Gita Agressia E.A, A.Md |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Di awal tahun 2019 ini akhirnya Indonesia berhasil mengekspor beberapa produk pertaniannya ke pasar negara Cina, Singapura, dan Hongkong. Komoditas produk hortikultura yang dilepas ekspornya oleh Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaeman adalah buah manggis, melon, kentang, ubi, buncis, selada air, dan berbagai jenis sayuran hijau lainnya, langsung dari Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung.
“Produk domestik bruto (PDB) dari sektor pertanian pada 2014 hanya Rp 900 trilyun, tetapi sekarang mencapai 1400 trilyun,” kata Amran saat melepas ekspor di PT Alamanda, Jalan Raya Banjaran, Kabupaten Bandung, Jumat (4/1/2019) (jabar.tribunnews.com, 04/01/19)
Lebih lanjut ditambahkan Amran bahwa ekspor produk hortikultura ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani di Indonesia, sehingga seluruh komoditas hortikultura dapat diekspor dan menekan angka impor. “Kami tidak ingin nasib petani dipermainkan,” katanya.
Tentu keberhasilan ini kita sambut dengan baik. Namun benarkah kita harus berbangga diri dengan keberhasilan ini, apalagi menganggapnya sebagai sebuah prestasi, sementara di sisi lain masih banyak balita yang menderita stunting. Di Kabupaten Bandung saja berdasarkan data Kementerian Kesehatan stunting masih tersebar di 10 desa dan 8 kecamatan dengan persentase angka sekitar 7 persen. Meski diklaim oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung masih dalam batas normal, akan tetapi ini menunjukkan tidak semua warga negara dalam hal ini anak-anak mendapatkan haknya untuk tumbuh berkembang secara normal dengan memperoleh gizi yang cukup. (jabar.tribunnews.com, 27/11/18).
Apa yang salah? Bukankah seharusnya ketika sebuah negara berhasil mengekspor produk dalam negerinya berarti memang ketersediaaannya di dalam negeri lebih dari cukup? Hal ini berarti rakyat bisa dengan mudah mendapatkan produk tersebut, termasuk dalam hal ini produk-produk pertanian seperti dari pajele (padi, jagung, kedele) dan hortikultura.
Inilah sesungguhnya masalah yang dihadapi negara-negara penganut sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi kapitalisme tidak pernah sekalipun menjadikan tercukupinya kebutuhan primer warga negara seperti pangan, papan, dan sandang sebagai misi utama mereka. Sebab dalam pandangan kapitalisme asal produk-produk tersebut tersedia di pasar sudah cukup. Persoalan apakah rakyat bisa dengan mudah mendapatkan akses kepada sumber kebutuhan primernya dan sanggup memenuhi kebutuhan tersebut bukan lagi urusan negara. Karena memang itulah prinsip dasar ekonomi kapitalisme. Ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional.
Prinsip ini juga nampak dalam segala hal, termasuk dalam pertanian, seperti yang terungkap dari pernyataan Menteri Pertanian di atas. Ini menunjukkan lagi-lagi ketidakmampuan pemerintah menangani berbagai persoalan, dan seolah-olah persoalan pertanian, persoalan kesehatan hanya khusus menjadi masalah departemen yang bersangkutan. Tidakkah kondisi ini membuat kita haqqul yakin bahwa rezim yang berkuasa saat ini telah terbukti gagal dan sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengurus urusan rakyat. Yang ada justru lebih berpihak pada pihak luar, baik asing maupun aseng dalam berbagai kebijakannya.
Bertolak belakang dengan pemerintahan yang berlandaskan pada Islam, yang memandang bahwa politik dalam Islam sebagai ri’ayah syu’unil ummah (pengaturan berbagai urusan umat). Sedangkan pihak yang diserahi tanggung jawab untuk menangani dan menyelesaikan berbagai persoalan tersebut adalah negara, yang dalam terminologi Islam disebut Khilafah. Dalam hal persoalan-persoalan yang terkait pertanian, seperti semakin berkurangnya lahan pertanian, susahnya mendapatkan bibit dan pupuk, atau pun kesejahteraan petani , misalnya, ini tentu saja persoalan yang harus diselesaikan dengan sudut pandang Islam dan bagaimana sesungguhnya politik pertanian dalam Islam.
Politik pertanian dalam Islam pada dasarnya dijalankan untuk meningkatkan produksi pertanian. Untuk itu, biasanya menempuh dua jalan, yaitu intensifikasi dan ekstemsifikasi. Ada juga persoalan cabangnya yang datang setelah peningkatan produksi pertanian, yaitu terkait kualitas produksi. Itu semua harus bersamaan dengan melakukan revolusi industri agar negara menjadi negara yang ,andiri dalam segala aspek sehingga dengan kekuatan ekonominya mampu leading di tengah kancah perpolitikan dunia.
Abdurrahman al Maliki dalam dalam buku Politik Ekonomi Islam, menyebutkan semua politik pertanian harus bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam tiga perkara, yaitu: Pertama: Meningkatkan produksi bahan pangan, mengingat bahan makanan sangat diperlukan untuk memberi makan penduduk yang terus bertambah, menjauhkan bahaya kelaparan, serta mampu menghadapi embargo ekonomi akibat jihad. Kedua: Meningkatkan produksi bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pakaian seperti kapas, wool, pohon rami, dan sutra. Sebab bahan-bahan ini penting sekali, karena termasuk kebutuhan-kebutuhan primer yang tidak mungkin manusia tidak mebutuhkannya dan harus tersedia dalam suatu negara, sehingga tidak perlu mengimpor dari luar negeri. Ketiga: Meningkatkan produksi komoditi yang memiliki pasaran luar negeri, baik berupa bahan pangan, seperti biji-bijian, ataupun berupa bahan-bahn sandang, seperti kapas dan sutra, atau yang lainnya seperti buah jeruk nipis, kurma, buah-buah kalengan, dsb.
Dengan politik pertanian semacam ini, pertanian negara akan kuat, petani sejahtera, dan warga negara pun tercukupi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sehingga tidak ada lagi kasus-kasus stunting yang mendera balita. Dan ini hanya bisa dicapai oleh negara yang menjadikan Islam sebagai dasar pemikiran dan hukumnya. Negara yang kuat dan mandiri, yang tidak berpihak pada negara-negara asing hanya bisa dilakukan oleh Negara Khilafah Islam yang kelak akan tegak kembali berdasar manhaj kenabian. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Penulis adalah pegiat dakwah di Cileunyi, Bandung
Comment