Het Dicabut: Kapitalis Berjaya, Rakyat Merana

Opini555 Views

 

Oleh: Dahlia, S.Pd
Pemerhati Sosial Masyarakat

__________

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Langkanya minyak goreng dalam beberapa waktu belakangan ditengarai ada ulah para spekulan dan mafia. Seperti yang diungkapkan Menteri Perdagangan M. Lutfi saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, pada Kamis (17/3/2022).

Menurutnya, seharusnya Indonesia yang merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, tidak mengalami bencana kelangkaan minyak goreng.

Fenomena minyak goreng ini banyak mencengangkan dan membingungkan publik. Sebab, keberadaannya sempat langka selama beberapa pekan, setelah adanya kebijakan harga eceran tertinggi (HET) Rp14 ribu per liter. Namun, setelah kebijakan tersebut dicabut, minyak goreng mendadak muncul. Fenomena ini tak hanya terjadi di daerah lain, di Samarinda, walau penyebarannya belum merata.

Begitu pula di pasaran Bontang stok minyak goreng mulai kebanjiran. Berbeda dengan saat penerapan HET, kini pembelian minyak goreng tak lagi dibatasi. Setiap konsumen dibebaskan berbelanja minyak goreng kemasan walaupun minyak goreng sudah menyesuaikan harga pasar, namun masih dijatah dari gudang tersebut.

Kapitalis berjaya

Harusnya pasokan minyak goreng lebih dari cukup untuk mengamankan kebutuhan masyarakat. Terlebih lagi, pemerintah telah menjalankan kebijakan DMO dan DPO, membuat Kemendag sukses mengepul sekitar 720.612 ton minyak sawit.

Di sisi lain, dari stok yang dimiliki Kemendag, telah didistribusikan 551.069 ton atau setara 570 juta liter dalam rentang sebulan terakhir. Anehnya, fakta di lapangan tidak seturut dengan aksi tersebut, kelangkaan masih terjadi di mana-mana. Kemendag meminta maaf atas ketidakberdayaan tersebut, serta tidak memiliki wewenang untuk memberangus praktik curang itu.

Tata kelola minyak goreng di negeri ini memang cukup rumit, terutama tentang pendistribusian. Sudah menjadi rahasia umum bahwa distribusi minyak goreng di negeri ini hanya akan dikuasai oleh pemilik modal besar. Sebagaimana dilansir dari Tempo.com, KPPU mencatat dari data Concentration Ratio(CR) 40 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia dikuasai oleh empat konglomerat.

Sistem kapitalis dengan sudut pandangnya yang hanya menjadikan pemerintahan sebagai regulator. Sehingga tidak banyak kewenangan. Sistem kapitalisme memberi peluang para pengusaha atau kapitalis dalam menentukan kebijakan yang mana kebijakan tersebut disesuaikan dengan kepentingan kapitalis.

Adapun para penguasa faktanya telah terbeli oleh para kapital demi mempertahankan kekuasaan mereka. Walhasil, kolaborasi penguasa dan pengusaha tumbuh subur di alam kapitalisme.

Jangan Buat Rakyat Merana

Seyogyanya pemerintah bukan hanya regulator, agar mampu mengambil tindakan cepat untuk menangani permasalahan di masyarakat. Jangan sampai berlarut dan rakyat jadi korbannya.

Seperti halnya sistem Islam yang menjadikan hukum syara’ sebagai landasan setiap pengaturan yang ada. Sebab, dalam Islam pengelolaan minyak yang merupakan SDA dalam negeri akan dikelola sendiri oleh negara tanpa ada campur tangan individu swasta apalagi asing dan hasilnya akan diperuntukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga, rakyat tidak akan mengalami nasib seperti hari ini.

Islam juga memandang perbuatan menimbun barang sebagai bentuk kezaliman dan bertentangan dengan maqashid syariah berdagang karena tindakan menimbun akan menyengsarakan orang banyak. Penimbunan masuk dalam kategori kejahatan ekonomi dan sosial.

Ulama seperti Ibnu Hajar al-Haitsami menganggap pelakunya sebagai pelaku dosa besar. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan menimbun barang kecuali dia seorang pendosa.” (HR Muslim). Dalam hadis di atas, pelaku penimbun barang disifati dengan kata khoti’ atau pendosa. Sifat khoti’ ini jugalah yang dilabelkan Allah SWT kepada para thagut yang berlaku zalim seperti Firaun (QS al-Qashash [28]: 8).

Dari sini jelas, persoalan stabilitas pangan termasuk minyak goreng hanya bisa diselesaikan dengan solusi Islam secara kaffah. Agar masalah ini tuntas dan jangan biarkan rakyat merana. Pada akhirnya, pemerintahlah pemegang kendali penuh atas semua hal di atas. Wallahu ‘alam.[]

Comment