RADARINDONESISNEWS.COM, JAKARTA – Jagad medsos heboh, dengan postingan salah satu projo- pro jokowi- yang merasa kena prank presiden RI, yang ternyata betul- betul akan menaikkan iuran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan, mulai 1 juli 2020 nanti. Wabah belum berlalu, banyak kisah pilu yang mengharu- biru ketika musim pandemi ini.
Namun, itu tidak membuat hati penguasa negeri ini tergerak berempati. Meski yang akan dinaikkan iuran BPJS dari peserta mandiri kelas I dan kelas II, tetap saja itu menyakitkan rakyat Indonesia.
Anggota DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi Lc, mengatakan, kenaikan iuran BPJS telah melukai hati masyarakat di seluruh Indonesia, termasuk Aceh.
Apalagi kebijakan tersebut dilakukan di tengah wabah pandemi Corona seperti sekarang ini. Hal ini disampaikan Syekh Fadhil, sapaan akrab senator muda asal Aceh itu, kepada Serambinews.com, Minggu (17/5/2020).
Ya, pernyataan senada muncul di mana- mana seiring dengan kebijakan Presiden Jokowi yang mengeluarkan Perpres 64 Tahun 2020, serta memutuskan bahwa iuran BPJS Kesehatan kelas II dan kelas I naik 100 persen. Keputusan tersebut kemudian diumumkan pada 14 Mei 2020 dan membuat semua pihak tersentak, termasuk DPD RI.
Perpres 64 tahun 2020 dinilai mengabaikan Mahkamah Agung (MA) dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Padahal sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan kenaikan BPJS Kesehatan berdasarkan Perpres 75 Tahun 2019 melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020.
Dengan sejumlah alasan, seperti yang disampaikan Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunto Wibawa Dasa , diterbitkannya perpres tersebut sebagai upaya untuk membangun ekosistem program jaminan kesehatan nasional (JKN). Utamanya, kata dia, agar program tersebut tetap berjalan dengan sehat dan berkesinambungan.
Ada juga yang berargumen kenaikan iuran BPJS Kesehatan bertujuan untuk memperluas universal health coverage (UHC) atau cakupan akses terhadap pelayanan kesehatan.
Sedangkan menurut Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Yustinus Prastowo, kenaikan iuran BPJS dikarenakan terjadi defisit anggaran, yang terbesar berasal dari kelompok peserta bukan penerima upah atau PBPU/BU jumlahnya sekitar 35 juta orang.
Kebijakan yang tak Bijak
Kebijakan menaikkan iuran BPJS ini, dinilai banyak pihak tanpa pertimbangan yang matang dan justru melukai hati masyarakat yang sedang berjuang di tengah pandemi ini. Sehingga, menuai beragam respons dari masyarakat, mengingat saat ini pandemi Covid-19 telah menempatkan warga dalam keadaan yang sulit, PHK terjadi di mana-mana, banyak UMKM serta perusahaan terancam bangkrut,dll.
Bahkan, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono turut angkat bicara terkait langkah Presiden Joko Widodo yang bersikukuh menaikkan iuran BPJS.
“Masyarakat sedang membutuhkan fasilitas jaminan kesehatan, sementara pandemi juga menciptakan peningkatan pengangguran dan angka kemiskinan. Masyarakat ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula,” tulis AHY melalui akun Twitter pribadinya, Kamis (14/5/2020).
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, langkah Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung (MA).
Tindakan itu, kata Feri, dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law. “Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab itu sama saja dengan menentang putusan peradilan,” kata Feri kepada Kompas.com, Rabu (13/5/2020).
Selanjutnya dia pun mengingatkan bahwa jika presiden melakukan pengabaian terhadap putusan MA secara sengaja, maka memiliki konsekuensi serius sebagai bentuk pelanggaran konstitusi.
“Untuk tindakan seperti itu presiden bisa diangket atau bahkan impeachment (dimakzulkan),” kata Feri.
Solusi Ala Kapitalis
Klaim pemerintah yang mengatakan BPJS defisit anggaran, yang akhirnya harus menaikkan iuran BPJS, bukanlah solusi. Apalagi dilakukan di tengah pandemi. Itu hanyalah akal- akalan pemerintah yang tidak mau rugi.
Inilah buruknya tata kelola sistem kesehatan di dalam sistem kapitalis, bukannya memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan rakyat, justru rakyat terus dipaksakan dengan iuran –iuran yang seharusnya menjadi tanggungan negara.
Alih- alih mensolusi, justru menimbulkan gejolak baru di masyarakat. Bahkan, yang sebelumnya pro- rezim pun harus menelan ludah akibat prank yang dilakukan pemerintah di tengah wabah.
Solusi tambal sulam khas kapitalis ini, tidak pernah ada cerita berpihak kepada rakyat.
Sistem Kesehatan Islam
Sistem kesehatan Islam dibangun di atas konsep dan landasan yang sahih. Sebagai sistem kehidupan yang sempurna dan paling purna di muka bumi, Islam meletakkan jaminan kesehatan manusia sebagai hak mendasar setiap manusia yang harus dilindungi dalam kondisi apapun, ada wabah atau pun tidak.
Dalam Islam, kesehatan merupakan salah satu kebutuhan vital masyarakat yang pelayanannya dijamin oleh negara.
Sementara itu, manusia berkedudukan begitu mulia.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan dalam Alquran Surah Al Isra: 70, artinya: “Sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia)…”
Sebagai insitusi negara bertanggung jawab sepenuhnya untuk melayani rakyat, Islam tidak akan pernah mengeksploitasi atau menempatkan rakyat sebagai “pasar” untuk barang dan jasa kesehatan.
Pemimpin dalam Islam juga menjamin dan bertanggung jawab sepenuhnya dalam penyediaan fasilitas kesehatan yang memadai, dokter dan tenaga medis yang profesional untuk memberikan layanan maksimal kesehatan. Selain itu, juga membentuk badan-badan riset untuk mengidentifikasi berbagai macam penyakit beserta penangkalnya.
Kita bisa melihat pada jaman keemasan Islam, Bani ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman, obat-obatan dan dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis.
Khalifah Bani Umayyah banyak membangun rumah sakit yang disediakan untuk orang yang terkena lepra dan tuna netra. Khalifah Bani Abbasyiah banyak mendirikan rumah sakit di Bagdad, Kairo, Damaskus dan mempopulerkan rumah sakit keliling.
Pemerintah dalam sistem Islam melalui departemen terkait, mensosialisasikan hidup sehat dan menciptakan lingkungan bersih dan asri juga membudayakan gaya hidup sehat dengan cara membuat aturan-aturan yang menjamin kehalalan dan higienitas makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat, serta bersihnya lingkungan dari polusi.
Model pemerintahan ini menjamin pelayanan kesehatan masyarakat secara gratis, termasuk di dalamnya mendanai berbagai macam riset dan pengembangan kedokteran dan farmasi?
Tentu, kas negara lebih dari mencukupi untuk menjamin pelayanan àkesehatan berkualitas dan gratis bagi setiap individu masyarakat. Pasalnya, negara memiliki pos pendapatan yang berasal dari pengelolaan sumberdaya alam dan harta milik umum, seperti tambang-tambang, kekayaan laut, hutan, dan lain sebagainya, yang digunakan untuk sebesar-besar nya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Pemerintahan islam menerapkan kebijakan larangan privatisasi harta-harta milik umum. Sehingga tidak akan terjadi negara kekurangan dana yang disebabkan privatisasi sumberdaya alam dan harta-harta milik umum.
Ditambah pemasukan dan pendapatan dari sektor-sektor lain. Atas dasar itu, dana negara lebih dari cukup, bahkan berlebih, dalam menjamin kebutuhan-kebutuhan vital masyarakat, di antaranya kesehatan.
Apalagi struktur anggaran pendapatan belanja negara (APBN) juga terbebas hutang berbasis riba dari luar negeri, yang dalam praktiknya amat membebani anggaran negara.
Selain itu, budaya kaum Muslim adalah budaya tolong-menolong dan saling membantu. Budaya ini tentu memudahkan negara Khilafah dalam menciptakan pelayanan kesehatan terbaik bagi setiap individu rakyat.
Hal-hal tersebut hanya bisa diwujudkan dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas paradigma dan aturan terbaik, yakni akidah dan norma Islam. Islam adalah agama terbaik yang Allah SWT turunkan. Allah SWT berfirman: Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS. al-Maidah [5]: 50).
Menurut Imam an-Nasafi dalam kitab tafsirnya, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta‘wîl, maknanya, “Sungguh tidak ada hukum yang paling adil dan baik dibandingkan dengan hukum Allah.”
Rakyat negeri ini hanya akan mendapatkan pelayanan terbaik ketika urusan mereka diatur dengan aturan Islam. Norma norma Islam hanya bisa diterapkan secara kâffah dalam sistem pemerintahan yang tegak di atas akidah Islam. Bukan demokrasi-sekuler. Wallahua’lam.[]
Comment