Oleh: Efinda Putri Normasari Susanto, S.Si., M.Sc.
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Beberapa waktu terakhir, Jakarta dan jagad medsos dihebohkan dengan adanya fenomena remaja-remaja SCBD (Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok) yang sering nongkrong di Dukuh Atas, Sudirman, Jakarta Pusat. Gaya pakaian yang eksentrik nan kekinian jadi ciri khas tampilannya, mereka juga ingin tampil fashionable, trendi dan juga modis bak karyawan SCBD (Sudirman Central Businesses District) yang memang sudah terkenal dengan gaya pakaiannya yang demikian.
Kemunculan mereka berhasil mencuri perhatian masyarakat, di antara beberapa remaja berusia belasan tahun ini pun memperoleh popularitas yang tinggi, bahkan kini dikenal sebagai “penguasa” SCBD. Salah satunya adalah Roy, yang ditawari tawaran beasiswa kuliah dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, namun ia menolak tawaran pendidikan itu. Kabar penolakan ini pun membuat publik sampai heboh.
Jika ditilik lebih mendalam, sebenarnya fenomena semacam Roy ini tidaklah sulit untuk ditemui pada pemuda-pemuda lainnya, kebanyakan mereka lebih suka ngonten daripada sekolah. Menyoal hal ini sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun telah memberikan analisisnya. Seperti dikutip Republika.co.id (Rabu, 13/7/2022) dia mengatakan, setidaknya ada tiga faktor penyebab adanya fenomena semacam Roy ini.
Pertama, secara sosiologis melalui proses habituasi, sebagian generasi Z mulai meyakini bahwa ijazah tidak penting. Hal ijazah dan gelar tidak menjamin kompetensi seseorang, tidak menjamin kesiapan bekerja atau pun menciptakan lapangan pekerjaan. Formalisme pendidikan dianggap cukup sulit sehingga cukup banyak pemuda tidak berminat untuk kuliah.
Kedua, remaja saat ini hidup dalam era digital dengan slogan No Gadget No Life. Ini membuat mereka memahami betul menjadi konten kreator di media sosial akan menghasilkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhannya.
Ketiga, beberapa pemuda merupakan bagian dari masyarakat yang terdampak dari kondisi ekonomi buruk. Ini menjadikan banyak pemuda ingin bekerja yang cepat menghasilkan uang.
Hal ini dibenarkan salah satu acara podcast youtuber Indonesia, dia menolak beasiswa dan memilih ngonten saja karena ingin segera mendapat uang banyak untuk membantu keluarganya.
Salah Arah Tujuan Pendidikan Ala Kapitalisme
Kenapa bisa muncul fenomena semacam Roy ini? Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peradaban yang menghegemoni saat ini dan kapitalisme adalah sumber pokok permasalahannya.
Kapitalisme selalu menghubungkan pendidikan dengan produktivitas secara ekonomi dan kesuksesan materi. Seseorang dikatakan sukses dalam pendidikannya, jika setelah dia lulus maka mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafide dengan gaji besar. Bahkan disadari atau tidak, pengaruh pemahaman kapitalisme ini pun sepertinya sudah mandarah daging sejak lama. Tak jarang kita mendengar dari orang tua kita, “Sekolahlah tinggi-tinggi, supaya mudah dapat kerja nanti.”. Ini sebuah pesan pendidikan yang berorientasi ekonomi yang sangat kapitalistik.
Kapitalisme ini pun berada pada sebuah persimpangan yang membingungkan dan menjadi boomerang bagi kapitalisme itu sendiri.
“Kalo gak sekolah tinggi-tinggi aja bisa dapet uang, kenapa harus capek-capek sekolah?”
Ungkapan ini menjadi sebuah paradoks pendidikan ala kapitalisme yang lahir oleh pemikiran kapitalistik.
Pendidikan yang diabaikan akan mengancam keberlangsungan peradaban ini karena kualitas generasi terus terdegradasi sehingga akan berdampak pada minimnya SDM untuk sektor vital negara.
Dalam kapitalisme pendidikan sama-sama dipandang strategis sehingga dijadikan salah satu komoditas pasar namun juga sekaligus dipandang sebagai kebutuhan masyarakat.
Hanya saja, karena dasar pemikirannya adalah liberal, maka akses terhadap pendidikan diserahkan kepada mekanisme pasar.
Masyarakat dengan sumberdaya ekonomi kuat dapat mengakses pendidikan yang kualitasnya dipandang baik, sedangkan masyarakat dengan tingkat sumberdaya ekonomi biasa bahkan rendah akan mendapat fasilitas sesuai ‘kelas’nya.
Meskipun sebagai bagian dari solusi juga ada beasiswa atau instrumen-istrumen lain yang mengakomodir siswa/mahasiswa dari kalangan menengah bawah untuk mengakses pendidikan dengan kualitas baik. Demikianlah, wajah pendidikan ala kapitalistik yang penuh polemik.
Fenomena ABG yang berpikir seperti Roy ini seharusnya menjadi pengingat bahwa capaian pendidikan terlalu rendah jika hanya diukur dengan nilai materi. Pendidikan itu membentuk cara berpikir, bagaimana menghadapi dan mengatasi masalah baik persoalan pribadi maupun masyarakat, termasuk bagaimana mengelola sumberdaya yang terhampar di muka bumi.
Arah Pendidikan Islam
Seharusnya, negara aware dengan kondisi ini. Tren minat masyarakat yang semakin mengarah kepada hal “receh” akan berakibat pada minimnya SDM untuk mengisi sektor vital negara.
Sistem pendidikan Islam dibangun berdasarkan wahyu, artinya berdasarkan akidah dan syari’at Islam. Pendidikan ditujukan untuk mewujudkan manusia berkepribadian Islam di samping membekali manusia dengan ilmu dan pengetahuan berkaitan dengan kehidupan.
Selain itu, pendidikan seharusnya menjadi proses merefleksikan dan menemukan kebenaran serta memperkuat karakter seseorang bukan sebagai komoditas pasar yang bisa diperjualbelikan dan sulit diakses oleh semua kalangan.
Dalam Islam, ilmu diberi kedudukan sebagai saudara kembarnya iman. Para pencari ilmu diberi kedudukan utama. Pendidikan diwajibkan bagi setiap muslim dan seluruh warga negaranya. Kemudian, tanggung jawab penyelenggaraannya diamanahkan kepada negara. Negara bertanggung jawab penuh melayani dan memastikan kebutuhan rakyat memperoleh pendidikan terbaik bisa terpenuhi.
Negara wajib menyediakannya untuk seluruh warga dengan cuma-cuma. Kesempatan pendidikan tinggi secara cuma-cuma dibuka seluas mungkin dengan fasilitas terbaik. Hal ini karena Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer bagi masyarakat.
Dengan politik ekonomi Islam, pendidikan berkualitas dan bebas biaya bisa terealisasikan secara menyeluruh. Negara menjamin tercegahnya pendidikan sebagai bisnis atau komoditas ekonomi sebagaimana realita dalam sistem kapitalis saat ini.
Negara menjamin SDA milik umum tidak akan pernah jatuh pada individua atau korporasi, melainkan dikelola oleh negara dan dimanfaatkan sebesa-besarnya untuk menjamin kebutuhan umat.Wallahu a’lam.[]
Comment