Oleh: Fathimah Bilqis, S.Pd, Praktisi Pendidikan
__________
RADARINDONESISNEWS.COM, JAKARTA — Viral, seorang pendeta Abraham Ben Moses meminta Menag Yaqut Cholil Qoumas untuk menghilangkan 300 ayat dalam Al Qur’an. Pendeta dengan nama asli Saifuddin Ibrahim adalah murtaddin, seseorang yang keluar dari agama Islam. Sebelumnya dia adalah seorang pengajar di Pesantren Al Zaytun di Indramayu. Hingga akhirnya pada tahun 2006 dia memutuskan untuk keluar dari agama Islam. Bahkan hampir saja dia memurtadkan istri dan ketiga anaknya saat itu. Syukurlah mereka tidak mengikuti langkah murtadin tersebut.
Bukan kali ini saja murtaddin itu melecehkan Islam. Sebelumnya tahun 2017 dia melakukan penghinaan terhadap Islam dan kaum muslim. Tepatnya pada 12 November 2017, Pendeta tersebut pernah membuat sebuah unggahan di akun Facebook yang menyatakan Allah SWT adalah delusi. Ditambah mengatakan bahwa Allah SWT merupakan teman sebaya Nabi Muhammad SAW.
Dengan pernyataannya tersebut, Pendeta tersebut kemudian ditangkap atas tuduhan penistaan agama dan menjalani hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 50 juta.
Di samping itu, dalam akun YouTube miliknya dengan lugas mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah dibaptis dan ia berpendapat bahwa Islam merupakan sekte dari agama Kristen. Masih di akun YouTube miliknya dia mengatakan bahwa pondok pesantren dan madrasah yang ada di Indonesia merupakan lembaga pendidikan yang mencetak terorisme dan radikalisme. (suara.com/ 25 Maret 2022)
Viralnya pelecehan terhadap Islam dan kaum muslim yang dilakukan oleh pendeta tersebut mengundang respon dari berbagai tokoh. Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD bahkan telah meminta Polri menyelidiki tayangan video yang meminta Menag Yaqut Cholil Qoumas untuk menghapus 300 ayat di Al-Quran karena menimbulkan kegaduhan.
Menurutnya pernyataan pendeta tersebut meresahkan dan berpotensi memecah belah umat beragama di Indonesia. Bahkan merupakan penistaan agama. Penistaan agama merupakan perbuatan pidana yang ancaman hukumannya penjara lebih dari 5 tahun. (liputan6.com/ 17 Maret 2022).
Sejalan dengan itu Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan mengatakan tindakan pendeta tersebut masuk kategori perbuatan penodaan dan penistaan agama Islam.
Tindakan penodaan agama tidak terbatas dalam bentuk pembuatan gambar, poster, karikatur, dan sejenisnya. Keputusan Ijtima’ Komisi Fatwa MUI 2021 di Jakarta di antara keputusannya adalah menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan agama, keyakinan dan simbol-simbol dan/atau syiar agama yang disakralkan oleh agama hukumnya Haram. (inews.id/ 19 Maret 2022).
Ditambahkan pula oleh Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum yang mengatakan bahwa pendeta tersebut dapat dijerat dengan Pasal 28 UU ITE tentang ujaran kebencian, hate speech berunsur SARA dan Pasal 156a KUHP tentang penistaan agama.
Sudah terang pula menurut Prof. Suteki bahwa jenis delik penistaan agama bukan delik aduan, sehingga polisi sudah dapat bergerak tanpa harus menunggu adanya laporan dari masyarakat. Ia juga menjelaskan bahwa ujaran kebencian terhadap kitab suci adalah salah satu bentuk penghinaan dan penistaan terhadap agama secara umum. (news.tintasiyasi.com/ 22 Maret 2022).
Demokrasi Lahirkan Kebebasan Berpendapat
Ironis, negeri muslim terbesar (86,88% atau setara dengan 236,53 juta jiwa penduduknya) ini sangat masif terjadi berbagai penyerangan terhadap Islam, ajaran, dan pemeluknya. Baik penghinaan, pelecehan, penodaan agama, kriminalisasi, kampanye negatif, hingga serangan secara fisik seperti perusakan tempat ibadah maupun aset umat Islam.
Serangan terhadap Islam dan kaum muslim semakin bertambah seiring menguatnya pemahaman tentang hak asasi manusia (HAM) dan pemikiran sekuler di tengah masyarakat. Berlindung di balik kebebasan berpendapat, mereka melecehkan dan menodai agama Islam. Sebagaimana dituangkan dalam pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi; “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Kebebasan berpendapat merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari Demokrasi. Demokrasi bukan sekedar pemilu. Demokrasi memiliki asas kedaulatan di tangan rakyat. Artinya rakyat yang berhak menentukan aturan hidupnya. Dalam pandangan trias politica yang dianut negeri ini kekuasaan dibagi menjadi tiga, yaitu legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang) dan yudikatif (pengawas undang-undang). Rakyat melalui badan legislatif (wakilnya) membuat perundang-undangan (aturan hidup).
Selain itu, demokrasi memiliki empat paham kebebasan yaitu kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku dan kebebasan berkepemilikan. Kebebasan berpendapat ini memudahkan para pembenci Islam untuk mengeluarkan pendapatnya dengan menghina dan melecehkan Islam. Bahkan dengan kebebasan berpendapat menjamur paham sekulersime, hedonisme, dan paham-paham sesat lainnya.
Kebebasan berkeyakinan membuat masyarakat tidak memandang agama sebagai hal yang sakral. Bahkan cenderung mempermainkan agama. Kebebasan ini juga yang menjadikan pendeta Abraham menjadi seorang murtadin. Kemudian dengan bangganya dia menyatakan kemurtadannya dan mengusik kaum muslim dengan ocehan-ocehannya mengenai Islam melalui akun YouTubenya.
Dengan payung kebebasan berpendapat penodaan terhadap agama kian menjamur. Kian hari penghinaan dan pelecehan Islam kian banyak, seiring dengan paham kebebasan yang menjamur. Kelancangan para pembenci islam dalam melakukan aksinya sebab tidak ada langkah yang tegas dari pemerintah. Banyak laporan-laporan akan penghinaan dan pelecehan Islam yang dilayangkan kepada aparat namun tidak direspon serius.
Hukum Islam bagi Pelaku Pelecehan Agama Islam
Saat ini keberadaan pendeta Abraham diduga di Amerika Serikat. Polri melakukan koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), hingga FBI untuk melacak keberadaan Saifuddin Ibrahim.
Pendeta Abraham telah dilaporkan ke Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri terkait dugaan penistaan agama dan ujaran kebencian terkait SARA.
Laporan itu terdaftar dengan nomor: LP/B/0133/III/2022/SPKT Bareskrim Polri tanggal 18 Maret 2022 dengan persangkaan Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE dan/atau Pasal 156 KUHP dan/atau Pasal 156a KUHP dan/atau Pasal 14 Ayat (1), Ayat (2) dan/ atau Pasal 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan hukum Pidana. (sindonews.com/ 23 Maret 2022).
Sebelumnya pada tahun 2018, pendeta tersebut hanya dihukumi empat tahun penjara dengan denda Rp 50 juta. Sangat nyata tidak memberikan efek jera pada pendeta tersebut. Bahkan semakin banyak orang yang berani menghina dan melecehkan Islam. Menistakan Islam, kemudian divonis, dibebaskan dan kini menistakan Islam kembali. Bukankah dengan penjara tidak memberikan efek jera? Inilah hukum buatan manusia yang tidak memberikan efek jera.
Lain dari hukum buatan manusia, Islam memandang bahwa hukum sanksi (uqubat) memiliki dua tujuan yaitu sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Pencegah atau preventif sebab dengan diterapkannya hukum ini akan menjadikan orang lain berpikir ulang untuk melakukan kemaksiatan yang sama. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan dalam hukuman qisas itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran agar kalian bertakwa.” (TQS Al Baqarah [2]: 179).
Sedangkan dikatakan sebagai penebus dosa sebab dengan diterapkannya hukum ini akan menjadi penebus dosa bagi pelakunya di akhirat. Sebagaimana kisah taubatnya Ma’iz bin Malik al-Aslami dan al-Ghamidiyah yang berzina, dihudud razam karena keduanya muhshan (sudah menikah). Setelah dilaksanakan hudud razam atas Ma’iz, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّهُ اْلانَ يَنْغَمِسُ فِيْ أَنْهَارِ اْلجَنَّةِ
“Dia sekarang berenang di sungai surga” (HR. Ibnu Hibban no. 4384)
Dalam pandangan Islam setidaknya pendeta tersebut telah melakukan dua kemaksiatan, yaitu murtaddin dan menjadi seorang penghina Islam.
Bagi orang yang murtad, sudah semestinya dia didakwahi, diluruskan kembali oleh utusan Negara agar kembali kepada Islam. Jika tiga hari dia masih tetap dalam kemurtadannya, maka sudah semestinya penguasa menegakkan apa yang disabdakan Rasûlullâh shallallaahu ‘alayhi wa sallam:
مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
“Barangsiapa mengganti agamanya (murtad dari Islam), maka hukum matilah ia.” (HR. al-Bukhârî & Ahmad).
Sedangkan bagi penghina Islam, para ulama sepakat bahwa perbuatan mencela, menghina dan merendahkan Islam seperti mencaci maki Allah SWT atau Rasul-Nya atau melecehkan Al Qur’an adalah perbuatan dosa besar yang menyebabkan seseorang dihukumi murtad keluar dari Islam jika pelakunya muslim. Dan bila pelakunya orang kafir, maka ia jatuh ke dalam kafir harbi yang boleh diperangi. Sebagaimana Rasûlullâh shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda :
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ، فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ، قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ مَسْلَمَةَ: أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: نَعَمْ
“Siapakah yang mau “membereskan” Ka’ab bin Asyraf? Sesungguhnya ia telah menyakiti Allah dan rasul-Nya.” Muhammad bin Maslamah bertanya, “Apakah Anda senang jika aku membunuhnya, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Ya”…” (HR. Bukhari).
Hukuman yang memberi efek jera tentu tidak akan kita dapati di alam demokrasi ini. Penentu halal-haram dan segala perundang-undangan diserahkan kepada manusia.
Padahal jelas sekali Allah SWT mengharamkan manusia untuk berhukum pada hukum yang tidak diturunkan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al Maidah ayat 44, 45 dan 47 yang mencela bagi siapa saja yang berhukum pada selain apa yang telah Allah SWT turunkan, dengan sebutan kafir, zalim dan fasik.
Hukuman tegas yang memberi efek jera bagi pelaku dan menjadi pengingat bagi yang lainnya hanya akan terwujud dalam Negara yang menerapkan Islam secara sempurna.
Negara yang menerapkan Islam secara sempurna itu adalah Negara yang telah Rasulullah saw., contohkan dan diikuti oleh Khulafaur Rasyidin beserta Khalifah setelahnya.[]
Allahu ‘alam bi ash showab
Comment