Penulis: Dr M. Imam Shamsi Ali, Lc, M.A |Presiden Nusantara Foundation, Direktur Jamaica Muslim Center, New York
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Jum’at pertama di setiap bulannya adalah jadwal tetap saya menyampaikan khutbah di Jamaica Muslim Center. Jadwal ini bersifat permanen dan mengikat karena selain posisi saya sebagai Imam dan Direkturnya, juga karena memang harapan besar jamaah kepada saya minimal sekali sebulan menyampaikan khutbah.
Maka ini adalah satu-satunya jadwal khutbah saya yang tidak bisa digeser dan digantikan selama memungkinkan.
Pada Jumat itu saya menyampaikan khutbah yang saya anggap cukup berat. Karena dalam beberapa hari terakhir ada beberapa pesan dari jamaah, bahkan dari pengurus Masjid, untuk saya menyampaikan khutbah sesuai dengan pesan-pesan itu.
Apalagi pesan itu terkadang secara tidak langsung merupakan permintaan merespon kepada beberapa hal tertentu yang lagi menjadi perbincangan di komunitas.
Dua pekan lalu misalnya Jamaica Muslim Center mengadakan “Match-Making” atau acara temu jodoh untuk para “singles” di Komunitas yang berniat menikah. Acara itu berlangsung di ruangan basement Masjid. Ternyata ada-ada saja yang merespon kegiatan itu secara negatif. Mereka menyamakan acara itu dengan “dagang sapi”. Sebagian pula menganggapnya tidak Islami karena dianggap kurang sesuai adab-adab Masjid sebagai tempat ibadah.
Dua hari lalu juga salah seorang jamaah meninggal dunia. Di saat Sholat janazah sebagaimana kebiasaan meminta salah seorang anggota keluarga untuk menyampaikan sepatah dua kata. Almarhum itu meninggal muda dan meninggalkan dua anak yang masih kecil.
Maka satu-satunya yang bisa bicara mewakili keluarga adalah isterinya. Ternyata perempuan yang berbicara walau di ruangan berbeda pun dianggap tidak sesuai etika Islam. Menurut segelintir orang bisa menimbulkan fitnah karena suara perempuan diperdengarkan di Masjid.
Selain kedua hal di atas, saya juga merespon kepada sebagian prilaku jamaah terhadap keberadaan anak-anak yang bermain di basement pada saat acara youth berlangsung. Menurutnya seharusnya di Masjid tidak bermain dan berlarian karena tidak sesuai adab-adab Masjid sebagai rumah ibadah.
Hal-hal di atas, dan beberapa hal lainnya, menjadi perbincangan bahkan perdebatan di kalangan jamaah yang mayoritas Asia Selatan itu. Apalagi menurut informasi yang sampai ke saya, ada Imam-Imam di Komunitas lain, mungkin karena pandangan tradisional ekstrim mereka menjadikan ikut mengompori sebagain jamaah di Komunitas kami. Akibatnya terjadi perdebatan yang cukup hangat yang mengantar kepada suasana yang kurang baik.
Jamaah Jum’atan di Jamaica Muslim Center cukup besar. Menurut perkiraan tidak kurang dari 2500-an atau lebih yang hadir mengikuti perhelatan mingguan itu. Sehingga sangat tepat jika khutbah kali ini saya pergunakan dengan baik untuk merespon kepada hal-hal yang menjadi perdebatan di kalangan anggota komunitas. Namun respon atau penjelasan pada khutbah itu saya tidak sampaikan kali ini. InsyaAllah akan disampaikan pada masanya.
Sekolompok anak SMU (High schoolers) hadir menyimak.
Tanpa saya ketahui ternyata di lantai dua Masjid (bagian wanita) ada sekolompok murid-murid wanita dari Jamaica High School ikut hadir dan menyimak khutbah saya. Sebagian besarnya beragama Islam. Namun ada juga yang beragama non Islam.
Seperti biasanya setelah selesai Jumatan saya tinggal sejenak di kantor menunggu jika ada jamaah yang ingin berbicara dengan saya atau ingin menanyakan sesuatu. Termasuk jika ada jamaah yang ingin mengklarifikasi tentang khutbah hari itu. Tapi tak seorang pun yang menemui saya. Karenanya saya segera kembali ke rumah yang tidak jauh dari Masjid.
Namun baru saja masuk rumah saya dapat telpon dari General Secretary (Sekertaris Umum) pengurus Masjid. Beliau menyampaikan bahwa ada sekolompok anak pelajar dari Jamaica High School (tetanggaan dengan rumah kami dan Masjid) yang ingin ketemu dengan Imam. Saya pun segera balik dan menemui mereka di kantor. Ada 9 orang murid, semua perempuan, yang hadir.
“Assalamu alaikum” sapa saya ketika masuk ke kantor Masjid.
“Alaikum Salam” jawab mereka yang Muslim serempak.
Setelah duduk saya kemudian menyampaikan permintaan maaf karena kembali ke rumah sebelum menemui mereka. “I did not know that you girls are here to see me”, kata saya.
“It’s fine Imam. This was not intended“, kata salah seorang murid yang beragama Islam.
“So what I can do for you today?”, tanya saya.
Mereka saling melihat sambil senyum atau tertawa ringan. Nampaknya saling mengharap satu sama lain untuk menjadi juru bicara. “It’s okay… i am not scary right?”, kata saya bercanda.
Salah seorang di antaranya kemudian menyampaikan: “our friend, Jennifer, want to ask you something”, katanya sambil menunjuk ke arah salah seorang siswi yang nampaknya orang Amerika berkulit putih.
“Hi Jennifer, nice meeting you”, sapa saya.
“Same here”, (sama, saya juga senang ketemu”, jawabnya.
“So what do you want to ask?”, tanya saya.
Dia kemudian menengok ke teman-temannya. Nampak seolah malu-malu untuk bertanya. “Just ask anything you want to…”, lanjut saya.
Jennifer nampak masib ragu dan malu. Tiba-tiba dengan suara pelan dia berkata: “is there any particular requirement to become a Muslim?”. Dia bertanya sambil melihat ke arah temannya, bukan ke arah saya. Mungkin masih ragu atau malu.
Saya kemudian mencoba memotivasi Jennifer: “you don’t have to be hesitate to ask about anything in Islam. Islam commands us to ask the people of knowledge if we don’t know”, merujuk kepada ayat Al-Qur’an.
Saya kemudian menjelaskan bahwa tidak ada “requirement” untuk menjadi seorang Muslim kecuali “keyakinan” (certainty) jika Islam adalah jalan hidup kebenaran. “If you believe that Islam is the true way of life, that there is only One true God and Muhammad is the Messenger of God, you are already Muslim”.
Tapi sebelum lanjut, saya tanya ke Jennifer: “if I may ask, what do you make you want to become a Muslim?” (Apa yang menjadikan kamu tertarik masuk Islam?).
Sambil melihat teman lagi dan masih nampak malu, Jenifer mengatakan: “I have been thinking for sometime to convert”. Tapi dia menjelaskan bahwa teman-teman dialah yang menjadi jalannya mencari Islam.
Tapi menurutnya lagi, khutbah saya hari itu mengklarifikasi beberapa hal yang masih menjadi keraguan. Menurutnya, selama ini dia masih memahami jika Islam itu lebih identik dengan budaya Timur Tengah atau Asia Selatan.
Dalam khutbah hari itu memang saya jelaskan bahwa budaya itu adalah karakter sosial yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tertentu. Semua bangsa punya budayanya sendiri. Termasuk Amerika memilki budayanya yang mungkin saja tidak sesuai dengan budaya saya sebagai pendatang. Tapi saya harus hormati, selama itu tidak bertentangan dengan keyakinan saya dan “prinsip kemanusiaan yang mendasar”.
Agama hadir bukan untuk menghapus budaya setiap orang atau bangsa. Tapi hadir untuk menguatkan (to confirm and affirm) dan jika diperlukan membenarkan (to correct) budaya yang sudah ada. Di situlah makna “li yutammima makaarimal akhlaq” (menyempurnakan akhlak manusia).
Singkatnya Jennifer yang tadinya khawatir dipaksa oleh Islam untuk mengganti budaya, menjadi apa yang dia sebut “Middle eastern or South Asian culture) atau budaya Timur Tengah atau Asia Selatan. Namun dengan khutbah singkat yang saya sampaikan itu dia merasa jika Islam adalah agama semua orang. Termasuk untuk dirinya sendiri sebagai orang Amerika keturunan Eropa.
Saya kemudian tanya ke Jennifer: “so now, are you ready to accept Islam?”.
Dengan cepat Jennifer menjawab: “yes Sir!”.
Saya kemudian menuntun Jennifer mengikrarkan: “asyhadu an laa ilaaha illa Allah- wa anna Muhammadan Rasulullah”.
Teman-teman yang hadir, sebagian meneteskan airmata, sebagian lagi (yang non Muslim) bertepuk tangan sambil saling berpelukan. Sebuah pemandangan yang tidak biasa hari itu.
Tapi sekali lagi, itulah Amerika. “A land of opportunities”. Termasuk peluang Dakwah yang sangat terbuka, bahkan kepada seorang siswi SMU seperti Jennifer. Allahu Akbar!
Jamaica Hills, 3 Januari 2025.
Comment