Hanif Kristianto, Analist Politik dan Media.[Dopribadi0k/ |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Publik pun dibuat bertanya-tanya. Berapa sih jumlah uang untuk memenangkan Pilgub Jawa Timur? Pasalnya, bukan rahasia lagi jika ‘rupiah’ jadi alat kuasa menuju kemenangan. Ada uang mesin pemenangan jalan. Tak ada uang, siapa yang mau kasih dukungan?
Konsekuensi yang harus ditanggung paslon pilgub Jatim yakni penyediaan logistik. Tahapan kampanye memang panjang dan melelahkan. Tak hanya fisik tim pemenangan. Logistik keuangan dianggap mampu memicu menuju kemenangan. Hal inilah sesungguhnya gambaran liberalisasi politik ala demokrasi. Bukan soal dipilih langsung oleh DPRD atau rakyat. Lebih pada sikap jahat demokrasi yang meruntuhkan asas-asas kemanusiaan.
Sumber pembiayaan pemenangan pilkada selain dari paslon juga bisa diperoleh dari sumbangan perseorangan dan badan hukum. Dalam pasal 74 ayat 5 UU Pilkada disebutkan sumbangan perseorangan paling banyak Rp 75 juta. Badan hukum swasta paling banyak Rp 750 juta. Parpol sendiri bisa memberikan sumbangan atau subsidi, namun kenyataanya parpol di Indonesia tidak memiliki banyak uang.
Menghitung Rupiah
Ketua KPU Jawa Timur, Eko Sasmito mengungkapkan batas maksimal dana kampanye sebesar Rp 494.146.064.100. Jumlah tersebut berdasarkan kesepakatan antara KPU Jatim, Bawaslu, dan tim kampanye kedua pasangan. Di awal laporan dana kampanye, tercatat pasangan Gusti melaporkan modal sebesar Rp 1,7 miliar. Sementara pasangan Kamil sebesar Rp 200 juta.
Mari hitung rincian rupiah terkait pemenangan. Di antara rincian itu meliputi uang saksi di TPS, pelatihan saksi, serangan fajar, bantuan langsung, dan lainnya. Rincian ini diluar asumsi biaya kampanye Rp 494 miliar yang digunakan untuk kampanye lapangan, memobilisasi massa, alat peraga kampanye dan lainnya.
Jumlah TPS di Jawa Timur ada sekitar 68.511. jika satu TPS diisi dua orang saksi, maka tim pemenangan harus membayar Rp 400.000 dikalikan jumlah TPS. Dengan demikian uang yang harus dikeluarkan sebesar Rp 27,4 miliar. PDI P Jatim akan menyiapkan 700 ribu saksi. Jika jumlah saksi dikalikan TPS, maka dana yang dikeluarkan PDI P, tentunya melalui paslon sebesar Rp 140 miliar.
Berdasarkan Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) sebanyak 30.747.387 jiwa penduduk yang ikut pilgub Jatim 2018. Jika untuk memobilisasi massa agar memilih paslon dengan asumsi Rp 50 ribu tiap kepala, maka biayanya Rp 1.537.369.350.000 (Rp 1,5 Triliun).
Tak tertinggal biaya survey yang dilakukan oleh suatu lembaga. Fenomena survey elektabilitas menjadi lumbung baru mengeruk untung bagi kalangan akademisi yang bekerja sebagai surveyor. Keberadaannya dianggap penting untuk mengalkulasi kemenangan dalam hitungan politik. Katakan asumsi biaya tiap survey Rp 300 juta. Biasanya dilakukan pra pilkada dan hari pelaksanaan. Maka biaya yang dikeluarkan Rp 600 juta. Sudah menjadi kebiasaan paslon menyewa jasa lembaga dan konsultan politik lebih dari dua, bergantung keuangan paslon. Maka diasumsi rata-rata menyewa 3 lembaga, uang yang dikeluargkan Rp 1,8 miliar kali dua survey menjadi Rp 3,6 miliar.
Masih ada satu biaya yang penting, yaitu pengambilan formulir pendaftaran dari partai politik sebagai kendaraan. Asumsikan satu formulir Rp 100 juta. Belum lagi mahar politik untuk mendapatkan restu dari ketua DPP Partai Politik. Harganya bisa miliaran, bergantung permintaan. Jika diasumsikan setiap paslon merogoh kocek Rp 40 miliar (mengambil contoh kasus La Nyalla) untuk tiap partai politik, maka pasangan Gusti dengan dukungan 4 parpol merogoh kocek Rp 160 miliar. Sementara pasangan Kamil dengan 5 parpol merogoh kocek Rp 200 miliar. Asumsi itu berlepas dari ada tidaknya uang yang disetorkan ke parpol pendukung.
Dengan demikian, jika ditotal dana untuk menuju kemenangan bisa mencapai sekitar Rp 2,3 triliun. Fantastis untuk ukuran pilgub Jawa Timur. Maka tak heran, dibalik pasangan yang maju ada pengusaha yang menjadi lumbung meraup pundi-pundi rupiah. Konsekuensinya jelas, ada timbal balik pasca kemenangan diraih.
Catatan Penting
Pembiayaan pilkada mahal disebabkan beberapa hal:
Pertama, liberalisasi politik melalui UU Pilkada. Keterbukaan pendanaan akhirnya membuka peluang bagi pemilik modal untuk investasi politik. Karenanya, rakyat harus sadari siapa di balik bandar pemenangan.
Kedua, kemunculan apatisme masyarakat menyebabkan paslon harus menstimulus rakyat. Ibaratkan dagang, paslon ingin membeli suara rakyat. Satu suara begitu berharga bagi kemenangan kontestan. Di sisi lain, rakyat pun kian cerdas bahwa seringnya pemimpin abai pada janjinya, akhirnya masyarakat memanfaatkan uangnya. Belum tentu memilihnya. Ada timbal balik materi yang harus dibayar.
Ketiga, demokrasi menjadi jalan korupsi. Selalu ada cerita baru menjelang pilkada. Tangkap tangan OTT KPK hingga calon kepala daerah yang akan maju kembali tersandera. Malang dan Jombang bisa menjadi bukti. Daerah lain di Indonesia pun tampaknya sama.
Keempat, asas demokrasi yang memang kebebasan dan meniadakan peranan agama kerap mendorong manusia bersifat koruptif. Mengabaikan janji selama kampanye dan cenderung memoles citra tanpa memikirkan rakyatnya. Tidak ada makan siang gratis bagi investor politik.
Oleh karena itu, himbauan bagi seluruh rakyat Indonesia. Harus ada cara-cara baru yang lebih bermartabat dalam memilih kepala daerah. Bukan cara yang menimbulkan huru-hara, apalagi perpecahan bangsa. Lagi-lagi, rakyatlah jadi korbannya. Tampaknya, cara baru itu ada dalam sistem politik Islam, yang mampu menyelasaikan persoalan kepemimpinan di daerah. Kabeh ancen sedulur. Yen wis koyok ngene, iso-iso banjir duwithe jor-joran kampanye. Piye ngene iki?
Comment