RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sejak digaungkannya rencana new normal life oleh pemerintah, kini masyarakat dapat menjalankan aktivitas kembali, tentunya dengan protokol kesehatan yang telah diberikan. Presiden Joko Widodo juga mengajak masyarakat untuk dapat hidup berdamai dengan Covid-19.
Namun, makna kata new normal masih begitu simpang siur di tengah masyarakat. Tidak semua orang memahami tentang persiapan dan pelaksanaan yang diperlukan.
Seperti dikutip dari pemberitaan Kompas.com (20/05/2020), Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito mengatakan, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal.
Kebijakan ini pun dirasa terlalu buru-buru, mengingat kasus positif Covid-19 masih terus meningkat. Begitu banyak kriteria yang harus dipenuhi, seperti kesiapan pelayanan kesehatan, upaya pencegahan di tempat umum, edukasi, sosialisasi, dan stimulasi.
Dilansir dari Kumparan.com (13/06/2020), para ahli epidemiologi juga mengkritik keras upaya new normal yang digadang-gadang pemerintah untuk menghadapi aktivitas publik baru ketika pandemi. Nyatanya kurva pertumbuhan kasus Covid-19 di Indonesia belum mencapai puncak dan diprediksi akhir pandemi masih jauh.
Sekilas, rencana new normal life ini seperti membawa harapan baru kepada masyarakat. Padahal kebijakan ini begitu tidak populis. Demi menghidupkan kembali ekonomi, pemerintah rela menetapkan new normal yang dapat menimbulkan korban dan keselamatan rakyat.
Sebenarnya untuk siapa kebijakan new normal ini ditujukan? International Monetary Fund/IMF menyampaikan jika dunia sudah memasuki gerbang krisis ekonomi yang parah. Apabila pembatasan sosial terus berlangsung, tentunya akan banyak investasi dibatalkan dan berakibat pada bangkrutnya perusahaan.
New normal adalah bukti gagalnya sistem kapitalisme mengatasi wabah. Sejak awal pun wabah ini tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Bahkan berbagai statement yang meremehkan Covid-19 keluar dari penguasa. Tentu saja ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah mengurusi rakyatnya.
Bagaimana lagi? Mindset pemerintahan yang kapitalistis tentulah menjadikan sektor ekonomi sebagai yang utama. Kekuasaan dipegang oleh mereka yang memiliki modal. Bukan hanya gagal dalam mengatasi wabah tetapi juga kegagalan dalam menciptakan kesejahteraan umat.
Sebenarnya bukan new normal tetapi new system lah yang dibutuhkan. Sebuah system yang mampu memberi solusi atas segala problematika kehidupan, termasuk penanggulangan wabah. Islam selalu hadir dengan sebaik-baik solusi karena datang dari Sang Pencipta. Islam telah memberikan anjuran untuk mengatasi penyebaran penyakit menular.
Rasulullah saw bersabda, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).
Sehingga ketika terdengar berita adanya wabah, negara akan langsung me-lockdown wilayah tersebut sesegera mungkin. Hal ini untuk mencegah meluasnya wabah penyakit. Selama masa karantina negara wajib menjamin kebutuhan pokok warganya, baik sandang, pangan, kesehatan, pendidikan, dll.
Selain itu, akan dilakukan test swab pada setiap individu terdampak wabah tanpa terkecuali, sehingga penanganan bisa disegerakan. Berbagai penelitian juga akan digencarkan agar vaksin penyakit segera ditemukan.
Masihkah pemerintah dapat menyelesaikan tugas sebagaimana harapan rakyat?
Rakyat hanya bisa menjerit. Jangankan untuk mendapat pelayanan kesehatan yang memadai, kebutuhan pangan saja, pemerintah belum bisa menjamin secara maksimal.
Seharusnya seluruh fakta tersebut membuat kita paham dan sadar bahwa ada yang salah dengan sistem sekarang.
Sistem kapitalisme hanya memberi kerusakan dan kehancuran dalam setiap jejak langkah kekuasaan. Bangsa besar ini harus bangkit terlebih umat Islam agar bangkit dan kembali pada sistem Islam yang telah terbukti hampir 13 abad mampu membawa keadilan dan rahmat bagi seluruh alam. []
*Mahasiswi
Comment