Iga Latif, S.Pd: Ironi Negeri Lumbung Padi

Berita460 Views
Iga Latif, SP.d
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu.
Begitulah kira-kira gambaran tentang negeri tercinta ini dalam syair salah satu lagu yang dipopulerkan oleh Koes Ploes di era 70an. Setidaknya dari petikan lirik lagu tersebut,tergambar betapa indonesia adalah negara dengan sumber daya alam yang melimpah ruah.
Karenanya,sudah semestinya indonesia tidak lagi terkungkung dalam kemiskinan yang melanda penduduknya. Polemik gizi buruk tak lagi mungkin terus menghantui bayi dan anak-anak di negeri yang mendapat julukan negeri agraris.
Paling tidak indonesia menjadi negara yang jauh dari kriminalitas. Karena memiliki sumber daya manusia yang berkualitas adalah hal yang mudah ditengah melimpahnya sumber daya alam yang sangat mampu mensejahterakan penduduknya.
Namun jeritan petani di musim panen raya di bulan Februari-Maret 2018 telah merubah semua gambaran indah di negeri yang juga mendapat julukan negeri lumbung padi ini. Alih-alih mensejahterakan petani dengan hasil panen yang melimpah, musim panen justru berubah menjadi momen ironi,ketika petani dihadapkan pada keputusan pemerintah yang akan mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam dengan jumlah fantastis yakni sebanyak 500.000 ton. (detik.com) 
Mengapa justru negeri yang menduduki posisi ke 3 di jajaran negeri produsen beras terbesar di dunia ini,mengimpor beras di saat panen raya? Sebagaimana yang dilansir oleh hidayatullah.com volume produksi beras di indonesia memang meningkat pada tahun 2016,yakni sebesar 79.200.000 ton,namun naiknya jumlah konsumsi beras pada tahun 2017 akhirnya menjadi penyebab indonesia harus mengimpor beras.
Kondisi semakin diperburuk dengan disfungsi bulog sebagai penyangga aktif logistik pangan nasional yang beralih pada ruang gerak bulog yang lebih mencerminkan sebuah perusahaan korporasi yang harus mencari keuntungan agar dapat memberi deviden pada para pemegang saham atau negara (hidayatullah.com) 
Jika keuntungan sekelumit orang yang menjadi prioritas,maka siapa yang akan mendengarkan jerit pilu para petani?
Mengapa tidak dengan mengembalikan peran bulog sebagai penyangga aktif logistik pangan nasional? Mengapa justru impor yang dilakukan?
Sudah saatnya negara ini beralih dari sistem yang tak lagi ramah pada rakyatnya. Sudah saatnya negeri lumbung padi ini mengakhiri ironi berkepanjangan yang terjadi.[]

Comment