Oleh: Novita Darmawan Dewi, Mahasiswa Prodi Manajemen, Universitas Terbuka
___________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Geng motor makin meresahkan. Seorang pemuda diduga anggota geng motor di Kabupaten Bandung berinisial T (23), tidak berkutik saat digelandang ke kantor polisi.
Polisi berhasil mengamankan tersangka lantaran terlibat penganiayaan pembacokan hingga menewaskan korban F (15) di Desa Rancakasumba, Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Kapolresta Bandung Kombes Pol. Kusworo Wibowo seperti ditulis harapanrakyat.com (2/2/2023) mengatakan, kejadian penganiayaan yang menewaskan F itu terjadi pada Jumat (3/2/2023) sekitar pukul 23.30 WIB di Kampung Ranca Beureum, Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung.
Mengapa fenomena geng motor ini kian marak?
Fenomena geng motor hadir di tengah corak kehidupan sekuler liberal yang menjauhkan agama dari kehidupan manusia. Walhasil, manusia bertingkah laku berdasarkan nafsunya semata.
Liberalisme merupakan konsekuensi logis dari kehidupan sekuler yang membebaskan tingkah laku manusia dari aturan dan norma yang bersumber dari tatanan masyarat dan religius. Manusia, dalam konteks sekuler liberal ini dianggap mampu menyelesaikan seluruh urusan tanpa bantuan Sang Pencipta. Padahal, akal manusia lemah dan terbatas yang jika dibiarkan tanpa bimbingan wahyu akan mengantarkan pada kerusakan. Inilah pangkal malapetaka umat manusia saat ini.
Dari sistem kehidupan sekuler liberal, setidaknya lahir tiga faktor pemicu terjadinya fenomena geng motor.
Pertama, faktor keluarga yang absen dari pengasuhan.
Akibat agama dijauhkan dari kehidupan, ayah dan ibu membangun keluarga tidak berlandaskan iman dan takwa. Banyak dari ayah-ibu yang tidak memahami bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga. Mereka dengan mudahnya menyerahkan pengasuhan pada pihak lain dengan alasan sibuk bekerja. Gaya hidup sekuler liberal lebih mendahukukan hal – hal materi jangka pendek (duniawi) dan menihilkan urusan jangka panjang (ukhrawi).
Akhirnya, terkooptasi dengan konsep yang keliru itu – orang tua hanya mengandalkan sekolah dalam mendidik putra-putri mereka karena kesibukan dengan urusan dunia. Padahal, anak sangat membutuhkan kehadiran kedua orang tuanya sebagai sandaran dan teladan. Alih-alih menjadi teladan, orang tua malah menjadi contoh buruk, bahkan tak jarang justru menjelma menjadi predator bagi anak mereka.
Lihatlah kasus ayah memerkosa anak kandungnya, juga sosok ibu yang malah menjadi mucikari bagi anak-anak mereka. Kadang, orang tua yang dalam pengaruh sekuler liberal ITU menganggap anak sebagai beban yang menyusahkan sehingga keluarlah ujaran diikuti sikap buruk orang tua kepada anak-anak mereka.
Hal ini sangat berpengaruh dalam pola asuh keluarga sehingga anak-anak pun menjadi bebal dan keras hatinya, haus akan kasih sayang dan merasa tidak diakui keberadaannya. Kondisi ini mendorong tumbuh suburnya perilaku dan kenakalan remaja. Bagi anak laki-laki, tentu kondisi pengasuhan model ini akan membentuk karakter manusia beringas yang tega menganiaya sesama.
Kedua, faktor sekolah dalam sistem pendidikan sekuler
Sekolah yang menjadi andalan utama para orang tua, nyatanya memiliki segudang persoalan yang lahir dari buruknya sistem pendidikan sekuler. Pendidikan hari ini berada jauh dari nilai-nilai agama. Bukan dengan spirit religius, generasi justru dijejali dengan akidah liberal yang membebaskan perilaku manusia.
Mereka, anak anak – kemudian tidak bisa membedakan mana perilaku yang benar dan yang salah, ini karena gagasan liberal membebaskan mereka untuk berbuat sesuka mereka dan mengejar apa pun yang mereka mau.
Ajaran “kebebasan yang bertanggung jawab” hanya menjadi slogan basi yang saling kontradiktif.
Sistem pendidikan sekuler yang mendewakan kebebasan ini makin menyingkirkan peran agama dalam kehidupan. Lihat saja, atas nama toleransi, seragam muslimah dipersoalkan, rohis dituduh sebagai tempat lahirnya bibit-bibit radikalis, bahkan buku ajar yang menerangkan wajibnya Khilafah malah diberangus.
Bukankah ini semua memperlihatkan adanya islamofobia di sekolah? Jika ajaran agama sudah dimonsterisasi dan kebebasan perilaku dijunjung tinggi, maka akan menyuburkan kenakalan remaja, termasuk munculnya geng motor.
Ketiga, faktor negara
Keberadaan geng motor bukan baru terjadi tahun ini. Hilangnya nyawa manusia akibat perilaku biadab geng motor ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lampau. Namun, mengapa keberadaan mereka masih ada dan kian meresahkan masyarakat?
Salah satunya adalah karena sanksi yang diberikan tidaklah menjerakan. Misalnya, seperti baru-baru ini, ada aksi ketua geng motor di Bandung yang menebas leher seorang remaja hingga tewas di tempat. Pelaku seperti dikutip muslimahnews.net, dijerat dengan Pasal 338 dan 80 KUHP dan ancaman hukuman berkisar hanya sekitar 10 tahun penjara. Padahal, pelaku sudah menghilangkan nyawa. Atas nama HAM, qishosh tidak bisa diberlakukan.
Belum lagi hukum yang tumpul pada pemilik kekuasaan dan oknum aparat yang kerap bekerja untuk pejabat, menjadikan keadilan menempati ruang kosong dan menjadi mimpi di siang bolong.
Selain gagal menghadirkan rasa aman, sekulerisme liberal juga gagal menjaga generasi dari buruknya berbagai tayangan di media. Lembaga dan atau instansi terkait seolah bertekuk lutut di bawah kaki korporasi media dalam dan luar negeri yang acapkali menayangkan visual sampah dan mempropagandakan kebebasan berperilaku.
Dengan kondisi keluarga dan pendidikan yang menjauhi nilai nilai religius, generasi abad milenial ini mudah sekali terpapar pornografi dan tayangan kekerasan. Ini pulalah yang turut menyuburkan tindakan kriminal. Wallahu a’lam.[]
Comment