Harga Melonjak Jelang Ramadan: Tradisi atau Masalah Sistemik?

Opini238 Views

 

 

Penulis: Rosi Kuriyah | Muslimah Peduli Umat

 

RADARINDONESIANEWS COM, JAKARTA – Kedatangan bulan suci Ramadan seharusnya menjadi momen penuh suka cita. Umat Islam menantikannya untuk meningkatkan ibadah dan memperbanyak amal saleh. Namun, kebahagiaan ini kerap diiringi dengan kekhawatiran akibat melonjaknya harga kebutuhan pokok.

Dilansir dari rubicnews.com (7-2-2025) Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan pemerintah untuk mengantisipasi potensi kenaikan harga pangan selama Ramadan dan Idulfitri. Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta, Selasa (4-2-2025), menyebutkan bahwa beberapa komoditas yang perlu diwaspadai kenaikan harganya adalah telur ayam ras, daging ayam ras, cabai merah, cabai rawit, dan minyak goreng.

Data BPS menunjukkan bahwa harga telur ayam ras nasional pada akhir Januari 2025 sudah melampaui harga acuan penjualan (HAP), yakni Rp31.322 per kg. Bahkan, di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau, harganya mencapai Rp42.000 per kg.

Sementara itu, harga daging ayam ras masih di bawah HAP (Rp40.000 per kg), tetapi menunjukkan tren kenaikan, dengan rata-rata harga mencapai Rp38.768 per kg. Di Papua, harga daging ayam ras bahkan melonjak hingga Rp100.000 per kg.

Harga cabai merah secara nasional tercatat Rp53.621 per kg, hampir menyentuh HAP Rp55.000 per kg, sedangkan harga cabai rawit sudah jauh melampaui HAP. Minyak goreng juga mengalami kenaikan, meskipun data rincinya belum tersedia.

Amalia menambahkan bahwa pada awal Ramadan 2024 terjadi inflasi sebesar 0,52%. Inflasi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencapai 0,41% dan baru menurun setelah Lebaran. Tahun ini, kenaikan harga pangan terutama dipicu oleh cabai merah dan cabai rawit, yang menyebabkan inflasi lebih dari 1% di lima provinsi, yakni Bengkulu, Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Papua Selatan.

Kenaikan harga menjelang Ramadan seolah menjadi siklus tahunan yang terus berulang. Masyarakat pun menganggapnya sebagai hal yang wajar akibat meningkatnya permintaan. Namun, benarkah ini hanya soal permintaan, atau ada faktor lain yang lebih mendasar?

Problematika Produksi, Distribusi, dan Daya Beli

Lonjakan permintaan pangan menjelang Ramadan seharusnya bukan kejutan. Data dari tahun-tahun sebelumnya dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk memastikan ketersediaan stok dan kelancaran distribusi agar harga tetap stabil.

Sayangnya, upaya peningkatan produksi pangan dalam negeri masih minim. Ketergantungan pada impor sangat tinggi, terutama untuk komoditas seperti beras, bawang putih, garam, daging, susu, gandum, dan gula. BPS mencatat bahwa pada 2023, impor pangan Indonesia mencapai US$13,8 miliar (sekitar Rp223,97 triliun), naik 5,3% dibanding tahun sebelumnya.

Ketergantungan pada impor membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global. Saat permintaan dalam negeri meningkat, stok sering kali tidak mencukupi, sehingga harus menunggu impor yang prosesnya memakan waktu. Akibatnya, lonjakan harga sulit dihindari.

Meskipun pemerintah memastikan stok pangan cukup, kenyataannya harga tetap meroket. Ini menunjukkan bahwa permasalahan tidak hanya terletak pada ketersediaan, tetapi juga distribusi. Tanpa distribusi yang lancar, bahan pangan sulit diakses oleh masyarakat, meskipun stoknya ada.

Distribusi yang terganggu sering kali disebabkan oleh praktik penimbunan (ihtikar), monopoli, oligopoli, kartel, hingga mafia impor. Pada 2023, Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, mengungkap keberadaan mafia beras yang menyebabkan harga melonjak. Para mafia ini mengontrol pasokan dan menekan pedagang agar membeli dengan harga tinggi.

Pada 2024, Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi, mengungkap indikasi praktik monopoli beras di provinsinya, yang notabene merupakan lumbung pangan nasional. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengonfirmasi adanya oligopoli dalam distribusi beras, dengan lima hingga delapan pedagang besar yang mengendalikan harga di tingkat nasional.

Selain beras, komoditas lain juga kerap menjadi sasaran penimbunan. Pada 2023, Satgas Pangan Sumut menemukan 75,6 ton minyak goreng Minyakita ditimbun di gudang distributor di Medan. Pada 2024, Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat bahwa hanya 20% bawang putih impor yang dilepas ke pasaran, sementara sisanya (80%) diduga ditimbun untuk dijual saat harga melonjak.

Fenomena ini menunjukkan bahwa harga pangan di Indonesia bukan sekadar soal permintaan dan penawaran, tetapi juga permainan para mafia yang mengendalikan pasokan untuk meraup keuntungan besar. Ironisnya, praktik ini sering kali melibatkan oknum penguasa yang berkolusi dengan pengusaha dalam kebijakan impor.

Selain persoalan produksi dan distribusi, daya beli masyarakat juga menjadi faktor utama. Kebijakan ekonomi yang berbasis kapitalisme menyebabkan banyak industri dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor, berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Mereka yang masih bekerja pun menghadapi upah rendah, sehingga daya beli terus melemah. Akibatnya, harga pangan yang tinggi semakin membebani masyarakat.

Kondisi ini menunjukkan bahwa lonjakan harga pangan bukan sekadar dampak dari Ramadan, melainkan hasil dari sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat.

Islam Menjamin Ketahanan Pangan

Dalam sistem Islam, pemenuhan kebutuhan pangan rakyat menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah saw. bersabda:

“Sesungguhnya imam (penguasa) adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab terhadap (rakyat) yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Negara dalam Islam memastikan produksi pangan dalam negeri mencukupi kebutuhan rakyat. Khalifah akan memberikan dukungan penuh kepada petani, peternak, dan pelaku industri pangan agar mereka mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup serta memiliki cadangan untuk menghadapi situasi darurat.

Dukungan ini mencakup penyediaan lahan, bibit, pupuk, obat hama, pengairan, serta sarana bagi peternak seperti bibit hewan, pakan, dan vaksin. Industri pangan dalam negeri juga didorong dengan berbagai kemudahan usaha. Negara bahkan bersedia memberikan subsidi atau hibah demi memastikan ketahanan pangan tetap terjaga.

Jika produksi dalam negeri tidak mencukupi, impor boleh dilakukan, tetapi tidak boleh menjadi ketergantungan yang berkelanjutan. Ketahanan pangan harus tetap berbasis pada produksi lokal.

Dalam aspek distribusi, negara akan mengawasi harga pangan dan memastikan tidak ada praktik penimbunan, monopoli, atau permainan harga yang merugikan rakyat. Khalifah akan menunjuk qadi hisbah yang bertugas mengawasi perdagangan agar sesuai dengan syariat.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam menegaskan bahwa penimbunan makanan hukumnya haram, berdasarkan hadis Rasulullah saw.:

“Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah.” (HR Muslim).

Dengan sistem ekonomi Islam, setiap individu akan mendapatkan akses pangan dengan harga yang wajar. Pekerja memperoleh upah layak, sehingga daya beli masyarakat tetap terjaga. Ramadan pun dapat dijalani dengan penuh kekhusyukan, tanpa beban lonjakan harga yang memberatkan. Wallahu a’lam bishshawab.[]

Comment