Oleh: Lussy Deshanti Wulandari, Pemerhati Umat
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Kasus gangguan ginjal akut (GGA) misterius menjadi perhatian semua pihak akhir-akhir ini. Kementerian Kesehatan telah mengkonfirmasi sebanyak 269 kasus. Dari angka tersebut, sebanyak 157 anak meninggal dunia. Ini berarti lebih dari 50% anak dari jumlah tersebut meregang nyawa akibat GGA.
Menyikapi kasus ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kebijakan terkait penanganan kasus GGA misterius pada anak yang terjadi beberapa wilayah di Indonesia. Dalam penjelasannya, Presiden memerintahkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI untuk menyiapkan fasilitas kesehatan untuk menangani kasus ini.
Kebijakan tersebut seperti ditulis detikhealth (24/10/2022), di antaranya pengadaan obat-obatan yang dapat mengatasi GGA, pengobatan gratis bagi pasien yang dirawat, menyetop sementara penggunaan obat yang diduga mengandung cemaran yang memicu GGA, meminta BPOM untuk menarik dan menghentikan peredaran obat sirup yang terbukti mengandung cemaran, dan transparansi dengan jelas kepada publik mengenai produk yang terbukti mengandung cemaran.
Perlu Perhatian Serius
Kasus GGA pada anak ini memang seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hingga saat ini, kasus masih bertambah dan diiringi juga dengan bertambahnya kasus kematian. Ada beberapa hal yang perlu ditelusuri dan diperhatikan terkait kasus ini.
Pertama, salah satu faktor penyebab lonjakan kasus GGA pada balita karena diduga adanya cemaran zat berbahaya pada obat sirup anak yang melewati ambang batas. Cemaran tersebut adalah etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Zat berbahaya ini mencemari pelarut obat sirup yang umumnya dipakai seperti propilen glikol dan gliserol. Mengapa bisa demikian?
Menurut Associate Professor sekaligus Pakar Bioteknologi Universiti Putra Malaysia, Bimo Ario Tejo PhD mengatakan kasus pencemaran EG dan DEG bukan pertama kali terjadi. Sejak 1937, kasus ini sudah terjadi 16 kali. Penyebabnya ada dua. Pertama, pemalsuan kandungan bahan kimia dengan menggunakan bahan yang lebih murah karena alasan profit. Kedua, pengawasan yang lemah terhadap bahan baku dan proses pembuatan obat (Schier et al, 2009).
Setelah Maret 2021, harga pelarut propilen glikol dan gliserol mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Ini karena adanya kelangkaan bahan baku serta tingginya permintaan dari sektor farmasi akibat ledakan Covid-19. Kenaikan tersebut diperkirakan menjadi sebab beredarnya bahan kimia alternatif yang lebih murah, tetapi berkualitas buruk dan berbahaya.
Wajar saja hal ini terjadi dalam iklim dan sistem kapitalisme seperti saat ini. Ada saja oknum pengedar dan produsen obat “nakal” yang lebih mementingkan keuntungan namun minim perhatian terhadap keamanan produknya.
Padahal, seharusnya produsen farmasi memiliki kontrol kualitas obat yang diproduksinya dengan ketat. Mematuhi standar keamanan obat dengan memilih bahan baku yang benar-benar aman, tak mudah tercemar zat berbahaya dan juga memperhatikan kehalalan bahan bakunya.
Kedua, lonjakan kasus GGA yang menelan ratusan korban menunjukkan fakta lemahnya pengawasan terhadap bahan baku dan proses pembuatan obat. Di Indonesia, badan yang bertugas mengawasi adalah BPOM.
Izin edar obat ada pada tangan badan tersebut. Seharusnya BPOM benar-benar teliti dan melakukan pengecekan kembali sampel obat yang akan dijual dan diedarkan ke masyarakat, sehingga dinyatakan benar-benar aman.
Namun, selama ini pengawasan terhadap kadar pencemar di produk jadi itu tidak menjadi ketentuan dalam standar pengawasan di BPOM. Hal ini diakui oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya BPOM mengevaluasi dan mengubah sistem pengawasan produk. Sangat penting bagi BPOM memperkuat pengawasan dan pengecekan produk farmasi dari sisi bahan baku, zat pencemar, termasuk kehalalan bahan bakunya. Ini dilakukan sebelum dipasarkan (pramarket) maupun setelahnya (postmarket).
Ketiga, pemerintah harus turun tangan mengontrol penetapan standarisasi, keamanan dan kehalalan produk obat. Termasuk tanggung jawab negara ialah memberikan sanksi bagi produsen dan penyuplai yang tidak mematuhi standar farmasi yang ditetapkan.
Menurut Kepala BPOM, selama ini masih ada produsen yang melakukan perubahan komposisi dan penyuplai bahan baku tanpa izin. Seyogianya pemerintah tegas menindak dan tidak bersikap lemah terhadap produsen dan penyuplai ‘nakal’ ini.
Keempat, sudah sepatutnya pemerintah tanggap terhadap persoalan GGA ini. Kaji kembali kasus tersebut untuk ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Agar pemerintah bisa segera bertindak dengan cepat mengingat korban anak terus berjatuhan akibat GGA.
Penanganan terhadap penderita GGA ini harus serius, optimal dan maksimal. Sudah seharusnya pasien digratiskan dan dimudahkan dalam penanganannya. Sebab, hal itu merupakan tanggung jawab negara untuk mengutamakan keselamatan nyawa warga. Pertimbangan ekonomi janganlah dijadikan alasan.
Kelima, seharusnya pemerintah lebih antisipatif, tidak hanya bertindak ketika kasus sudah melonjak. Padahal setiap bulannya, kasus ini selalu ada meski hanya 1-2 kasus saja seperti yang disampaikan Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. M Syahril.
Namun sayangnya, kasus GGA baru menjadi perhatian pemerintah setelah terjadi lonjakan pada bulan Agustus dengan jumlah kasus lebih dari 35 kasus. Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah menjaga kesehatan warganya.
Islam Menjaga Keselamatan Jiwa
Kasus GGA telah mengancam ratusan jiwa anak. Padahal, keselamatan jiwa adalah satu hal yang sangat penting. Bahkan dalam Islam, hal itu termasuk salah satu maqashid asy-syari’ah (tujuan syariah) adalah hifzh an-nafs, yakni menjaga jiwa.
Islam mengajarkan bahwa nyawa manusia sangat berharga dan tidak boleh disia-siakan. Keselamatannya harus diutamakan. Terkait dengan nyawa, Rasulullah saw. pernah bersabda,
“Hancurnya dunia itu lebih ringan bagi Allah dibandingkan dengan terbunuhnya seorang Mukmin tanpa hak” (HR. An-Nasa’i dan Tirmidzi).
Oleh karena itu, negara wajib menjaga dan memperhatikan keselamatan hidup warganya termasuk anak-anak. Sebab, itu merupakan tanggung jawabnya sebagai junnah (perisai/pelindung) bagi warganya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain yang mengatakan:
”Sesungguhnya imam (khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.”. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Comment