Oleh: Waryati, Pemerhati Kebijakan Publik
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Kalangan buruh kembali dihadapkan pada persoalan akibat kisruh para pengusaha dan menyebabkan digulirkannya kebijakan yang merugikan mereka. Pasalnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah membuat regulasi aturan membolehkan perusahaan memotong gaji buruh 25 persen serta mengurangi jam kerja.
Hal ini membuat kalangan buruh dan pengusaha kembali memanas. Para buruh menilai kebijakan tersebut hanya menguntungkan pengusaha. Buruh mengecam langkah yang ditempuh mengenai kebolehan pihak pengusaha melakukan pemotongan gaji serta mengurangi jam kerja oleh perusahaan yang berorientasi ekspor dan impor. Buruh menduga ada indikasi keberpihakan pemerintah kepada pengusaha.
Banyak kalangan kontra dengan regulasi yang digulirkan Menteri Ketenagakerjaan. Sebut saja Said Iqbal selaku Presiden KSPI. Beliau mengatakan jika sampai terjadi pembayaran gaji karyawan hanya 75 persen ini merupakan tindak kejahatan, karena membayar upah di bawah upah minimum. Lebih lanjut Said bakal mengajukan gugatan ke PTUN terkait pelanggaran yang dilakukan Kementerian terkait, karena telah melanggar peraturan yang ada.
Berbeda pandangan dari Said Iqbal, menurut Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan Anton J Supit selaku pihak kalangan pelaku usaha, seperti ditulis cnbcindonesia (19/3/2023) mengatakan bahwa langkah yang ditempuh Kementerian Ketenagakerjaan sudah tepat. Hal ini untuk menghindari meledaknya pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan, sehingga satu-satunya cara menyelamatkan perusahaan adalah dengan menggulirkan aturan ini, meskipun harus ada yang dikorbankan.
Gonjang-ganjing pemberitaan mengenai adanya penurunan permintaan kepada perusahaan yang bergerak di bidang ekspor-impor, benarkah? Pasalnya, menurut Kooirdinator BPJS Watch, Timboel Siregar, kondisi industri padat karya tidak separah yang diberitakan pemerintah.
Dilansir dari kumparanbisnis.com (19/03/2023), secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Februari 2023 mencapai USD 43,72 miliar atau naik 10,28 persen dibanding periode yang sama tahun 2022. Sementara ekspor nonmigas mencapai USD 41,05 miliar atau naik 8,73 persen.
Dengan data di atas, kondisi kinerja perusahaan berorientasi ekspor harusnya membaik. Dengan alasan apapun, pihak perusahaan tidak boleh melakukan pemotongan gaji karyawan, terlebih saat ini mata uang asing seperti dolar terus menguat.
Seolah sudah menjadi kebiasaan jelang Idulfitri, perusahaan ramai-ramai mengumumkan ambruknya ekspor sehingga menjadi dalih untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak, memotong upah pekerja serta mengurangi jam kerja. Hal ini tentu saja membuat ketar-ketir para buruh.
Nasib buruh dipertaruhkan. Padahal saat ini kondisi mereka dalam keadaan rawan. Mereka tak semuanya berstatus karyawan, banyak juga yang hanya menjadi pekerja kontrak. Sehingga untuk mencapai tingkat sejahtera saja para buruh tak cukup mengandalkan gaji mereka dari perusahaan, dikarenakan banyak perusahaan yang membayar upah di bawah standar UMR. Ditambah dengan adanya sistem outsourcing yang telah disahkan oleh DPR buah UU Ciptaker, nasib buruh kian merana.
Tatanan sistem ekonomi kapitalis tak ubahnya seperti buah simalakama bagi kaum buruh. Buruh dicari saat industri membutuhkan. Sebaliknya, dibuang ketika perusahaan dikatakan mengalami goncangan. Belum lagi untuk sekadar mendapatkan pekerjaan harus mengeluarkan uang tak sedikit di awal, karena untuk memperoleh pekerjaan tersebut sebagian melalui pihak ketiga.
Gesekan antara pekerja dengan pengusaha sepertinya tidak akan pernah berakhir. Mengingat dalam sistem kapitalis manusia dipandang sebagai faktor produksi atau sebatas biaya pengeluaran. Hubungan pengusaha dan pekerja pun dianggap majikan dan pembantu.
Pengupahan terhadap pekerja dalam sistem kapitalis dipandang sebagai pengganti biaya atas apa yang dilakukan atau sekadar untuk melanjutkan hidup. Serta besarnya upah telah disesuaikan dengan standar hidup minimum di daerah tempat si buruh bekerja.
Dengan demikian, banyak kita dapati perbedaan upah di setiap wilayah, karena watak kapitalisme selalu mencari peluang keuntungan dengan segala cara. Termasuk mempelajari kehidupan sosial dan daya beli masyarakat di daerah tertentu supaya dapat menyesuaikan dengan upah yang akan diberlakukan pada perusahaan di daerah itu.
Hal ini berimbas pada pengerukan keuntungan materi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kebutuhan manusia pada umumnya.
Sungguh sangat berbeda dengan tata kelola ekonomi dalam sistem Islam. Negara mewajibkan para pengusaha untuk memenuhi hak-hak pekerja. Perusahaan tidak boleh mengingkari kesepakatan sebelumnya.
Islam memperlakukan pekerja layaknya saudara. Hubungan antar pekerja dan pengusaha didasari oleh rasa sayang layaknya hubungan keluarga. Sehingga terjalin hubungan baik dan tidak akan saling merugikan. Maka dari itu, tidak ada pihak yang terzalimi atau merasa dizalimi.
Memang benar, dalam dunia industri ada pemilik modal, pemilik saham, dan pekerja. Namun Islam meletakkan posisi majikan dan buruh dalam level kemanusiaan yang sama. Pekerja dan pengusaha tidak berbeda, keduanya memiliki posisi terbaik di mata Pencipta, yakni makhluk Allah paling sempurna tanpa memandang perbedaan status sosialnya.
Sebagaimana hadis Rasulullah saw.: “Para pekerja adalah saudaramu yang dikuasakan Allah kepadamu. Maka barang siapa mempunyai pekerja hendaklah diberi makanan sebagaimana yang ia makan, diberi pakaian sebagaimana yang ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan sesuatu yang ia tidak mampu, jika terpaksa ia harus dibantu” (HR. Ahmad).
Demikianlah Islam memperlakukan pekerja, layaknya orang yang kita cintai. Persudaraan ini bersifat universal, tidak terikat ruang dan batas-batas geografis, tanpa batas atasan dan pekerja yang mencakup semua umat manusia di muka bumi ini. Wallahu a’lam bishawwab.[SP]
Comment