Iga Latif, S.Pd. [Dok/radarindonesianews.com] |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Ketika nilai-nilai dan rasa kemanusiaan telah hilang dari sisi kehidupan, deretan kata manusiawi seolah menghilang begitu saja menyaksikan musibah yang menimpa kaum muslim di Ghouta Timur. Bombardir peluru dan bom tak henti menghujam warga sipil mulai Ahad pekan lalu (18/02/2018).
Tak ayal jerit tangis, teriakan meminta tolong dan genangan darah menjadi pemandangan yang selalu disuguhkan di Ghouta Timur. Kata neraka memang sangat cocok untuk menggambarkan situasi pada hari Ahad di mana serangan paling mematikan dalam tiga tahun terakhir yang menewaskan tak kurang dari 176 orang.
Digambarkan oleh matamatapolitik.com, seorang dokter yang menjadi relawan pun mengamini bahwa Ghouta telah menjelma menjadi neraka baru di bumi Suriah dan peristiwa ini adalah pembantaian terbesar yang menimpa penduduk Ghouta.
Seperti dikutip pikirarakyat.com, sejak pasukan Suriah membombardir Ghouta awal pekan lalu, lebih dari 335 penduduk sipil telah terbunuh di daerah kantong oposisi Suriah. Bahkan dalam serangan terbaru yakni kamis (22/02/2018) bencana kemanusiaan ini telah menewaskan 13 warga sipil.
BBC melansir, di antara derasnya hujan peluru, warga Ghouta merasa diabaikan dunia. Firas Abdullah di antara reruntuhan bangunan mengatakan, rudal dan mortir dijatuhkan kepada kami seperti hujan, tak ada tempat bagi kami untuk berlindung di Ghouta Timur. Kami tak bisa lepas dari mimpi buruk ini.
Bertahan ditengah isolasi. Seolah kehabisan kata melukiskan kondisi Ghouta Timur. Salah seorang relawan dari Helm Putih Mounir Mustafa mengatakan, kondisi Ghouta mirip dengan hari kiamat. Tak puas dengan bombardir peluru dan menjadikam rumah warga sipil sebagai sasaran, sekolah dan rumah sakit juga menjadi target serangan yang memilukan. Kawasan yang dikepung sejak Oktober 2013 ini kemudian semakin sulit dijangkau, terlebih satu tahun terakhir.
Rute yang biasa digunakan untuk memasok bantuan untuk warga sipil yang terjebak kini tak lagi bisa diakses. Meskipun bantuan berhasil masuk, hanya mengkover beberapa ribu pengungsi. Sementara jumlah warga yang terjebak mencapai lebih dari 400.000 orang. Claran Donaely dari komite penyelamatan internasional menambahkan, pertempuran yang terjadi di Ghouta Timur itu tidak memungkinkan proses penyaluran bantuan kemanusiaan.
Gencatan senjata bukan solusi berarti
Penduduk Ghouta diserang dari segala penjuru tanpa perlawanan dan perlindungan yang berarti. Penyelesaian yang ditawarkan PBB melalui pengumuman gencatan senjata pun tak mengurangi jumlah peluru yang menghujani Ghouta Timur.Terbukti meskipun PBB mengumumkan gencatam senjata di seluruh wilayah Suriah, Ghouta Timur masih menjadi sasaran mesin pembunuh rezim Assad dan Rusia. Bahkan banyak laporan menyebutkan Rezim Assad menggunakan senjata terlarang, senjata kimia. Ironisnya pemerintah Suriah membantah tentara mereka melakukan penyerangan pada penduduk sipil. Militer Suriah mengklaim bahwa apa yang dilakukannya itu adalah membebaskan daerah Ghouta dari teroris.
Statemen rezim Suriah tersebut sungguh sangat berlawanan dengan fakta yang terjadi. Jerit tangis dan mayat anak-anak yang tak berdosa itu tidak berarti apa-apa di mata pemerintah Suriah. Sebab hingga detik ini Ghouta masih meratap dan menangis pilu menanti agar pembantaian ini disudahi.
Ghouta masih menangis. Ghouta masih dipenuhi duka lara. Ghouta masih serasa neraka. Sudahi semua ini ataukah tak ada lagi hati nurani? Wallahu a’lam bis showab.[]
*Penlis adalah staff Pengajar di Airlangga Education Center Bojonegoro dan pemerhati Remaja
Comment