Hanif Kristianto |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Kehidupan di pedasaan sudah terpolarisasi menjadi dua. Ada masyarakat yang sudah dimasukan ke bagian komunitas jamaahnya, meski tidak memahami dalamanya. Tanda paling mudah, ikut tahlilan atau tidak pakai qunut. Ada pula yang mengaku sebagai Islam nasional, selain itu disematkan radikal. Aku sendiri sebagai anak kampung, tak paham maksud itu semua.
Pada malam selepas isya’. Entah mengapa ibuku tiba-tiba bertanya. Hal yang selama ini sangat aku simpan dalam-dalam. Tak ingin kumunculkan sebagai perbedaan tajam. Toh, ini hanya urusan cabang. Bukan fundamental dalam Islam.
“Le, kalau ibumu mati nanti, apa kamu nggak adakan selamatan tahlilan?”panggilnya menusuk agak tajam.
Aku yang duduk bersandar di kursi mencoba menenangkan batin dan jiwa. Salah jawab, ucapanku bisa menimbulkan laknat. Tak tepat menyampaikan pendapat, bisa saja aku kena damprat.
“Hmm… Tumben bue tanya begituan?”tanyaku lepas.
“Ya, kamu sendiri tahu kan. Selama kepindahanmu ke kampung bue khawatir, kamu nggak mau ikut selamatan tahlilan,”jawabnya penuh alasan.
“Bue paham, selama kamu di luar sana hampir-hampir tak pernah ikut tahlilan. Terkadang kamu mengelak untuk ikutan. Bue, khawatir.”
“Khawatir bagaimana maksud bue?”
“Khawatir aja kamu sudah tak segolongan dengan ibu dan bapakmu. Sebab gayamu sekarang aneh. Celana dinaikan ke atas. Jenggotmu tambah panjang. Pengajianmu pun tidak seperti orang-orang kebanyakan di kampung,”jelas ibu panjang lebar.
Tok otok otok tekek…! Tok otok otok tekek…! Tok otok otok tekek…! Suara tokek sejenak memecah kebuntuhan di tengah serbuan pertanyaan. Bisa saja aku buat seribu satu alasan, namun kali ini harus ada satu jawaban pas untuk memuaskan rasa keingintahuan ibu.
“Bue ora usah khawatir. Bukankah bue paham ada tiga amalan jariyah jika manusia kelak meninggal dunia di alam barzah?”
“Iya.”
“Nah, bue kan seorang guru. Otomatis ilmu yang diajarkan kepada anak didik selama baik dan bermanfaat pasti akan mengalir toh! Enak nopo mboten?”
“Yo mesti enak lah. Terus?”
“Amal shodaqoh jariyah yang niatan ikhlas karena Allah dan caranya sesuai tuntunan Islam. Toh bue juga suka bershodaqoh dan infaq. Coba kalau dihitung-hitung cukup tidak sebagai bekal nanti?”
“Yo mugo-mugo wae cukupan. Wong awak dewe iki urip mung sak dermo nandur. Mugo-mugo wae panen sing becik.”
“Nah ada satu yang bue harus selalu harapkan, yaitu doa anak soleh dan solehah. Apakah bue sudah melihat aku dan adik ini sebagai anak soleh? Jika sudah, cukuplah bue berbahagia,”penjelasanku untuk memantik memorinya.
“Aku sebagai anak bue senantiasa akan mendoakan ibu dan bapak baik di kala hidup maupun sudah meninggal. Bagiku doa ini lebih penting dan berkelanjutan. Doa ini tidak hanya pada hari-hari selamatan, tapi setiap hari. Bukankah ini sebuah bekal yang harus dipersiapkan?”tanyaku sedikit memberi penekanan.
“Bener juga kamu, le,”nadanya sedikit lega.
“Seperti yang saya fahami bu. Mendoakan orang yang sudah meninggal adalah kesunnahan. Adapun acaranya bukan suatu ibadah wajib yang harus dilakukan. Bue juga harus paham kondisi ekonomi warga kampung. Jadi jangan memaksakan jika memang tidak ada apa-apa.”
“Seperti yang aku baca di buku Atlas Walisongo, doa selamatan untuk kematian pada hari-hari tertentu itu berasal dari budaya muslim Champa yang dibawa oleh kanjeng sunan ke nusantara. Kita pun bisa melihat dalam selamatan itu dibaca doa, tahlil, tahmid, tasbih dan sholawat,”sedikit penjelasan kukutip dari buku sejarah.
“Oh, jadi sejarahnya begitu. Berarti ini sebenarnya hukumnya sunnah. Kebaikan di dalamnya jika diisi dengan aktifitas sesuai Islam maka tak masalah.”
“Lah, sekarang masalahnya di kamu. Mengapa kamu nggak melakukan selamatan tahlil?”ibu kembali mengulang pertanyaan.
“Bue, ini prinsip dalam hidupku. Jika bue berkenan melakukan itu silahkan. Saya tidak akan menuduh dengan bid’ah atau apalah. Saya menghormati itu. Jika saya mengambil jalan tidak melakukan itu, maka bue harus menghormati pilihanku,”jawaban pamungkasku semoga membuat tentram.
“Ya sudahlah. Bue nggak memaksa. Harapan bue, kamu tetap menjadi anak yang soleh. Jangan memberatkan beban bue jika nanti sudah meninggal. Sebab bue ingin masuk surga bersama-sama dan tak ingin terjun ke neraka sebab anaknya jauh dari syariah-Nya,”pesan ibu yang membuat hatiku lega.
Mata ini inginnya terlelap, tapi pertanyaan ibu tadi membuatku terhenyak. Cita-citaku hanya ingin menjadi anak soleh. Aku hanya ingin menjadi lumbung amal jariyah bagi ibu yang telah melahirkanku ke dunia. Ibu yang telah mendidik dan merawat dari kecil hingga besar. Cinta kasihnya kurasakan hingga dewasa. Dalam tafakur panjang senantiasa kuterkenang. Dengan apa aku harus membalas itu semua? Cukupkah dengan doa?
“Allahumghfirli wali walidaiya warhamhuma kama roabbayani shoghira”.
Doa itu menjadi penutup di setiap doa-doaku. Dalam harap kepada ilahi rabbi. Dalam asa untuk menjemput janji. Malam sudah kian pekat. Pintu dan jendela sudah tertutup rapat. Hanya Tuhan yang tidak terlelap. Sementara bintang kecil masih setia menghiasi langit malam. Aku pun berdoa: “bismika Allahumma ahya wa bismika amut”Bersambung…..
Comment