dan krisis yang bukan berasal dari sekotr ekonomi, tapi akarnya berasal dari sektor kesehatan yang mampu menghentikan pergerakan orang. Aktivitas manusia erat sekali dengan aktivitas ekonomi.
Saat ini kita dianggap cukup berhasil mengatasi krisis global dengan berdasarkan Perppu No 1/2020 dan Perppu no 2/2020 ttg penanganan pandemi. terlebih sekarang ada UU yang akan menyatukan 15-16 UU keuangan yakni UU Omnibus law sistem Keuangan. Pertanyaannya, apakah kebijakan tersebut akan meningkatkan PDB atau tidak.
Apakah pertumbuhan ekonomi akan kembali ke titik optimal dan apakah cukup berkualitas. Rencana UU Omnibus Law sektor ekonomi harus detail, berkualitas dan bisa diandalkan.
Harus diciptakan lapangan pekerjaan yang layak dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena rumus 1 % pertumbuhan ekonomi akan menciptakan lapangan 300 ribu pekerjaan baru. Sedangkan kondisi hanya mampu menciptakan kurang dari 200 ribu kesempatan kerja. ICOR kita juga masih tinggi.[]
Comment