![]() |
Hanif Kristianto, Analis Politik dan Media.
|
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pemanasan menuju tahun politik di pilpres, pileg, dan pilkada serantak 2019 sudah terasa. Hal yang paling mendapat sorotan yaitu kepentingan capres-cawapres untuk memenangkan dirinya menuju puncak karir kenegaraan. Bagian terpenting dari entitas untuk kemenangan yaitu perhitungan dalam merebut pangsa pasar umat Islam.
Partai politik dan politisi sudah bersiap diri. Energi menuju kemenangan dipanaskan sejak dini. Mesin-mesin telah digerakkan oleh baling-baling dan pendanaan tak terhingga. Umat Islam menjadi bidikan pertama. Nilainya begitu seksi sebagai gentong mereguk suara.
Dalam kamus politik demokrasi, sebab landasannya sekularisme, tak memandang latar belakang agama atau apapun. Terpenting hitungan perkepala sebagai jumlah besar untuk meraih dukungan menang. Ragam komunikasi dan cara untuk mendekati didesain menarik. Komunikasi politik ditujukan pada pemilik massa, semisal ormas, tokoh agama, ulama, dan komunitas umat Islam. Gerbong umat Islam ditarik kuat agar berkenan mendukung.
Ada beberapa hal yang menjadikan umat Islam sebagai suara tuhan paling seksi.
Pertama, umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia menjadi alasan utama untuk merebut suaranya. Meski mayoritas, secara kekuatan entitas politik Islam umat tidak memiliki basis. Hal ini disebabkan liberalisasi dan sekularisasi politik. Politik Islam dibuang jauh-jauh dan didengungkan jika Islam harus dipisahkan dari politik.
Kedua, dalam perhitungan kemenangan pada pemilu sebelumnya, suara umat Islam menjadi penentu. Meski umat Islam sendiri sering dikibuli janji-janji. Ketidaksadaran umat Islam disebabkan hilangnya kepercayaan diri untuk bangga dan tampil membawa politik Islam. Umat sudah tidak memiliki gambaran politik Islam secara menyeluruh, pasca penjajahan di negeri-negeri Islam dan hilangnya entitas pemerintahan Islam (khilafah). Mau tidak mau, demokrasi memanfaatkan itu demi kepentingan seseorang duduk di kursi jabatan.
Ketiga, keterlibatan konstituen dalam pemilihan dalam komunikasi politik tidak bisa dilepaskan dari unsur keagamaan. Hal mudah untuk mempengaruhi umat Islam dengan menampilkan sosok yang Islam. Kalau bisa dari ulama atau orang yang didesain seolah dekat dengan ulama dan umat. Manipulasi sosok inilah yang kerap ditampilkan untuk mengecoh gelora umat Islam dalam menentukan pilihan.
Keempat, politisi demokrasi paham bahwa basis umat Islam tidak terkonsentrasi pada satu partai. Kondisi ini diakibatkan, sistem demokrasi telah menjadikan partai berbasis Islam atau tidak, bentuk dan perjuangannya sama. Korupsi pun dilakukan tanpa mengenal basis partai. Hampir semua partai ada kader yang melakukannya. Walhasil umat akhirnya berfikir, mau partai berbasis massa Islam atau tidak, sama saja. Karenanya tidak heran, jika partai-partai itu berkoalisi dengan memanfaatkan ormas Islam untuk melancarkan serangan.
Umat Islam pada kondisi kekinian hendaknya kembali sadar dan siuman dari ragam tipu daya politik. Jangan sampai terjebak berkali-kali dalam lubang yang sama. Hal yang sangat disayangkan tentu pernyataan dari tokoh yang sering berujar bahwa agama harus dipisahkan dari politik. Padahal Islam memiliki konsep politik yang berbeda dengan agama lainnya.
Pilpres 2019 suara umat Islam akan jadi bancakan. Rakyat yang masih dalam kebodohan politik terus saja dibodohi dan tidak dicerdaskan. Pada kondisi inilah, umat Islam harus memiliki gerakan arus baru untuk kembali mengkaji dan merumuskan kembali politik Islam bermanhaj kenabian. Bukankah lebih selamat jika umat Islam mengikuti nabi Muhammad dalam menjalankan roda politik dan pemerintahan?
Tetap waspada dalam hajatan politik. Terakadang ada kucing dalam karung yang dibeli. Begitu pun musang berbulu domba yang dipilih. Salah lagi dan akhirnya umat Islam ditinggalkan begitu saja setelah suara tuhan diambil dalam pemungutan suara. Nasib tak selalu mujur.[]
Comment