Gurita Korupsi Seolah Tiada Henti

Opini86 Views

 

Penulis : Ari Rismawati : Aktivis Muslimah Purwakarta

 

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Presiden Joko Widodo atau Jokowi seperti ditulis liputan6.comĀ  direncanakan bertemu dengan mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo di Istana Merdeka Jakarta, Minggu (8/10/2023) malam.

Seperti diketahui, Syahrul Yasin Limpo mundur dari jabatan mentan karena ingin fokus dengan kasus hukum yang menimpa dirinya. Syahrul dikabarkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).

Namun, KPK sejauh ini belum mengumumkan secara resmi soal penetapan tersangka terhadap Syahrul Yasin Limpo. Sebab KPK masih melakukan proses analisis terhadap barang bukti yang disita saat penggeledahan di rumah dinas maupun di Kantor Kementan.

Korupsi seolah tiada akhir di negri ini. Pemberitaan media berjibun dan bergantian. Koruptor pun beragam. Korupsi di negri ini telah menjadi penyakit akut. Seperti kanker yang sudah mengakar kuat. Upaya mencabut hingga ke akar tampaknya tak kuat. Sebab, budaya dan pelaku korupsi tak sendiri. Mereka berjamaah dan saling melindungi untuk mencari cara selamat.

Korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan negara dan masyarakat. Di Indonesia, korupsi menjadi hambatan utama investasi. Bahkan korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat disuatu negara.

Proses pemberantasan korupsi di negri ini sudah dijalankan sejak zaman Order Lama, Orde Baru hingga Orde Reformasi. Pembentukan lembaga khusus pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu komisi pemberantasan korupsi (KPK), diharapkan mampu mengakselerasi proses pemberantasan tindak pidana korupsi.

Namun, tindak pidana korupsi yang terjadi makin menjadi-jadi. Modus korupsi pun makin beragam. Bahkan aparat penegak hukum banyak yang terlibat kasus korupsi. Terjadi pula proses pelemahan atas lembaga KPK sebagai tumpuan dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika masyarakat skeptis dengan langkah-langkah pemberantasan korupsi.

Sistem politik demokrasi telah memberikan celah bertindak korupsi. Tak malu lagi korupsi dilakukan berjamaah dan saling membantu menutupi masalahnya. Pernyataan Lord Acton bisa jadi benar jika itu disematkan pada sistem demokrasi. Hal ini tentu berbeda dengan islam.

Dalam islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawab itu tidak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Rasulullah SAW bersabda ; imam atas manusia adalah pengurus rakyat dan dia dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya (HR. al-Bukhari)

Karena itu sistem islam yang disandarkan pada akidah islam memberi solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Sistem islam mecegah manusia sedari dini untuk memiliki niat korupsi di awal. Pada titik inilah islam memberikan solusi secara sistematis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Sekali lagi, ini menunjukan keagungan dan keistimewaan islam sebagai aturan dan solusi kehidupan.

Islam tidak sekedar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan. Khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Quran dan as Sunnah. Begitupun pejabat yang diangkat untuk melaksanakan syariah islam.

Dalam islam pengangkatan pegawai negara menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai pangkal berbuat maksiat dan tercela. Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabatĀ  melaksanakan tugasnya – selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.

Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qana’ah dengan pemberian Allah, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Bukan dunia tujuannya, tetapi ridha Allah dan pahala menjadi standarnya. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanya sarana untuk ‘izzul islam wal muslimin’. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompok.

Sanksi tegas dalam islam memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Siapapun dengan hati ikhlas dan akal waras merindukan pemberantasan korupsi tak pandang bulu. Tak ada lagi cerita koruptor itu malah bangga dan bebas mencalonkan dirinya kembali sebagai pejabat negara. Belum lagi, ini menjadi catatan kelam sistem demokrasi yang diterapkan di negeri yang mayoritas muslim ini.

Karena itu perubahan menuju kearah islam dan solusi islam dalam memberantas korupsi harus segera dilaksanakan. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Comment