RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Pemungutan suara dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di tiap daerah direncanakan pertanggal 09 Desember 2020.
Adalah hal umum terjadi setiap kali akan diadakan Pilkada, maka Para peserta pemilu akan berusaha memikat pemilih agar memilih mereka dengan memberikan janji-janji kampanye.
Tahapan kampanye Pilkada 2020 telah dimulai sejak 26 September dan akan berakhir pada 5 Desember 2020. Selanjutnya, akan ada masa tenang pada 6 sampai dengan 8 Desember. Selanjutnya, waktu pencoblosan pada 9 Desember.
Sementara itu, fakta terus menunjukkan menanjaknya jumlah masyarakat terjangkit Covid-19 tentu tak bisa diabaikan.
Fakta yang sangat disayangkan, Pemerinta tidak mau menunggu hingga kondisi benar-benar membaik, justru pilkada ini tetap dilaksanakan. Padahal tentu semua tahu, bahwa dalam pelaksanaannya akan banyak terjadi kerumunan masa yang berakibat penularan virus Covid-19.
Kekhawatiran ini pun semakin terbukti dengan adanya 70 orang kontestan pilkada yang terjangkit covid-19, 4 di antaranya meninggal dunia, dan 100 orang dari penyelenggaranya termasuk ketua KPU juga ikut terjangkit.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menyampaikan keprihatinannya terkait banyaknya jumlah calon kepala daerah dan anggota penyelenggara pemilu yang terpapar Covid-19 selama pelaksanaan tahapan Pilkada serentak 2020.
“Prihatin 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid-19, 4 orang diantaranya meninggal dunia,” cuitnya melalui akun media sosial twitter @hamdanzoelva, Jumat (27/11/2020).
“100 penyelenggara termasuk Ketua KPU RI terinfeksi [Covid-19]. Betapa besar pengorbanan untuk demokrasi,” ujarnya (https://kabar24.bisnis.com)
Layakkah Korban Nyawa demi Demokrasi?
Kekhawatiran akan hilangnya nyawa akibat Covid-19 tak dihiraukan lagi demi memenuhi keinginan untuk meraih tampuk kekuasaan melalui pesta demokrasi ini. Layakkah jatuh korban jiwa dalam proses demokrasi ini?
Seharusnya, dari pristiwa jatuhnya korban tersebut membuat kita berfikir pemimpin seperti apa yang dihasilkan dari pilkada yang mengabaikan keselamatan jiwa manusia demi duduk di kursi jabatan? Masihkah kita berharap pada pelaksanaan sistem demokrasi yang tidak manusiawi ini?
Layakkah berkorban bagi demokrasi yang sejatinya tak pernah melahirkan pemimpin yang amanah serta menyejahterakan rakyat? Sudah berkali-kali pemilihan pemimpin dan berganti kepemimpinan, namun tak ada satu pun yang menenangkan hati rakyat, membuat hidup mereka aman sejahtera. Malah yang terjadi, setiap kali ganti pemimpin, saa itu pula rakyat siap menanggung tambahan beban masalah.
Para pemimpin negeri ini makin memperjelas posisinya di hadapan rakyat, bahwa mereka berkuasa untuk semata-mata mengamankan jalannya sistem demokrasi meski a nyawa rakyat sebagai taruhannya. Jika pun rakyat mati, demokrasi harus berjalan dengan baik. Hal itu tak menjadi soal bagi mereka karena demokrasi adalah segalanya.
Maka dengan begitu, mereka memaksakan pilkada tetap terselenggara walau dengan biaya mahal ditambah dengan banyaknya kontestan yang positif terpapar virus Corona.
Mustahil terjadi perubahan menuju Indonesia lebih baik, jika proses pemilihannya saja penuh dengan berbagai masalah dan merugikan rakyat.
Pemilihan Kepala Daerah dalam Islam
Dalam Islam penguasa tertingginya disebut sebagai khalifah. Sebagaimana ketika Rasulullah SAW wafat, para sahabat membai’at Abu Bakar Ash-Shidiq sebagai khalifah (pengganti) Rasulullah SAW untuk melanjutkan roda pemerintahan.
Mengingat terus meluasnya wilayah kekuasaan Islam melalui dakwah dan jihad, tentu khalifah tidak akan mampu mengurus semuanya sendiri. Khalifah dibantu oleh para Mu’awwin/Wazir dan juga para penguasa lainnya yakni Wali (Gubernur) dan ‘Amir.
Terdapat syarat-syarat dalam memilih para penguasa ini dalam sistem Islam yakni ia haruslah orang yang memenuhi 7 syarat yaitu: laki-laki, muslim, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu.
Jika ke-7 syarat tersebut dan syarat-syarat afdholiyah lainnya terpenuhi, maka ia layak jadi penguasa. Khalifah akan memilih siapa yang ia kehendaki untuk diamanahi tugas tertentu atau bertugas di wilayah tertentu sebagai Wali (Gubernur) atau ‘Amir.
Ketika khalifah telah memilihnya sebagai Mu’awwin, Wali, atau ‘Amir maka telah sah ia diangkat sebagai penguasa.
Jika diketahui ada pelanggaran syariat Islam yang dilakukan oleh sang penguasa tersebut, maka khalifah bisa mencabut jabatannya seketika itu juga. Tidak perlu menunggu hingga 5 tahun atau dengan sidang yang berbelit-belit.
Bisa kita bandingkan dengan pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi yang berbiaya mahal dan belum terjamin si bakal calon sebagai orang yang amanah dalam tugas atau tidak.
Selain itu, kekuasaan dalam Islam tidak berjangka waktu sebagaimana dalam demokrasi yang membatasi 5 tahun perperiode. Seseorang yang telah terpilih menjadi penguasa akan selamanya menjabat hingga ia meninggal dunia atau dicabut kekuasaannya karena adanya pelanggaran yang ia lakukan.
Demikianlan pemilihan kepala daerah dalam Islam dengan proses yang simpel dan tidak memakan waktu lama bahkan tanpa biaya. Wallahu’alam Bish-Showab.[]
*Praktisi pendidikan
Comment