Oleh Nina Herlina, S. Si. Pemerhati Kebijakan Sosial
__________
RADARINDONESISMEWS.COM, JAKARTA – Awal bulan September ini, kembali publik dibuat emosi dengan glorifikasi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah seorang artis ibukota.
Kebebasannya langsung disambut euforia oleh sejumlah seleb dan pengacara ternama, dengan melakukan prosesi glorifikasi yang dilakukan dengan mengalungkan rangkaian bunga berbentuk lingkaran yang berukuran besar ke leher sang artis.
Dia juga mendapatkan buket bunga mawar dari rekan penyanyi dangdut yang turut menyambut kebebasannya dan berlaga di atas Porsche merah sambil melambaikan tangan bak pahlawan.
Pasalnya artis tersebut sangat tidak layak mendapatkan glorifikasi tersebut. Atas prestasi apa dia mendapatkan glorifikasi?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata glorifikasi adalah proses, cara, perbuatan meluhurkan, memuliakan dan sebagainya. (https://lektur.id/arti-glorifikasi)
Sementara artis tersebut merupakan napi kejahatan seksual yang sangat jelas terbukti melakukan tindakan asusila yang sangat tidak bermoral.
Melihat hal tersebut, Najwa Shihab melalui unggahan Instagramnya menyebut bahwa sambutan tersebut dapat berpotensi membuat publik maklum atas aksi kekerasan yang dilakukan artis berusia 41 tahun itu terhadap korban.
“Perilaku ini lama kelamaan bisa membuat ‘pemakluman’ atas kekerasan seksual terhadap dua remaja yang dilakukan oleh artis dangdut tersebut,” tulis Najwa Shihab.
“Dan yang tidak kalah bahaya, orang-orang bisa gak malu lagi kalau melakukan kekerasan seksual. Selain itu, perilaku ini juga bisa bikin orang-orang jadi merasa ‘biasa’ melihat para pelaku kekerasan seksual,” tambahnya, (Pikiran-Rakyat.com yang dikutip dari instagram @najwashihab pada Senin, 6 September 2021).
Seharusnya kasus ini tidak sampai mencuat ke ranah publik, yang membuat masyarakat semakin sakit. KPI sebagai lembaga penyiaran sudah seharusnya menyortir dan mengantisipasi setiap tayangan yang akan disuguhkan kepada masyarakat.
Karena di antara tugasnya adalah untuk menjamin masyarakat dalam memperoleh informasi yang benar dan layak sesuai dengan hak asasi manusia, juga menampung, meneliti, dan menindaklanjuti setiap aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi yang dilayangkan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran.
KPI harus bersikap independen, tidak boleh disetir oleh pihak manapun apalagi sampai dikendalikan oleh media penyiaran.
Di samping kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh KPI masalah ini pun dipicu dari tolak ukur media dalam menampilkan suatu tayangan.
Dalam sistem sekuler kapitalis ini, tolak ukur keberhasilan tayangan dipengaruhi oleh pencapaian rating demi mendapatkan limpahan materi dan keuntungan.
Hal tersebut menjadi pertimbangan media dalam menyuguhkan informasi dan tayangan kepada publik. Tidak ada lagi standar baik dan buruk ataupun tujuan untuk mengedukasi umat dalam rangka menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan glorifikasi dan etika dalam permasalahan penyiaran media ini maka Islam mempunyai solusinya.
Dalam Islam media mempunyai peran strategis sehingga keberadaannya harus diatur, karena media merupakan sarana menyebarkan informasi di dalam maupun di luar negeri sehingga sepenuhnya berada dalam kendali seorang kepala negara.
Seorang kepala negara ikut turun tangan dalam mengawasi berita-berita yang akan disampaikan kepada masyarakat melalui orang-orang yang berkompeten di bidangnya.
Fungsi media massa di dalam negeri adalah untuk membangun masyarakat Islami yang kokoh. Sedangkan di luar negeri media massa berfungsi untuk menyebarkan keagungan Islam, baik dalam suasana damai ataupun perang.
Media massa juga dapat menjadi sarana dalam menjelaskan semua tuntunan hidup yang baik, berdasarkan hukum syara, nilai dan panduan bersikap demi terciptanya peningkatan kualitas hidup dengan pemanfaatan iptek.
Disamping itu, media massa juga menjadi sarana informasi, edukasi, persuasi, serta hak dalam mengeluarkan ekspresi publik dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar dan ‘muhasabah lil hukam,’ mengoreksi penguasa.
Media tidak boleh menayangkan program-program yang dapat merusak moral generasi, mengaruskan ide kebebasan, menyiarkan hal-hal yang berbau pornografi-pornoaksi, apalagi sampai mengandung unsur legebete yang semua itu diharamkan dalam Islam.
Oleh karena itu, dalam Islam, media massa diharapkan mampu mewujudkan masyarakat cerdas karena memiliki tuntunan yang jelas dalam semua urusan hidupnya. Sehingga masyarakat mampu menilai mana yang benar dan mana yang salah.
Keberadaan media tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan pemodal atau pengusaha sehingga informasi yang disajikan bersifat objektif dan tidak ada penyebaran informasi hoaks. Apalagi menjadi sarana untuk kampanye penyalahgunaan seksual atau kampanye legebete.[]
Comment