Ikut Nyaleg, Kepala Daerah Tidak Amanah?

Opini169 Views

 

 

Oleh: Widya Soviana, Dosen dan Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat

__________

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA  — Pesta demokrasi sudah diambang pintu. Para elit politik mulai menyusun berbagai strategi untuk memperoleh kesempatan meraup suara pemilih sebanyak-banyaknya guna mendominasi kursi parlemen.

Pada kesempatan pesta demokrasi guna memilih anggota parlemen kali ini diwarnai oleh banyaknya para pejabat kepala daerah ikut serta sebagai bakal calon legisatif (bacaleg).

Laman tirto.id (21/05/23) menulis bahwa sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan ikut nyaleg di antaranya dari partai Demorat, Golkar, PKB, Perindo, Nasdem dan PPP.

Menyikapi hal tersebut, Arfianto Purbulaksono selaku Manajer Riset dan Program the Indonesian Institute menyebutkan ada hal yang tak biasa dalam pemilu Tahun 2024.

Bila sebelumnya menjadi caleg merupakan batu loncatan menuju pilkada, namun saat ini para kepala daerah dan wakil kepala daerah justru memilih mundur untuk menjadi caleg. Sehingga, fenomena ini menunjukkan bahwa motif politik untuk meningkatkan suara partai dari para kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan untuk kepentingan kelompok partai.

Alhasil, janji politik dan sumpah jabatan yang dilakukan oleh para kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut hanyalah bualan saja. Kepentingan publik menjadi tidak diindahkan, sebab kepentingan individu dan kelompok adalah yang utama dalam pesta demokrasi.

Dalam demokrasi, para elit politik hanya bekerja dengan arahan partai dan untuk kepentingan golongan. Sehingga, amanah pemimpin yang seharusnya mengutamakan kepentingan umum secara nyata telah diabaikan.

Kegiatan pemilu yang disebut-sebut sebagai pesta rakyat sebenarnya hanya ditujukan untuk partai politik dan angotanya. Rakyat hanya menjadi objek dan sasaran para elit politik sebagai anak tangga yang terus dimanfaatkan untuk mencapai kursi kekuasaan. Sehingga wajar bila Arfianto menyatakan bahwa mundurnya para kepala daerah dan wakil kepala daerah dari jabatannya untuk menjadi caleg adalah tidak etis.

Demokrasi Liberal tidak membawa kebaikan bagi rakyat

Istilah demokrasi dikenal sebagai sebuah sistem pemerintahan yang memberikan kesempatan yang sama kepada warga negara untuk mengambil keputusan. Sehingga, demokrasi disebut juga sebagai “vox populi vox dei” yang berarti suara rakyat adalah suara Tuhan.

Demokrasi yang digaungkan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, sehingga suara mayoritas menjadi pedoman pada setiap keputusan yang ditetapkan dan bukan berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Dalam cara pandang kapitalisme saat ini, pengemban demokrasi telah diwarnai dengan asas materialistis. Di mana setiap pengambilan kebijakan hanya untuk memperoleh keuntungan semata dan bukan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyatnya. Ketertarikan para elit politik untuk memperoleh kursi kekuasaan adalah untuk mendapatkan kesempatan memperkaya diri sendiri dan golongannya. Sehingga tak heran bila para elit politik tersebut mau menggelontorkan modal yang besar untuk memperebutkan kursi parlemen tersebut.

Berbagai cara dilakukan hanya untuk memperoleh dukungan suara dari calon pemilih. Gaji dan tunjangan anggota legislatif menjadi mimpi yang menggiurkan untuk menutupi modal yang telah dikeluarkan saat pesta demokrasi dilakukan.

Demokrasi yang berbiaya mahal menjadi jalan para pemilik modal untuk memberi bantuan kepada para tokoh masyarakat. Namun bantuan yang diberikan menjadi ikatan perjanjian yang harus dibayarkan lebih ketika para tokoh tersebut berhasil menduduki kursi kekuasaan.

Karena biayanya yang besar, maka tak heran banyak artis yang ikut pula diterjunkan menjadi caleg dalam sistem demokrasi. Di samping popularitasnya, para artis dianggap memiliki modal yang cukup besar untuk mendanai masa kampanye berlangsung. Meskipun secara kinerja para artis tidak memiliki kemampuan memadai sebagai politisi seperti yang diucapkan oleh Lucius Karus dalam berita yang dihimpun BBCnews (13/05/23).

Lucius menyebutkan, “Kemampuan para artis nyanyi, main film, ngelawak baik, tapi kapasitas sebagai legislator kurang”. Alhasil, demokrasi menjadi jalan bagi para pemilik modal untuk memperbesar dan menggelembungkan modalnya berlipat ganda. Sedangkan rakyat, hidupnya jauh dari sejahtera.

Sistem Islam menjamin pemimpin yang amanah

Islam memiliki sistem politik yang khas. Seorang pemimpin diangkat melalui metode baiat untuk mewakili umat menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan menerapkan hukum-hukum syariah. Kedaulatannya terletak pada ketetapan syariah bukan di tangan rakyat juga tidak ditangan seorang penguasa. Sehingga, kekuasaan dan kepemimpinannya adalah dalam rangka mewajibkan seluruh rakyat untuk menaatinya dalam menerapkan hukum-hukum syariah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Oleh sebab itu, penguasa memiliki kesadaran tinggi dan senantiasa terikat dengan hukum-hukum syariah demi melegalisasi hukum yang akan dijalankan dalam pemerintahan dan kekuasaannya. Di samping itu, ada majelis umat yang dapat melakukan koreksi dan kontrol terhadap jalannya pemerintahan.

Majelis umat merupakan majelis yang beranggotakan perwakilan rakyat untuk memberikan pendapat sebagai rujukan pemimpin untuk berbagai urusan pemerintahan. Majelis umat tidak sama seperti anggota legislatif dalam sistem demokrasi yang memiliki hak untuk menetapkan dan mengesahkan hukum-hukum positif (hukum buatan manusia) berdasarkan suara mayoritasnya.

Keberadaan majelis umat sebagai majelis yang melakukan kontrol terhadap kebijakan yang diambil pemimpin sehingga senantiasa berjalan berdasarkan hukum-hukum Syariah. Sehingga, pemerintahan yang berjalan sesuai dengan hukum syara dan terhindar dari kepentingan individu, golongan dan partai politik tertentu  seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi. Di mana, pejabat kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan kerelaan mundur untuk menjadi caleg guna meraup suara yang banyak bagi kelompoknya. Motif politik yang mencurangi rakyat tersebut pun diatur dalam hukum positif untuk memuluskan keinginan partai politik mendominasi kursi parlemen.

Demokrasi senantiasa digunakan sebagai alat para elit politik untuk memperoleh kekuasaan yang selanjutnya mengkhianati rakyat dengan berbagai janji-janji palsunya. Karena demokrasi secara hakiki meletakkan kedaulatan di atas tangan para penguasa, baik penguasa tersebut seorang yang zhalim ataupun tidak.

Maka pantaslah kita merenungkan firman Allah Subhana wa Ta’ala di dalam Al Qur’an Surah Al Maidah ayat 50 yang artinya “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin”?[]

Comment