Penulis: Hamsina Halik, A.Md| Anggota Revowriter Sulbar
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Indonesia terkenal dengan slogannya Gemah Ripah Lo Jinawi, ini dikarenakan kekayaaan alamnya yang melimpah ruah. Memiliki lautan dan hutan yang luas. Didalamnya hidup flora dan fauna yang tak terkira jumlahnya.
Namun, seiring berjalannya waktu negeri ini semakin tak sinkron lagi dengan slogan Gemah Ripah Loh Jinawi-nya. Lahan yang luas untuk areal pertanian tetapi tak mampu mencukupi kebutuhan masyarakat menjadi dalih membuka kran impor pangan dari luar negeri.
Sebagaimana dikutip dari bisnis.com pada 3/1/2024, disebutkan bahwa menjelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di 2024, Indonesia dipastikan masih akan impor beras untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Presiden Jokowi mengakui bahwa Indonesia terpaksa harus impor beras. Pasalnya, produksi beras selalu menurun.
Sontak hal ini menuai protes dari kalangan petani di negeri ini. Tentu saja, yang paling dirugikan dengan adanya kebijakan impor ini di tengah musim panen raya yang segera tiba adalah para petani.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih mengatakan adanya impor beras akan menekan harga gabah di musim panen. Impor diduga akan masuk ketika musim panen raya tiba. Kebijakan impor akan mengancam kesejahteraan petani.
Dikatakan Henry, kebutuhan beras nasional dapat dipenuhi oleh petani dalam negeri yang akan meningkatkan pendapatan petani. Pihaknya tegas menolak impor beras dan meminta pemerintah serius membangun kedaulatan pangan di Indonesia. (rri.co.id, 11/1/2024).
Jika demikian kondisinya, maka janji swasembada pangan telah kandas. Pasalnya berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporannya mengungkapkan bahwa produksi beras di 2023 turun sebesar 2,05 persen atau setara 650.000 ton dibandingkan tahun sebelumnya (Ekonomi.Bisnis.com, 3/1/2024).
Impor Bukan Solusi
Adalah hal yang tak masuk akal, negeri yang kaya akan sumber daya alamnya dan tanahnya yang subur, kekurangan pasokan pangan sehingga harus melakukan impor. Dengan alasan sulit untuk mencapai swasembada pangan, melihat jumlah penduduk Indonesia yang hampir mencapai 280 juta jiwa dan membutuhkan beras sebagai makanan pokok.
Namun, ini tidak bisa menjadi pembenaran atas impor beras ini.
Jikapun benar, bahwa Indonesia kekurangan beras, tentu saja impor bukanlah solusi yang tepat. Melihat kebijakan impor ini sudah menjadi agenda tahunan, seolah Indonesia benar-benar kekurangan lahan sehingga tidak bisa menghasilkan panen yang bisa mencukupi kebutuhan masyarakatnya.
Indonesia memiliki sumber daya pertanian yang luar biasa, utamanya lahan pertanian yang sangat luas. Namun, sayangnya lahan pertanian saat ini telah banyak yang mengalami alih fungsi lahan, misalnya untuk pembangunan infrastruktur dan pembangunan-pembangunan lainnya yang hanya berorientasi pada keuntungan semata.
Karena itu, seharusnya negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah solutif dan antispasif dengan menyediakan lahan pertanian dan melibatkan para petani dalam prosesnya, bukan hanya sebagai buruh tani.
Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalis memandang masalah perekonomian terletak pada kelangkaan suatu barang atau jasa. Sehingga solusi yang diberikan adalah meningkatkan produksi barang atau jasa.
Namun, tak serius dalam memperhatikan distribusi barang tersebut kesetiap individu. Sehingga, meski stok banyak dan cukup, tapi tak ada jaminan setiap orang dapat memenuhinya. Juga, kebijakan ekonomi yang tidak pernah berpihak kepada rakyat.
Dalam sistem kapitalis yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal/konglomerat). Wajar jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat. Dalam kasus impor beras ini, tentu saja para petani yang sangat terpukul.
Solusi Islam Terhadap Lahan Pertanian
Islam menajdikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab menyediakan kebutuhan pokok termasuk makanan. Kepala negara juga pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam mengurusi rakyat, tidak boleh ada pengabaian hak rakyat hingga memberlakukan kebijakan zalim yang tidak pro terhadap kepentingan rakyat.
Adapun persoalan pertanian pada hakikatnya berhubungan dengan pemanfaatan lahan pertanian. Islam menyelesaikan persoalan lahan pertanian dengan menetapkan larangan pemisahan antara pemilik dan pengelola lahan pertanian.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memakmurkan (mengelola) tanah yang tidak menjadi milik siapapun, maka ia berhak atas tanah tersebut”. (HR Bukhari).
Dan negara berhak menyita lahan pertanian dari pemiliknya jika lahan itu tidak dikelola selama tiga tahun berturut-turut. Ketentuan ini mendorong pemanfaatan lahan pertanian secara optimal oleh pemilik lahan, yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi. Dengan demikian tak akan ada tanah yang tidak produktif. Sehingga, dengan pemanfaatan lahan pertanian yang maksimal akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Di samping itu, negara memberikan kemudahan dalam mengelola lahan. Seperti pemberian bibit, pupuk dan obat-obatan akan disupport penuh dengan subsidi yang besar dari negara. Sehingga tidak akan ditemui petani yang tak mampu mengelola lahannya karena tak punya modal.
Dalam mekanisme pasar, melalui supply and demand keseimbangan akan tercipta. Bukan dengan kebijakan pematokan harga. Tindakan curang seperti monopoli pasar, penimbunan, riba dan penipuan akan ditindak tegas. Sehingga tak ada yang akan memainkan harga seenaknya. Kebutuhan pangan pun tercukupi. Impor tak diperlukan lagi.
Ini semua hanya bisa terwujud manakala aturan yang menjadi landasan hidup masyarakat dan negara adalah berasal dari Allah SWT. Wallahu a’lam.[]
Comment