RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Peribahasa ini nampaknya sangat pas dengan masalah yang mendera negeri kita saat ini. Alih-alih mempercepat kedatangan investor untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia, hadirnya Omnibus Law justeru dikritik berbagai pihak sebelum diberlakukan.
Istilah Omnibus Law pertama kali diperkenalkan Jokowi saat pidato pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Senayan pada 20 Oktober 2019 lalu. Saat itu, Jokowi mengatakan pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan UU Cipta Lapangan Kerja –yang sekarang berubah menjadi RUU Cipta Kerja– serta Undang-Undang terkait dalam satu UU yang ia sebut Omnibus Law.
Periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, selama satu periode dan periode yang sedang berjalan, penuh dengan proyek ambisius berupa infrastruktur. Pembangunan infrastruktur ini begitu menguras keuangan negara.
Agar keuangan negara tetap stabil, negara membutuhkan investasi, karena pajak sudah digali secara maksimal. Parahnya, ketika terjadi kesempatan investasi akibat Perang Dagang Amerika dan Cina, tidak ada investor yang melirik Indonesia. Para investor bahkan lebih suka berinvestasi di Vietnam.
CNBC Indonesia pada 18 September 2019, memberitakan bahwa Presiden Joko Widodo marah besar, karena ternyata Indonesia hanya dipandang sebelah mata oleh para investor.
Hasil penelusuran Tim Ekonomi pemerintah menemukan beberapa penyebab keengganan investor untuk berinvestasi di Indonesia. Yakni, perijinan yang berbelit-belit, pembebasan tanah untuk usaha yang sulit, banyaknya peraturan yang tumpang tindih, Serikat Pekerja yang banyak maunya, dan hal-hal lainnya. Disimpulkan, bahwa untuk menarik investor, hal-hal “penghambat” harus dihilangkan. Maka dibuatlah OMNIBUS LAW.
Sepertinya pemerintah belajar dari kebangkrutan yang dialami General Motor, salah satu perusahaan di Amerika pada tahun 2008 lalu.
Akibat kebangkrutan ini terjadi gelombang pengangguran besar-besaran sehingga menggoncang perekonomian Amerika Serikat.
Datanglah sebuah perusahaan pembuat kaca mobil dari Cina dan kemudian General Motors dibeli. Pekerja yang tadinya nganggur dipekerjakan kembali.
Tapi itu tak berlangsung lama. Investor Cina mengeluh, bahwa para pekerja Amerika Serikat itu banyak maunya. Minta cuti macam-macam, fasilitas minta macam-macam, tunjangan minta macam-macam. Sementara produktifitasnya sangat rendah, karena para pekerja tersebut menuntut jam kerja dan rehat yang juga macam-macam.
Rupanya peristiwa itulah yang turut mengilhami Pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan Omnibus Law CILAKA. Investor harus disenangkan sementara kesejahteraan dan tuntutan pekerja di minimalisir.
Omnibus Law sendiri sebetulnya adalah sebuah metode yang populer di negara-negara Anglo Saxon atau bekas jajahan Inggris. Omnibus Law adalah metode yang mengkonsolidasi beberapa produk hukum dan perundang-undangan dalam satu paket.
Sejak awal diwacanakan, para ahli hukum sudah mulai mempertanyakan metode ini. Pertanyaan yang paling populer adalah, mengapa harus memakai Omnibus Law? Mengapa harus dikonsolidasikan dalam satu paket?
Pertanyaan tersebut sebetulnya sangat prinsipil dan mendasar namun jawaban Pemerintah tidak memuaskan.
Seperti dikutip laman katadata.com, (13/2/2020) setidaknya ada 5 kontroversi dalam isi Omnibus Law CILAKA tersebut. Hari kerja, lemburan, upah minimum, besaran pesangon dan pemberian bonus tahunan tidak lagi ditetapkan secara nasional melainkan ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah.
Bima Arya Sugiarto, Walikota Bogor sebagaimana dilansir CNN Indonesia memberi pernyataan berkaitan dengan kewenangan Menteri Dalam Negeri yang berhak memecat Kepala Daerah apabila dinilai tidak mendukung pelaksanaan proyek strategis nasional.
Juga dihapuskannya IMB bangunan yang mengakibatkan turunnya Pendapatan Asli Daerah. Pernyataan Bima Arya tersebut langsung ditanggapi Pemerintah.
Pada Draft Nopember 2019, hal yang dikhawatirkan Bima Arya sudah tidak tercantum lagi. Dalam akun Facebooknya, Presiden Joko Widodo pada 20 Pebruari 2020 juga menyatakan, bahwa Pemerintah mendengar dan tahu adanya kritik terhadap CILAKA.
Presiden mempersilahkan rakyat memberi kritik dan masukan. Meskipun sama sekali tidak ada frase kalimat yang menyatakan, bahwa kritik dan masukan dari masyarakat itu akan diakomodir.
Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari kebijakan Omnibus Law CILAKA ini. Pertama, sikap pemerintah dalam membuat kebijakan bagai orang kalap. Hal ini terlihat dari pernyataan resmi Menkumham Yasonna Laoly sebagaimana dilansir Tempo.com, 17 Pebruari 2020. Yasonna mengatakan ada “salah ketik” pada pasal Omnibus Law tentang PP yang dapat mengganti Undang-Undang.
Kedua, CILAKA ini memberi kesan bahwa Pemerintah lebih mengutamakan investasi, memikat investor dan lebih memihak pemilik modal.
Apapun alasan dan dasarnya, faktanya kesejahteraan buruh terpangkas.
Ketiga, ada fallacy atau kekeliruan Pemerintah yang menganggap pengangguran dan defisit anggaran dapat diatasi dengan membuka kran investasi.
Investor dalam sistem ekonomi pasar yang kapitalistik seperti yang dianut sekarang ini, hanya melulu memikirkan keuntungan bisnis tanpa memperhatikan nasib pekerja.
Realitas investasi asing hari ini secara nyata menjadikan Indonesia bergantung kepada negara lain alias tidak berdaulat.
Bahkan dengan melihat skema pembayaran utang yang dimiliki Indonesia saat ini, diperkirakan Indonesia tidak akan pernah terbebas dari jebakan utang sampai kapanpun.
Ini berdampak pada semakin beratnya beban yang harus ditanggung masyarakat, karena penyelesaian utang dan bunganya semakin menyerap alokasi dana APBN.
Kondisi produktivitas investasi masyarakat juga akan berkurang dengan diadakannya berbagai pungutan pajak yang baru sebagai akibat upaya pemerintah mencari alternatif tambahan pemasukan negara.
Celakanya, hari ini Indonesia hanya memiliki dua alternatif pemasukan utama, yaitu dari berbagai jenis ragam pungutan pajak dan dari pembiayaan utang baik dari dalam ataupun luar negeri.
Berikutnya, tekanan asing melalui lembaga-lembaga internasional -karena Indonesia tergabung di dalamnya- menetapkan arah ekonomi Indoneisa bercorak neolib.
Dalam kebijakan fiskal APBN Indonesia, pengelolaan sumber daya alam dilakukan bersama-sama oleh swasta dalam contract production sharing.
Melalui IIF (Indonesia Investment Forum), 9 Oktober 2018 di Bali, dihasilkan kesepakatan-kesepakatan baru antara negara pengutang (Indonesia) dengan para kreditur dan investor asingnya.
Kesepakatan teraebut antara lain skema meninggalkan pembiayaan infrastuktur yang mereka sebut konvensional, ketika negara berposisi sebagai pihak pembangun infrastruktur.
Skema selanjutnya yang akan banyak dilakukan adalah negara berpartner dengan investor (korporasi) untuk membangun infrastuktur.
Salah satu evaluasi yang direkomendasikan oleh para investor dalam forum tersebut adalah penetapan tarif ke publik (baca: harga jual) adalah terlalu rendah. Sehingga bisa dipastikan sarana infrastruktur nantinya adalah produk-produk berbiaya tinggi. Ujung-ujungnya tidak semua lapisan masyarakat Indoesia mampu menikmatinya.
Untuk itu, agar bisa terlepas dari ketergantungan asing, mengatasi pengangguran dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi, Indonesia harus keluar dari sistem kapitalistik global.
Secara mendasar, kebijakan-kebijakan Indonesia mustinya tidak lagi berbasis pada kesepakatan internasional. Sehingga tidak mudah ditekan dan didikte.
Sebagai negeri muslim terbesar, Indonesia dapat mengulang sejarah kegemilangan perekonomian Islam sebagaimana yang telah diwujudkan selama hampir 13 abad.
Prinsip dasar pemerintahan Islam dalam bekerjasama dengan negara lain adalah tidak memberikan jalan masuk bagi asing untuk menguasai kaum muslimin dan bertujuan semata-mata demi kemashlahatan warga negara.
Pemerintahan Islam dikenal independen-, menjalankan roda perekonomian mandiri sesuai Islam dengan mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Alam dan manusia, termasuk menghindari berbagai perjanjian luar negeri yang bertentangan dengan Islam. Wallahu a’lam bish-shawab.[]
*Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial Politik
Comment