Hasriati, SPi*: Potret Buram Pendidikan Kala Pandemi 

Opini498 Views

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Covid-19 yang bermula di Wuhan, Cina, kemudian menyebar hampir seluruh dunia tak terkecuali Indonesia, bukan hanya menyerang kesehatan masyarakat. Pandemi ini pun berimbas pada perekonomian jangka panjang dan interaksi soasial di tengah masyarakat, juga sangat berpengaruh pada dunia pendidikan.

Ada sebanyak 29.084.365 siswa SD sederajat, 13.294.340 siswa SMP sederajat, 11.629.740 siswa SMA sederajat pada tahun ajaran 2019/2020 (Publikasi Statistik Indonesia Tahun 2020 diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik) harus tetap mendapatkan pendidikan.
Setelah melewati polemik di masyarakat, mekanisme penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi Covid-19 ditentukan berdasarkan kondisi penyebaran virus.

Zona kuning, zona orange, zona merah yang meliputi 429 kota/kabupaten sekitar 94 persen dari peserta didik dilarang melakukan pembelajaran tatap muka. Sementara 6 persen dari populasi peserta didik yang berada di zona hijau, pemerintah daerah boleh mengambil keputusan sekolah dengan tatap muka.

Keputusan pemerintah pun layak untuk diapresiasi, sekalipun masih menimbulkan kecemasan ancaman virus mematikan bagi orang tua yang berada di zona hijau. Pasalnya secara nasional kondisi wabah belum menampakkan tanda-tanda akan usai. Sehingga potensi penyebarannya pun masih terbuka lebar.

Dilema Pembelajaran Dari Rumah
Pembelajaran dari rumah memang lebih ramah anak di masa pandemi, ketimbang pembelajaran tatap muka di sekolah.

Ini dilihat dari sisi kesehatan dan keselamatan jiwa anak. Kemestian physical distancing yang diambil sebagai ikhtiar memutus rantai penyebaran virus menuntut pola penyelenggaraan pendidikan mau tidak mau juga berubah.

Salah satu tekhis pembelajaran dari rumah yang digunakan masa pandemi adalah pembelajaran jarak jauh, via daring. Pembelajaran menggunakan teknologi internet, memang cara terbaik disaat wabah virus corona.

Melalui teknologi ini pertemukan antara guru dan murid pun tetap bisa dilakukan.
Disamping keunggulan belajar daring, berupa efektifitas waktu dan tempat, juga terdapat kendala, terlebih saat pandemi.

Belajar daring membutuhkan peralatan tambahan dari yang biasa digunakan sebelumnya. Kebutuhan peralatan dan teknis seperti komputer, gawai, paket data internet dan kekuatan signal internet.

Berkaca dari pembelajaran lewat daring yang sudah dilakukan sejak belajar di sekolah dihentikan, nampak kepiawaian guru mengoperasikan teknologi berbasis internet sangat minim.

Mengutip pernyataan Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat pada data Ikatan Guru Indonesia (IGI), berdasarkan pembelajaran jarak jauh yang diterapka pada tiga bulan terakhir tercatat 60 persen guru memiliki kemampuan buruk dalam menggunakan teknologi informasi saat mengajar (medcom.id, 14 Juni 2020).

Karena dukungan fasilitas sekolah yang minim, solusi pengadaan peralatan daring harus ditanggung mandiri oleh guru dan orang tua.

Hal ini memperberat beban pengeluaran keuangan guru dan orang tua di tengah pendapatan yang kian berkurang dan minim sokongan negara. Sebagaimana survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik bulan April 2020 dimuat dalam Publikasi Hasil Survei Sosial Demografi Dampak Covid-19, bahwa wabah covid-19 berdampak pada penurunan pendapatan, seperti kelompok pendapatan rendah (dibawah 1,8 juta per bulan) 70,53 persen mengaku mengalami penurunan pendapatan.

Beban orang tua pun semakin bertambah tatkala jumlah anak yang belajar via daring melebihi dari dari jumlah gawai yang dimiliki.

Senada dengan survey Badan Pusat Statistik, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga sempat melakukan survei Pembelajaran Jarak Jauh pada bulan April 2020 kepada 1.700 siswa dari berbagai jenjang sebagaimana yang dilansir dari kompas.id, ternyata 42,2 persen siswa mengatakan mengalami kesulitan terkait dengan paket data.

Dalam pembelajaran via daring, kendala teknis berupa jaringan internet banyak dialami oleh guru, murid dan orang tua. Jaringan internet yang kurang stabil, tidak kuat dan tidak ada menjadi kendala dalam pertemuan guru dan murid secara online dan menyelesaikan tugas.

Kementrian Komunikasi dan Informasi (Komimfo) mencatat masih ada 12.548 desa/kelurahan yang belum bisa mengakses internet dengan baik (detiknews, 21 Juni 2020).

Sebagai data pembanding bahwa di tahun 2018 di Indonesia masih terdapat 6.961 desa/kelurahan yang tidak ada jaringan internet, 91.711 desa/kelurahan jaringan 2G/E/GPRS, 33.800 desa/kelurahan 3G/H/H+, dan 26.700 desa/kelurahan jaringan 4G/LTF (Publikasi Potensi Desa, 2018 oleh Badan Pusat Statistik).

Karena berbagai kendala, akhirnya pembelajaran dari rumah lebih banyak sekedar memberikan tugas-tugas untuk diselesaikan yang tidak semua diajarkan, ketimbang pemberian pengajaran bagi siswa.

Belum lagi pemberian tugas berlebihan demi mengejar kurikulum, menjadi tekanan tersendiri bagi siswa yang bisa berefek kepada menurunnya daya imun anak.

Hal ini sebagaimana dijelaskan melalui hasil survei dari Komisi Perlindungan Anak Indonesisa, yaitu sebanyak 81,8 persen siswa mengaku pembelajaran jarak jauh lebih menekankan kepada pemberian tugas (bkpp.Demakkab.go.id, 4 mei 2020).

Persoalan semakin pelik dengan pandangan orang tua yang terlanjur melekat bahwa tanggung jawab pendidikan bagian tugas guru. Sementara belajar dari rumah, berimplikasi belajar bersama orang tua.

Dengan demikian para orang tua terpaksa menjadi guru mata ajar, tempat bertanya tugas-tugas sekolah saat terbentur dengan berbagai kendala. Sementara tidak semua orang tua siap dan mampuni membantu tugas-tugas sekolah anak yang diberikan, baik secara teknis, keilmuan, skill maupun pemahaman.

Disebabkan karena latar belakang pendidikan rendah pada orang tua dan disibukkan dengan berbagai persoalan ekonomi dan persoalan hidup lainnya.

Sokongan Negara Urgen Atasi Masalah
Kondisi wabah ternyata memperlihatkan kegagapan sektor pendidikan menghadapi bencana, sekaligus menyingkap kelemahan sistem pendidikan yang diterapkan selama ini. Dengan demikian perlu kiranya untuk menilik kembali terkait sistem pendidikan di Indonesia.

Pendidikan sejatinya memiliki fungsi strategisnya, membangun manusia yang akan membangun peradaban bangsa. Tanpa adanya pendidikan, peradaban suatu masyarakat tidak akan mengalami kemajuan, justru membuat peradaban masyarakat tersebut semakin tertinggal serta tergerus oleh perkembangan zaman yang begitu dinamis.

Perlu disadari benar-benar bahwa pendidikan adalah investasi masa depan. Karena ini mengapa pendidikan harus senantiasa mendapat perhatian khusus.

Desakan kepada pemerintah untuk mengembangkan kurikulum baru yang lebih sesuai dengan kondisi, siswa, guru dan sekolah pada masa darurat kesehatan datang dari berbagai pihak. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengatakan kurikulum saat ini masih terlalu padat sehingga sulit diterapkan, karena itu perlu disusun kurikulum yang lebih praktis dan aplikatif. (Bebas.kompas.id, 9 Juni 2020).

Kritik tehadap kurikulum datang dari Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang menyatakan harus ada panduan dan kurikulum belajar dalam kondisi darurat. Jika situasi ini dibiarkan, depresi massal akan terjadi (monitor.co.id 2 Mei 2020).

Sementara Syamsir Alam Devisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma berpendapat bahwa muatan pembelajaran Belajar Dari Rumah seharusnya sarat dengan penguatan literasi dan karakter (media Indonesia.com, 23 Maret 2020).

Rumusan kurikulum saat pandemi dan paska pandemi berupa pemilihan muatan kurikulum berdasarkan tingkat urgensi pembelajaran, perlu dilakukan agar kurikulum digunakan terbebas dari depresi massal disebabkan kurikulum padat konten.

Nampaknya pandemi semakin mengajarkan kita tentang amat pentingnya kurikulum berkarakter. Pembelajaran terkait bagaimana menjaga diri, disiplin pada kebersihan dan kesucian, peduli terhadap kesehatan dan kehidupan, pandai bersyukur kepada Sang Pemberi Nikmat, ringan berbagi, semangat beribadah, kebersamaan, bergairah mencari solusi efektif terhadap persoalan yang terjadi dan berbagai pembelajaran positif lainnya.

Pandemi pun menyadarkan bahwa orang tua memiliki fungsi pendidik pertama (madrasah ula’) sebagaimana yang ada dalam pendidikan Islam.

Dengan demikian orang tua hendaknya memiliki kapasitas untuk menyampaikan pendidikan yang terkait pembentuk kepribadian anak. Seperti pemahaman agama, kedisiplinan, pelaksanaan ibadah, meningkatkan rasa empati serta life skill.

Fungsi pengawasan orang tua dalam pembelajaran dan penyelesaian tugas harus melekat. Gawai sudah ditangan, dunia pun berada dalam genggaman, sangat mudah bagi anak berselancar di dunia maya.

Tentu resiko terpapar pornografi dan pemahaman sekulerisme yang rusak dan merusak tentu lebih besar. Akhirnya kuota internet habis tidak hanya untuk belajar dan tugas.

Pendidikan selayaknya di letakkan sebagai kebutuhan primer bagi seluruh rakyat, sebagaimana pangan, sandang, keamanan dan kesehatan. Dengan paradigma seperti ini, negara akan menjamin pendidikan semua warga negara, baik terhadap fakir miskin maupun orang kaya, dimulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Karena itu, seyogyanya negara mencegah pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi sebagaimana realita dalam sistem kapitalis saat ini.
Kebijakan negara agar mendesain sistem pendidikan dengan seluruh supporting sistemnya.

Baik dari sisi anggaran, media, riset, tenaga kerja, industri hingga tataran politik luar negri. Negara wajib menyediakan fasilitas dan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai seperti gedung sekolah, laboratorium, buku pelajaran, komputer dan segala hal yang menunjang pendidikan dengan teknologi super canggih dan mutakhir. Sehingga kendala teknis kala pandemi seperti gawai atau komputer yang terhubung internet, pemerataan dan kestabilan jaringan tidak menjadi persoalan.

Kualitas tenaga pendidik hendaknya menjadi perhatian negara, yaitu mewujudkan tenaga pengajar berkepribadian tinggi dan ahli di bidangnya. Karena kualitas tenaga pendidik juga penentu output pendidikan. Tak ketinggalan pula pemberian gaji yang cukup bagi guru dan pegawai yang bekerja di kantor pendidikan.

Tak ada salahnya menengok gaji yang diberikan oleh Amirul Mukminin kepada guru-guru yang mengajar anak-anak kecil di Madinah sebanyak 15 dinar setara Rp. 56.737.500 setiap bulan (1 dinar =4,25 gram emas, jika 1 gram emas saat ini Rp.890.000). Dengan ketercukupan gaji, guru akan lebih fokus kepada tugas dan tanggungjawabnya, terlebih saat pandemi dimana inflasi (harga barang-barang) meningkat.

Dengan sokongan negara yang bersifat totalitas menjadi salah satu syarat mewujudkan pendidikan murah berkualitas sehingga bisa dirasakan oleh seluruh rakyat, sekaligus membebaskan kecemasan pembelajaran kala pandemi.
Wallahu ‘Alam.[]

*Pemerhati Pendidikan, bekerja di BPS Kab Konawe

Comment