Impor Beras Akibat Mafia Sulit Diberantas

Opini735 Views

Oleh: Staviera A., dr, Praktisi Pendidikan, Pengamat Dinamika Kebijakan Publik

_______

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Wacana impor beras cukup memanas sejak kurang lebih satu bulan terakhir, diawali dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto yang menyatakan perihal rencana impor beras dalam jumlah besar, yaitu sebanyak satu juta ton, dalam rangka memenuhi kebutuhan beras nasional (cnbcindonesia.com, 26/03/21).

Hal ini menjadi polemik karena tidak tampak ada kebutuhan urgen untuk mengimpor apalagi dalam jumlah besar. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, menyatakan bahwa kondisi stok beras dalam negeri cukup aman, ditambah jelang musim panen seperti ini produksi beras dalam negeri akan meningkat (cnbcindonesia.com, 26/03/21).

Wacana impor ini juga ditolak oleh pemerintah daerah. Bupati Blora menyampaikan bahwa harga gabah di daerahnya sudah menurun, apalagi jika datang beras impor maka bisa lebih jatuh lagi.

Gubernur Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Gorontalo pun kompak mengkhawatirkan harga beras yang ambles jika beras impor masuk, apalagi menjelang musim panen raya (tirto.id,18/03/21).

Hal ini adalah fenomena unik bin ajaib, mengingat Indonesia adalah negara agraris. Luas panen padi per Januari-April 2021 ini mencapai 4,86 juta hektar, meningkat 1.02 juta hektar dibandingkan kuartal tahun lalu (ekonomi.bisnis.com, 01/03/2021). Harga beras pun dilaporkan stabil serta stok aman jelang panen raya di bulan April-Mei (idxchannel.com, 16/03/2021).

Masyarakat Buntung, Siapa Untung?
Tiada angin, tiada hujan. Tokoh masyarakat dan petani kebanyakan juga kompak menolak kebijakan. Lalu, siapakah yang untung dari impor beras ini?

Ekonom Faisal Basri memaparkan kemungkinan adanya mafia beras yang bermain dalam penentuan kebijakan impor besar-besaran ini. Dengan harga beras internasional yang jauh lebih murah dari harga beras dalam negeri, mafia beras dapat meraup keuntungan Rp 2,5 triliun jika menjual beras Vietnam secara eceran sebanyak 1 juta ton di Indonesia (idxchannel.com, 16/03/2021).

Hal senada dikemukakan juga oleh Ketua Dewan Nasional Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin, serta anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PKS, Amin Ak. Menurut Iwan Nurdin, patut dicurigai adanya mafia yang menguntungkan importir pangan dengan pengaruh yang sampai ke level kebijakan negara (idxchannel.com, 07/03/2021).

Hal ini patut dicurigai mengingat ‘kegigihan’ negara untuk selalu impor beras dalam jumlah yang cukup besar setiap tahunnya, mulai dari yang paling rendah tahun 2005 sebanyak 189.616 ton beras, hingga yang paling tinggi tahun 2011 sebanyak 2,7 juta ton beras, senantiasa berfluktuasi tanpa ada trend penurunan (bps.go.id).

Padahal, pemerintah sering menggaungkan berbagai slogan dan membuat program ke arah kedaulatan dan kemandirian pangan.

Lalu bagaimana cara mengukur gunanya program-program ini jika pemerintah masih terus saja impor beras? Apa lagi jika bukan karena adanya mafia yang gigih memperjuangkan impor yang mendatangkan keuntungan melimpah bagi kantong mereka.

Adanya mafia ini diakui oleh Dirut Perum Bulog, Budi Waseso sendiri. Ia menyatakan bahwa mafia beras masih terus beraksi, bahkan di tengah pandemi ini justru mafia lebih beringas mencari keuntungan. Berbagai kecurangan yang dilakukan oknum terindikasi mafia beras sudah ditemukan dan dilaporkan ke pihak hukum namun belum ada tindak lanjut (cnnindonesia.com, 25/06/20).

Bahaya Pola Pikir Profit-Oriented pada Urusan Masyarakat

Merajalelanya mafia importir pangan adalah dampak buruk dari pola pikir profit-oriented atau berorientasi pada keuntungan materil. Pola pikir ini bisa jadi berdampak positif pada pengusaha, namun dapat memberikan kehancuran jika digunakan dalam menangani urusan masyarakat banyak. Kepentingan rakyat akan terhalangi oleh nafsu pribadi.

Fenomena ini rawan terjadi pada negara dengan pola pikir sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, sebab terbiasa ‘meminggirkan’ Tuhan sebagai penjaga moral dan pemberi aturan dalam kehidupan. Jika Tuhan sudah biasa diabaikan, maka lebih mudah lagi untuk mengabaikan rakyat kecil.

Integritas, kejujuran, profesionalitas, sangat mudah tergadaikan dengan uang.
Begitupun rawan terjadi dengan negara dengan nuansa kebijakan kapitalistik di mana pemodal memiliki pengaruh besar bahkan lebih dari pemerintah yang berkuasa.

Campur tangan pemodal dalam menentukan kebijakan dan peraturan tidak dapat dihindari oleh penguasa sebagai bentuk balas budi di masa kampanye pemilihan umum yang menghabiskan banyak uang.

Solusi apapun yang ditawarkan oleh pola pikir sekuler dan kapitalisme, akan selalu bisa ditawar dengan uang. Maka mafia ini hanya bisa diberantas dengan mengubah pola pikir profit-oriented, yang menempatkan keuntungan materil sebagai tujuan utama manusia dalam bertingkah laku.

Mafia hanya bisa diberantas dengan pola pikir yang tidak mudah tergoyahkan dengan uang.

Budaya seperti ini kita dapatkan dalam peradaban Islam masa Muhammad SAW dan Khulafaurrasyidin, di mana penerapan hukum tidak bisa ditawar dengan uang. Islam dihadirkan dalam diri pribadi, masyarakat dan negara secara nyata menjadi sebuah sistem hidup yang riil dan menyeluruh.

Individu dibina ketaqwaannya, meyakini adanya Allah yang mengawasinya dalam setiap detik waktu. Memahami adanya siksaan di akhirat untuk pelaku kecurangan yang mempersulit urusan umat.

Di sisi negara, Qadli Muhtasib yang menangani pelanggaran hak-hak umat serta Qadli Mazhalim yang menangani kezaliman penguasa terhadap umat, melakukan penegakkan hukum tanpa tebang pilih.

Selain itu, terdapat pengelolaan kebijakan ekonomi Islam yang memberi batas tegas antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Pengusaha dapat eksis dalam iklim bisnisnya, dan pemerintah dapat fokus mengurusi rakyat tanpa ada campur tangan pihak-pihak yang hanya profit-oriented. Aduhai, betapa indahnya.[]

_____

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat menyampaikan opini dan pendapat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.

Setiap Opini yang ditulis oleh penulis menjadi tanggung jawab penulis dan Radar Indonesia News terbebas dari segala macam bentuk tuntutan.

Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan dalam opini ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawab terhadap tulisan opini tersebut.

Sebagai upaya menegakkan independensi dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Redaksi Radar Indonesia News akan menayangkan hak jawab tersebut secara berimbang.

Comment