INDEF Gelar Diskusi Publik dengan Tajuk “Merekam Gagasan Faisal Basri”

Ekonomi475 Views

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – INDEF kembali menggelar diskusi publik, kali ini dengan tajuk yang sangat kuat, ‘’Merekam Gagasan Faisal Basri’’ di kantor INDEF, Jumat, (7/2/2025) yang dilanjutkan dengan peresmian Ruang Baca Faisal Basri.

Hadir dalam kesempatan diskusi tersebut tiga pakar dan ekonom senior INDEF, Prof Didin S Damanhuri, Dr M Fadhil Hasan dan Prof Dr Didik J Rachbini yang juga sebagai direktur INDEF dan noderator Dr Esther Sri Astuti

Prof Dr Didik J Rachbini mengatakan, ada 5 Catatan tentang Faisal Basri. Pertama, dalam pikiran Faisal Basri, substansi ekonomi itu adalah politik. Jadi catatan pertama Faisal Basri adalah soal politik. Politik saat ini menurutnya, tidak mungkin menghasilkan kebijakan yang berorientasi kepada pemerataan dan keberpihakan kepada rakyat. Pemerataan dan kerakyatan hanya menjadi jargon.

Menurutnya lagi, kebijakan ekonomi itu hanya derivasi dari kebijakan politik. Itu yang menyebabkan dia keluar dari partai PAN karena tidak percaya lagi kepada para politisi.

“Faisal Basri juga menyebut politik uang yang mewabah saat ini adalah ‘’Demokrasi yang Najis’’. Tidak ada lagi yang namanya ‘’kontrak politik’’, semua sudah melakukan perselingkuhan politik yang kemudian dianggap wajar.” Ujar Prof Didik J Rachbini yang juga sebagai rektor universitas Paramadina.

Kedua, lanjutnya,  dalam kebijakan model pembangunan, Faisal Basri menyatakan pertumbuhan ekonomi 5 persen adalah pertumbuhan yang kurang berbasis pada model jangka menengah panjang. Jadi hanya jangka pendek saja. Serta tidak punya nilai tambah, inovasi, dan lainnya, sehingga untuk mencapai angka 7-8% pertumbuhan akan sangat susah. Faisal Basri juga mengkritisi pertumbuhan industri yang Kian menurun.

Ketiga, lanjut Prof Didik J Rachbini, Ph.D, Faisal Basri mengkritisi APBN bahwa dari segi income dan pengeluaran bermasalah, sehingga kebijakan pemotongan anggaran saat ini sudah tepat, tapi tidak tepat pada obyek anggaran yang dipotong. Seharusnya dicari obyek pengeluaran yang benar-benar tidak efisien, itu yang dipotong.

Dilanjutkan Prof Didik J Rachbini, zaman pak Harto, meski anggaran hanya 30 triliun tapi berhasil membangun macam-macam pasar tradisionil, swasembada pangan, puskesmas, SD Inpres, dan sarana jalan – meskipun hanya beralas kerikil tapi di mana-mana jalan dibangun (revolusi colt-mitsubishi). Sekarang, dengan APBN 3600 T tidak cukup.

Keempat, lanjut Didik, ancaman daya saing yang sangat kuat. Vietnam pertumbuhan 7-7,5% tetapi punya dasar investasi dan invoasi yang masuk kuat, tanah tersedia, dan semua urusan investor lancar. di sini, urusan tanah bisa bertele tele.

Kelima, perbankan kita bermasalah, dan hanya menyelamatkan diri sendiri.

Prof Dr Didin S Damanhuri yang hadir dalam diskusi ini mengatakan, hal yang paling berkesan dari perkenalan pertama kali dengan mendiang Faisal Basri adalah ketika jumpa pertama di ruang Dr Dipo Alam (1995). Ketika itu beliau Deputy Menko Perekonomian. Faisal Basri ketika itu baru saja pulang dari USA.

INDEF sendiri lanjutnya, pertama kali didirikan ketika kontak intens dengan Prof Dr Didik J Rachbini yang membahas ide sebuah lembaga riset lingkungan hidup yang mengatakan perlunya didirikan sebuah lembaga think tank soal ekonomi di Indonesia (1995).

Ide mendirikan lembaga think tank itu lalu bergulir dengan mendirikan lembaga INDEF (Institute for Development Economic for Finance). Ketika itu diingatkan akan sorang tokoh ekonom dari UI (Faisal Basri). INDEF kemudian mengangkat topik pertama yang mengangkat tema ‘’Membongkar Subsidi Terselubung kepada Industri gandum.’’

“Hal itu didukung oleh data-data dari lembaga riset kemen keuangan di mana Prof Fadhil Muhammad berada ketika itu, maka data tersebut kemudian direkonstruksikan dalam perspektif ekonomi politik.” Ujar Prof Dr Didin S Damanhuri.

Ditemukan, subsidi rakyat terhadap impor yang dimiliki kelompok Salim Group 760 miliar USD atau 8,3 triliun/tahun subisidi rakyat terhadap importir yang statusnya hampir monopsonistik/pengimpor tunggal.

Berita itu lalu menjadi headline seluruh surat kabar. Padahal ketika itu pak Harto sedang di puncak kekuasaan. Ekonomi Indonesia juga disebut sebagai New Industrial Country (Asian Miracle) bersama Jepang, Thailand, Malaysia (ada 9 negara).

Tapi ketika itu lanjut Prof Dr Didin S Damanhuri, Indonesia sebenarnya agak rapuh karena diisi oleh industri dan pelaku usaha yang masuk kategori Erzats Capitalism (kapitalisme semu) karena banyak entrepreneur yang makan subisidi negara, bahkan disubsidi oleh rakyat.

“Sebagai salah seorang dari 4 pendiri INDEF, Kelebihan ekonom Faisal Basri yang tidak miliki oleh ekonom Indonesia lainnya adalah soal keberaniannya. Diback up oleh latar belakang teori dan data yang sangat kuat.” Ujar Prof Dr Didin S Damanhuri mengenang Alm Faisal Basri.

Sejak itu tambahnya, kritisisme Faisal Basri bersama INDEF tidak pernah henti untuk mengritik sangat tajam segala kebijakan ekonomi yang dianggap menyimpang di era Soeharto, Habibie, Megawati sampai era Jokowi.

Dia menanbahkan, Faisal Basri, sosok yang sangat (1)anti korupsi, (2) anti Ketidakadilan, (3)sangat anti tatakelola yang buruk. Semua pemerintahan di Indonesia akan dikritik dengan tajam perihal 3 hal tersebut.

Salah satu yang monumental lanjutnya adalah ketika Faisal Basri dipercaya untuk menjadi ketua Satgas pembenahan tata kelola migas.

Hasilnya, Indonesia tidak lagi mengimpor minyak lewat PES (Pertamina Energy Service) dan digantikan oleh ISC (Integrated Supply Chain). Faisal Basri juga mengganti seluruh manajemen Petral dan ISC, serta dilakukan audit forensik terjadinya tatakelola yang buruk di Petral untuk membongkar potensi pidana. Temuan-temuan itu lalu ditindak-lanjuti oleh Sudirman Said (Menteri ESDM) dan Dirut Pertamina.

Indonesia bersama negara Asia lain (Asian will ; Naisbitt) berhak untuk merekonstruksi pengalaman sukses ekonominya dalam bentuk epistemologi keilmuan ekonomi yang (mungkin) tidak selalu sama dgn ilmu ekonomi mainstream yang dominan di dunia saat ini.

Hadir pula dalam diskusi bertajuk, “Merekam Gagasan Faisal Basri’’, ekonom senior INDEF, Dr M.Fadhil Hasan.

Dirinya mengatakan, kenangan paling berkesan adalah ketika Faisal Basri menolak proyek yang ditawarkan oleh BPPN kepada INDEF, meski nilainya amat besar. Hal itu karena dia khawatir INDEF akan dijadikan legitimasi seolah-olah INDEF merestui budaya korup pada era itu. Padhal ketika itu INDEF masih amat kesulitan keuangan.

Faisal Basri lanjut Fadhil, meskipun dikenal suka melontarkan kritik tajam dan keras, tapi sebetulnya sering berkontribusi untuk melakukan perbaikan dari dalam di berbagai era pemerintahan sejak jaman orde baru.

“Di antaranya menjadi tim monitoring dan evaluasi ketika Budiono menjadi Menteri Keuangan, ketua satgas pembenahan tatakelola migas, tim reformasi hukum di bawah Machfud MD dll.” Ungkapnya.

Jadi Faisal Basri tambahnya, tidak hanya mengeritik secara tajam dan keras di luar tapi dia juga melakukan keterlibatan yang cukup signifikan untuk perbaikan dari dalam.

Namun Faisal Basri juga tercatat menolak dengan keras suara-suara yang menyatakan Menkeu Budiono adalah liberalis ekonomi. Posisi Faisal Basri sebetulnya pengeritik segala kebijakan yang dipandang menabrak tatakelola, seolah dia mazhab ekonomi pasar, tpi tidak jarang alamrhum lakukan kritik keras terhadap mazhab itu.

“Selama dia pandang memberikan manfaat untuk masyarakat, maka mazhab apapun akan disokong oleh alm. Faisal Basri.” Imbuhnya.[]

Comment