RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Akhir-akhir ini, media diramaikan dengan diluncurkannya Program Organisasi Penggerak (POP) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Program ini digadang-gadang menjadi alternatif untuk meningkatkan kualitas guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Harapannya, dengan mengikutsertakan peran organisasi dapat mendorong hadirnya Sekolah Penggerak.
Namun, dengan masuknya pihak swasta yang terafiliasi dengan _Corporate Social Responsibility_ (CSR) perusahan besar justru menimbulkan kontroversi.
Bahkan organisasi besar dalam dunia pendidikan, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, dan Lembaga Pendidikan Ma’arif PBNU memutuskan mundur dari program POP Kemendikbud.
Dilansir dari laman kompas.com, Jumat (24/07/2020), Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda berharap agar kebijakan program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk ditata ulang. Menurut Huda, Kemendikbud harus mencari skema terbaik agar program Organisasi Penggerak tidak menimbulkan polemik.
Mundurnya kepesertaan organisasi pendidikan tersebut secara tidak langsung menunjukan adanya masalah pada program Organisasi Penggerak. Beberapa pengamat pendidikan menyatakan ketidakjelasan program mulai dari what, why dan how.
Dilansir dari laman tribunnews.com, Minggu (26/07/2020), Pengamat pendidikan asal Surabaya, Moch Isa Anshori, menanggapi bahwa persoalan yang ada justru menjurus pada kemampuan Nadiem Makarim dalam memperlakukan ketiga organisasi tersebut. Seharusnya, ketiga organisasi tersebut ikut dilibatkan dalam penyusunan program ini.
Muhammadiyah menyampaikan alasan mereka keluar dari program Organisasi Penggerak karena ketidakjelasan dalam penentuan lolosnya evaluasi proposal.
Sedangkan PB PGRI mengatakan alasan mundur karena berbagai pertimbangan di tengah pandemi virus corona, dana POP seharusnya bisa digunakan untuk menunjang kebutuhan infrastruktur sekolah, guru, dan murid.
Mengapa begitu banyak kebijakan yang seharusnya menjadi solusi malah menimbulkan polemik baru?
Dunia pendidikan di Indonesia seperti belum pernah lepas dari kata masalah. Niat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa pun seakan pupus. Harapan untuk mencetak generasi unggul hanya angan-angan belaka.
Wajar saja jika pihak swasta ikut serta terjun dalam dunia pendidikan. Negara yang seharusnya berperan dalam mewujudkan tenaga didik yang handal, malah abai dengan semua itu.
Keberpihakan pemerintah yang lebih mengutamakan kepentingan korporasi, seakan menjadi bukti masifnya praktek kapitalisasi. Negara memilih berlepas tangan dengan mengotak-ngotakkan kebijakan.
Hal ini merupakan satu dari banyaknya masalah yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme demokrasi yang diadopsi oleh banyak negara juga negeri ini. Jika sistemnya saja tidak memiliki mindset untuk mensejahterakan umat, bagaimana mungkin sistem tersebut dapat melahirkan kebijakan solutif?
Negara yang seharusnya bertanggung jawab atas kebutuhan rakyatnya malah menjadi agen korporasi yang diam-diam ingin menguasai negeri.
Tentu hal ini berbeda ketika sistem Islam yang digunakan untuk mengatur kehidupan. Islam memandang pendidikan adalah kebutuhan dasar (hajah asasiyyah) yang harus dijamin.
Negara wajib menyediakan sarana pendidikan, sistem pendidikan serta menggaji tenaga pendidiknya. Setiap individu harus terpenuhi baik laki-laki, perempuan, kaya, maupun miskin, semua memiliki hak yang sama.
Pendidikan diberikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara. Infrastruktur dan fasilitas yang disediakan haruslah memadai, seperti gedung-gedung sekolah, perpustakaan, balai-balai riset, laboratorium, dll. Setiap sekolah juga akan memiliki kualitas yang sama, baik di desa maupun kota.
Contohnya saja adalah Madrasah al-Muntashiriah di kota Baghdad yang didirikan oleh Khalifah al-Muntashir Billah. Setiap siswa di sekolah tersebut menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas).
Begitu pula dengan Madrasah an-Nuriah yang didirikan oleh Khalifah Nuruddin Muhammad Zanky pada abad 6 H di Damaskus. Berbagai fasilitas yang lengkap tersedia, seperti perumahan staf pengajar, asrama siswa, tempat peristirahatan, para pelayan, serta aula besar untuk ceramah dan diskusi.
Mengenai biaya pendidikan, secara keseluruhan diambil dari baitul mal, yakni dari pos kharaj dan fa’i_ serta pos milkiyyah ‘amah.
Tentunya ini karena kejelasan Islam dalam mengatur kepemilikan, baik kepemilikan individu, kepemilikan umum, maupun kepemilikan negara. Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjunjung bebas kepemilikan, di mana properti hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki modal saja.
Lalu apa yang masih kita harapkan dari sistem kapitalis demokrasi? Apakah kita masih ingin bertahan dengan janji-janji manis yang tak pernah terealisasi?
Bukankah begitu banyak kebijakan miring yang tidak berpihak kepada keadilan lahir dari sistem ini?
Mengapa kita tidak mengambil pelajaran dari sejarah keberhasilan Islam yang mampu membawa manusia pada kesejahteraan di segala lini kehidupan selama 13 abad lalu?
Keadilan hakiki yang manusia harapkan itu hanya bisa tercapai melalui penerapan Islam kaffah sebagai rahmatan lil alamin. []
*Mahasiswi UM
Comment