Hikmatul Mutaqina, S. Pd*: Hegemoni Di Balik Moderasi

Opini571 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Isu moderasi digodog lagi. Islam dituding inteloransi sehingga butuh moderasi untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini.

Kurikulum pendidikan menjadi sasaran utama dari progam ini. Pendidikan memang kunci utama membangun pemikiran anak negeri.

Memasuki tahun ajaran 2020/2021, madrasah menggunakan kurikulum Pendidikan Agama Islam atau PAI dan Bahasa Arab yang baru. Kurikulum tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Agama atau KMA 183 tahun 2019.

Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar, seperti dikutip laman detiknews.com (11/7/2020) mengatakan, mulai tahun pelajaran 2020/2021, pembelajaran di MI, MTs, dan MA akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab. KMA 183 tahun 2019 ini akan menggantikan KMA 165 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab pada Madrasah.

Sebagai tindak lanjut KMA 183 tahun 2019, nantinya madrasah akan menggunakan buku yang sebelumnya telah dinilai Tim Penilai Puslibang Lektur dan Khazanah Keagamaan.

Sebanyak 155 buku telah disiapkan, termasuk untuk PAI, akan menjadi instrumen kemajuan serta mempererat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu upaya wujud yang dilakukan adalah meletakkan materi sejarah khilafah, jihad, dan moderasi beragama secara korelatif dalam berbagai bentuk perjuangan muslim.

Mejodohkan aspek perjuangan Nabi sejak awal hingga terbangun peradaban islam dengan perwujudan masyarakat modern. Khilafah ajaran islam dianggap tak lagi relevan dengan kekinian. Sehingga butuh ada revisi dan adaptasi.

Penyesatan opini dibalik moderasi

Istilah moderasi yang lawan katanya ekstremisme dan radikalisme, sejak beberapa tahun terakhir menjadi sangat populer. Saking pepolernya di hampir semua pidato pemimpin negara, termasuk pidato Raja Salman di gedung MPR RI, juga beberapa kali mengulangi kata-kata itu.

Tidak luput tentunya hampir di semua pidato kampanye maupun debat capres Indonesia selalu menyebut-nyebut kata moderasi dan lawan katanya ekstremisme atau radikalisme.

Tak hanya Indonesia tapi banyak pemimpin dunia islam sedang mengarahkan upaya yang sama untuk memerangi radikalisme dan memunculkan isu moderasi beragama sebagai lawannya.

Moderasi dimaknai sebagai sebuah jalan tengah (wasath) dalam menjalankan agama, terutama Islam yang dituduh ekstrimis dan radikal. Agama harus menyesuaikan dengan budaya lokal, peradaban modern sehingga hukum hukumnya juga harus disesuaikan.

Dalam konteks ini, Islam diposisikan sebagai pihak tertuduh yang mengajarkan ekstrimisme karena islam mengajarkan umatnya untuk berpegang teguh pada kitab dan sunnahnya. Tidak akan pernah berubah sepanjang masa, karena islam yang dibawa oleh Rasulullah sudah paripurna dan komprehensif.

Siapa yang memperdulikan jika biarawan memiliki jenggot panjang atau biarawati dengan ektrimisnya dalam beragama. Tetapi jenggot dan celana cingkrang jadi masalah ketika yang mengenakannya seorang ustad. Cadar yang dipakai muslimah pun juga tak lepas dari tuduhan radikal.

Bom di gereja, Islam yang dituduh teroris. Tapi puluhan bom dan rudal di bumi Palestina tak ada yang menyebut Israel teroris. Tak diragukan lagi isu radikal ini telah ditunggangi oleh kepentingan politik kekuasaan. Bahkan telah menjadi isu dunia untuk memerangi radikalisme.

Para pemimpin yang berkuasa dengan kezaliman dan keserakahannya takut jikalau boroknya akan tersingkap jika islam tegak dengan ruh keadilan dan menghapus kedzaliman. Mereka takut kekuasaannya akan roboh.

Islam akan tegak kembali
Islam sebagai ideologi yang berpotensi tegak kembali menjadi ancaman bagi hegemoni kapitalis yang berdiri saat ini. Ada perang ideologi di balik isu moderasi. Bukan semata alasan adaptasi.

Islam menjadi ancaman nyata bagi penguasa durjana. Materi ajar yang besentuhan dengan semangat berperang membela dan mempertahankan aqidah dan lain sebagainya kini dihapus dari kurikulum pendidikan.

Semangat jihad dan ajaran tentang Khilafah dianggap tak relevan bagi kehidupan. Padahal khilafah bukanlah sesuatu yang mengerikan sebagaimana yang dipahami dan ditafsirkan oleh mereka yang phobia terhadap Islam.

Khilafah adalah sistem manajemen pemerintahan yang didasari oleh hukum Allah demi kemaslahatan umat manusia secara universal yang sekaligus sebagai rahmatan lil alamin. Ini sudah terbukti pada zaman keemasan Islam selama 13 abad di muka bumi ini.

Dunia telah merasakan keadilan hakiki yang terpancar dari mercusuar peradaban Islam secara ril tanpa membedakan Ras, suku, dan agama apa lagi kepentingan politik rendahan.

Desember 2004 lalu, National Intelelligence Council’s (NIC) merilis sebuah laporan yang berjudul, “Mapping the Global Future”. Dalam laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020:

1.Davod World: Digambarkan bahwa 15 tahun ke depan Cina dan India akan menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia.

2. Pax Americana: Dunia masih dipimpin oleh Amerika Serikat dengan Pax Americana-nya.

3. A New Chaliphate: Berdirinya kembali Khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat.

4. Cycle of Fear (Munculnya lingkaran ketakutan). Di dalam skenario ini, respon agresif pada ancaman teroris mengarah pada pelanggaran atas aturan dan sistem keamanan yang berlaku. Akibatnya, akan lahir Dunia ‘Orwellian’ ketika pada masa depan manusia menjadi budak bagi satu dari tiga negara otoriter.

Lepas dari apa maksud di balik ditulisnya berbagai skenario ini, paling tidak, kembalinya Khilafah Islam di kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang diperhitungkan kemungkinannya sebagai alternatif baru.

Ironisnya, ada kaum Muslim yang justru mengatakan Khilafah utopis dan tak selaras dengan kehidupan modern.[]

*Praktisi pendidikan

Comment