Ibuku Sayang Ibuku Malang

Opini474 Views

 

 

Penulis: Rizki Utami Handayani, S.ST, Pengajar di Ma’had Pendidikan Da’i Quran

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA  — Berita kematian selalu memberikan luka dan kepedihan yang mendalam di setiap jiwa yang mendengarnya. Apalagi jika kabar kematian itu datang dari ibu yang sedang bertugas melanjutkan peradaban manusia, meregang nyawa saat melahirkan penerus peradaban.

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu Dawud RA bahwasannya seorang wanita yang meninggal karena melahirkan baik dalam kondisi nifas atau bayi masih ada di dalam perutnya, itu termasuk dalam kategori syahid.

Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid. Namun pahalanya tidak harus seperti syahid ketika berjihad di medan perang.

Betapa indah pahala perjuangan seorang ibu yang melahirkan berjuang di antara hidup dan mati.  Tentu saja sebagai seorang muslim yang baik kita tetap harus berikhtiar agar para ibu dapat melalu seluruh proses dimulai dari kehamilan, melahirkan dan mengasuh anak-anaknya dalam kondisi yang sehat jiwa dan raganya.

Namun ternyata harapan masih jauh dari kenyataan. Angka Kematian Ibu (AKI) masih menjadi momok di dunia kesehatan. Satu perempuan meninggal setiap dua menit selama kehamilan atau persalinan.

Laporan terbaru dari empat badan PBB dan Bank Dunia ini jelas cukup menghawatirkan. Lebih menyedihkan lagi, kasus tertinggi ternyata terjadi di negeri muslim.

Berdasarkan rilis baru Badan Kesehatan Dunia (WHO), ada 620 kematian per 100.000 KH di Afganistan. AKI di sana lebih tinggi dibandingkan enam negara tetangganya. (Sumber : VOA).

AKI di Indonesia juga ternyata masih tinggi, yaitu 305 per 100.000 kelahiran hidup (KH). Pemerintah Indonesia sendiri menarget pada 2024 AKI turun menjadi 183 per 100.000 KH. (Sumber : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia).

Data tahun 2020 menunjukkan satu kematian ibu hamil atau melahirkan setiap dua menit. Bahkan badan dunia seperti PBB mengingatkan para pemimpin negara untuk bertindak mengakhiri kematian ibu, dengan memberi sistem perawatan kesehatan dan menutup kesenjangan sosial dan ekonomi yang melebar yang berdampak pada kematian.

Karena pentingnya AKI ini sehingga menjadi salah satu indikator yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Indonesia memiliki tujuan untuk menurunkan angka kematian ibu yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs).

Komplikasi yang menyebabkan kematian ibu di antaranya adalah perdarahan hebat saat proses persalinan, infeksi saat kehamilan atau setelah persalinan, hipertensi dalam kehamilan yang mengarah ke preeklampsia dan eklampsia, komplikasi pada masa nifas, melakukan tindakan aborsi yang tidak memenuhi standar medis, adanya penyakit lain yang mendasari, seperti diabetes dan penyakit jantung.

Banyak faktor yang menyebabkan AKI ini menjadi tinggi diantaranya adalah 3 terlambat dan 4 terlalu, maksudnya adalah tiga faktor terlambat yang dimaksud adalah terlambat dalam mengambil keputusan, terlambat sampai ke tempat rujukan, dan terlambat dalam mendapat pelayanan di fasilitas kesehatan.

Adapun 4 terlalu adalah terlalu muda saat melahirkan, terlalu tua melahirkan, terlalu banyak anak, dan terlalu dekat jarak melahirkan. Tentu hal ini semua berkaitan dengan pola pengetahuan dan kondisi ekonomi masyarakat atau tingkat kesejahteraan yang mempengaruhi perilaku saat menghadapi kehamilan hingga proses persalinan.

Selain itu turut berkontribusi perihal masalah infrastruktur, sistem rujukan, dan alokasi tenaga kesehatan.

Berbagai upaya sebenarnya sudah dilakukan dalam rangka menyelesaikan permasalahan ini, mulai dari upaya yang mengharuskan ibu hamil memeriksakan kehamilannya secara teratur, kelas ibu hamil yang masuk ke dalam program ANC (Antenatal Care), melibatkan peran suami hingga masyarakat seperti program desa dan suami SIAGA (Siap Antar Jaga), program KB (Keluarga Berencana) sampai kepada upaya PKG (Pengarusutamaan Gender) dan banyak lagi hal yang lainnya.

Akan tetapi bisa dikatakan rapornya tetap saja merah. Permasalahan AKI belum bisa dituntaskan dengan baik. Faktor ekonomi masyarakat menjadi hal yang harus diseriusi untuk diselesaikan.

Dampak mahalnya biaya kesehatan  mempengaruhi layanan kesehatan itu sendiri. Komersialisasi layanan kesehatan menyebabkan rakyat tidak mendapatkan layanan berkualitas secara merata. Rakyat yang membutuhkan layanan kesehatan akan terhalang memperoleh pertolongan bila tidak mampu membayar biaya pengobatan yang mahal.

Karenanya yang menjadi korban  kapitalisasi kesehatan hari ini adalah rakyat kecil. Hal itu menunjukkan pemerintah dalam kebijakan kesehatannya gagal menjamin perolehan hak rakyat di bidang kesehatan.

Meskipun sudah ada mekanisme JKN-BPJS nyatanya tidak semua rakyat mendapatkan jaminan karena tidak semua mendapatkan jaminan mendapat pembayaran premi dari pemerintah, karena tidak semua mampu membayar biaya bulanan terlebih untuk seluruh anggota keluarga. Semua itu menjadi bukti kompleknya persoalan bangsa ini dan krisis itu sampai menyentuh ranah kesehatan.

Solusi yang ditawarkan sebenarnya solusi utopia. Karena dalam kapitalisme, kesehatan dikapitalisasi dan kemiskinan tidak mungkin dientaskan. Data ini sejatinya membuka borok kegagalan kapitalisme dalam upaya menyelesaikan persoalan AKI.

Tanpa kesejahteraan dan layanan kesehatan murah, kebijakan negara, AKI akan terus terjadi. Islam menjadikan layanan kesehatan termasuk pada ibu hamil dan bersalin sebagai kewajiban negara. Apalagi hal ini terkait dengan masa depan generasi yang akan membangun peradaban yang mulia. Islam juga menjamin kesejahteraan rakyat dengan berbagai mekanisme sehingga tercapai derajat kesehatan yang tinggi dan layanan kesehatan prima.

Layanan kesehatan versi kapitalisme jelas tidak sebanding dengan realitas layanan kesehatan dalam sejarah peradaban Islam yang memiliki perhatian begitu besar bagi pengurusan urusan rakyat.

Dalam menjalankan pemenuhan kebutuhan rakyat, negara wajib membangun falsafah pelayanannya berbasis ri’ayah asy-syu’un al-ummah (pengurusan urusan rakyat). Dengan paradigma ini, penguasa akan memposisikan diri sebagai pengurus urusan rakyatnya.

Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin itu laksana gembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan gembalaannya (rakyatnya).” (HR Imam Bukhari dan Ahmad).

Paradigma inilah yang hadir dalam penyelenggaraan sistem kesehatan, yakni berbasis preventif promotif dan kuratif rehabilitatif. Tatanan kesehatan ini tegak atas paradigma khas bahwa penguasa memahami amanah yang mereka emban kelak akan Allah minta pertanggung-jawabannya.

Jika yang menjadi masalah saat ini adalah pendanaan, butuh koreksi sistemis mengenai sistem ekonomi kapitalisme yang berjalan hari ini. Sistem ini yang menjadi pangkal karut-marutnya berbagai aspek, termasuk kesehatan.

Jaminan kebebasan dalam sistem ini terbukti menciptakan sistem kehidupan dan masyarakat yang sakit di berbagai sisi. Secara mandiri, negara akan menyelenggarakan pelayanan kesehatan berkualitas dengan dukungan sumber daya manusia yang handal dan fasilitas pendukung yang berkualitas.

Sistem ekonomi Islam mengatur pendanaan mandiri dan berkualitas. Melalui pos-pos baitul mal, yakni dari pos fa’i dan kharaj, serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum) sistem kesehatan berkualitas dan gratis akan terselenggara.

Aspek yang tidak hadir dalam sistem kesehatan hari ini tidak lain paradigma sistemik, yakni negara memposisikan diri sebagai pelayan rakyat. Saat ini, biaya kesehatan murah dan berkualitas seolah barang mewah. (Sumber: www.muslimahnews.net).[]

Comment