Indef: Ekonomi Tumbuh Dengan Daya Saing, Hilirisasi, dan Industri Yang Kuat

Ekonomi631 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– INDEF Kembali menggelar diskusi daring dengan tema Ekonomi Tumbuh dengan Daya Saing, Hilirisasi, dan Industri Yang Kuat, Sabtu (9/10/2021).

Hadir dalam diskusi tersebut antara lain
Esther Sri Astuti, Direktur Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, Peneliti INDE, dan Riza Annisa Pujarama, Peneliti INDEF.

Esther Sri Astuti dalam kesempatan diskusi itu mengatakan, seperti pemikiran alm Eny Sri Hartati tentang pembangunan ekonomi Indonesia terutama pada hilirisasi industri dengaan tujuan Kemakmuran.

Menurut Ester, hal itu senada dengan keinginan Presiden Jokowi yang menginginkan Indonesia menjadi negara berpenghasilan 5 besar dunia dalam pertumbuhan ekonomi pada 2045.

Untuk mencapai hal itu lanjut Ester, Indonesia harus menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) Pertama, Tidak menjadi negara midle income trap, pada sebelum covid 19 sempat menjadi negara upper midle coutry tetapi dengan adanya pandemi status Indonesia kembali jadi negara berpendapatan menengah.

“Dibutuhkan transformasi ekonomi untuk bisa mewujudkan visi emas Indonesia 2045.’ Ujar Ester.

Realitas struktur ekonomi Indonesia menurut Ester, memang masih didominasi sektor primer tetapi dengan nilai tambah yang masih kurang. Padahal potensi ekspor indonesia dengan modal sumber daya alam termasuk luar biasa.

Namun tambahnya, perlu effort untuk bisa mendaptakan benefit dari komoditas dengan meningkatkan nilai tambah dari komoditas mentah diolah menjadi produk turunan sehingga bernilai signifikan untuk diekspor. Misalnya pada produk turunan dari Sait/CPO, kopi, cocoa, karet nikel, dan sebagainya.

Ihwal keberhasilan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, lanjutnya, Vietnam menjadi pemenang. Ketika relokasi perusahaan-perusahaan China ke Asia Tenggara akibat perang dagang China – USA, tidak ada satupun company China dan USA yang masuk merelokasi company ke Indonesia. Tapi memilih Vietnam terutama, dan Thailand serta beberapa negara lain.

Dari sisi struktur ekspor antara Indoensia dan Vietnam tutur Ester, kurang lebih sama. Namun produk ekspor Vietnam telah diolah bukan hanya mengekspor bahan mentah tapi telah menjadi varian produk turunan yang bernilai tinggi. Barang-barang elektronik, industi tansportasi yang dikembangkan. Memang untuk sukses kea rah sana dibutuhkan modal dan tenaga kerja handal untuk mencapai hilirasi yang berhasil.

“Tantangan yang ada, industri di Indonesia hanya mengadopsi 6 % saja teknologi tinggi, dan 30 % teknologi menengah. Harus disadari peran inovasi dan teknologi sangat krusial untuk mendukung hilirisasi yang sukses. Tentunya harus juga disupport oleh anggaran R & D yang selama ini masih sangat kurang. Demikian pua dengan peningkatan skill pekerja industri.” Urai Ester.

Eisha M.Rachbini, peneliti muda Indef yang hadir dalam diskusi mengenang almh. Eny Sri Hartati itu mengatakan,
pokok-pokok pikiran alm Eny Sri Hartati yang perlu dijadikan bahan perbaikan perekonomian nasional di antaranya adalah daya saing produk dalam negeri yang terus menurun dan tersisih produk impor.

Kemudian bagaimana meningkatkan produktivitas industri. Sementara terlihat indeks Manufaktur (PMI) terus menurun dari 50.9 (2018) menjadi 49.7 (2019), dan 44,69 (2020).

Untuk itu lanjut Eisha, sangat diperlukan investasi yang memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja. Juga diperlukan investasi terkait rantai pasok global dan kinerja perdagangan Indonesia. Sementara itu tercatat global competitiveness Index Indonesia terus turun dari semula diurutan 37 (2017), 45 (2018) dank e 50 pada 2019.

“Realitas daya saing industri manufaktur Indonesia juga berada pada ranking 40 dari 152 negara, dengan 44,2 % nya masih bertumpu pada sumber daya alam dengan teknologi rendah.” Urainya.

Hal itu lanjut Eisha, diperburuk oleh kinerja industri manufaktur nasional yang juga terus turun dari berkisar 11 % pada 1993, lalu anjlok pada 1998, dan setelah itu kinerja industri manufaktur dalam negeri hanya 5 % (2013). Kinerja industri pengoalah juga jatuh dari sekitar 75,73 pada 2013 menjadi hanya 67,60 pada 2020.

Eisha menambahkan, dampak pandemi covid 19 terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sebelum pandemi mencapai 5.0 % pada 2018, saat pandemi jatuh menjadi minus 2 %. Padahal secara long term economic growth, pertumbuhan ekonomi Indonesia masa orde baru pernah mencapai 7,1 % – 7,7 %.

“Potensi industri manufaktur dan tantangannya ke depan dapat diberikan masukan beberapa hal yakni melakukan hilirisasi manufaktur berbasis komoditas sehingga mendorong ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan.” Ujar Eisha.

Tantangan yang dihadapi m

Menurut Eisha terdapat tiga tantangan yang dihadapi. Pertama, butuh investasi besar guna mendukung peningkatan value added komoditas. Kedua, Dibutuhkan kebijakan dan regulasi yang mendukung percepatan investasi dan hilirisasi sektor manufaktur. Ketiga, Ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan.[]

Comment