Penulis: Qisti Pristiwani, S.Farm | Aktivis Muslimah
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Gula merupakan komoditas pangan yang kaya akan kalori. Manusia memerlukan gula untuk diolah menjadi energi. Selain itu, gula juga sering digunakan sebagai pemanis dalam makanan dan minuman. Namun, kenikmatan rasa manis dari gula tampaknya terusik oleh kenaikan harga yang signifikan.
Seperti dilaporkan CNBC Indonesia (19/4/2024), harga rata-rata harian secara nasional naik Rp20 menjadi Rp18.090 perkg. Mengapa fenomena ini bisa terjadi?
Kenaikan harga pangan di Indonesia kerap terjadi. Hal ini disebabkan oleh pengadaan bahan pangan dan penyesuaian pasar internasional yang masih bergantung pada impor. Berdasarkan laporan dari CNN Indonesia (19/4/2024), Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim menyatakan bahwa kelangkaan terjadi karena pelaku usaha kesulitan mendapatkan pasokan gula dari luar negeri dan harga yang melonjak.
Sangat disesalkan bahwa negara ini masih bergantung pada kebijakan impor dalam skala luas pertanian yang dimilikinya. Kegiatan impor nampaknya menjadi jalan pintas dalam upsya menangani permasalahan pangan. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk mencapai swasembada pangan yang signifikan, termasuk dalam produksi gula.
Namun, tak terbantahkan bahwa dalam sistem kapitalisme liberal saat ini, pengaturan kebutuhan pangan rentan menghadapi berbagai permasalahan. Mulai dari tahap produksi hingga distribusi. Banyak kendala yang dihadapi oleh petani tebu yang memengaruhi faktor produksi, contohnya adalah mahalnya harga pupuk.
Hal ini membuat petani sulit menentukan harga pokok penjualan (HPP). Apabila HPP ditetapkan rendah, petani akan merugi. Namun, jika ditetapkan tinggi, konsumen akan merasa terbebani. Akibatnya, beberapa petani beralih profesi, menyebabkan produksi tebu menurun.
Selain itu, praktik penimbunan dan intervensi oknum tertentu dalam pemasaran gula, produk dari PTPN (PT Perkebunan Nusantara) menjadi tantangan serius dalam distribusi gula (Kediri, 2 Februari 2024).
Kelangkaan barang dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan besar dengan menimbun stok dan menjual dengan harga tinggi. Inilah rantai distribusi yang terus berlangsung dalam sistem pasar bebas yang diterapkan di negara ini. Siapapun dapat mengendalikan harga pasar bila memiliki modal, sementara negara tidak memiliki taji untuk melawan praktik mafia.
Berbeda dengan sistem Islam yang menjadi dasar dari segala kebijakan. Islam menempatkan kebutuhan pangan sebagai prioritas utama yang harus dipenuhi oleh negara. Oleh karena itu, segala permasalahan terkait kebutuhan pangan akan segera ditangani dengan komprehensif.
Dalam Islam, negara tidak terburu-buru mengambil keputusan impor untuk menangani kelangkaan barang dan kenaikan harga. Sebaliknya, negara memperbaiki sistem produksi hingga distribusi pangan dari hulu hingga hilir. Dengan mengkaji kondisi lahan, pengadaan bibit unggul, pupuk, air, dan faktor lainnya, hal ini mampu meningkatkan produksi pangan sesuai dengan kebutuhan negara. Petani tidak dibiarkan menghadapi kesulitan sendirian dalam menangani permasalahan ini.
Islam juga melarang praktik penimbunan barang. Individu yang melakukan hal ini akan dikenakan sanksi tegas oleh negara. Dengan adanya campur tangan negara dalam jalannya pasar, proses distribusi barang dapat dikendalikan dengan baik.
Oleh karena itu, untuk menyelesaikan berbagai permasalahan pangan saat ini, dibutuhkan keterlibatan penguasa dan negara yang memiliki komitmen serius dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
Semua ini hanya akan terwujud apabila negara mengadopsi sistem ekonomi Islam. Wallahu a’lam bishshowab.[]
Comment