Gen Z dan Fenomena Mental Health dari Perspektif Islam

Opini319 Views

 

Penulis: Novita Darmawan Dewi | Mahasiswi Jurusan Manajemen, Universitas Terbuka

 

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Fenomena kemunculan Generasi Z atau Gen Z, yang lahir antara tahun 1997 – 2012, akhir-akhir ini kerap menjadi sorotan karena mereka lebih rentan terhadap masalah mental ketimbang generasi sebelumnya. Apakah benar? Mari kita ulas mengenai masalah kesehatan jiwa atau mental di tengah generasi Z.

Melansir dari mediaindonesia.com, banyak penelitian dan survei menunjukkan bahwa Gen Z mengalami tingkat stres, kecemasan, dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Sementara itu mental health awareness tanpa informasi yang tepat sering berujung pada self-diagnosis oleh remaja masa kini, yakni setiap mereka mengalami kesedihan atau kekecewaan, diartikan sebagai gangguan kesehatan mental. Padahal, untuk mengatakan seseorang memiliki gangguan mental harus melalui penilaian dari ahli.

Tak jarang sedikit-sedikit mental health! Sedih putus cinta, merasa dirinya depresi. Panik menghadapi sidang skripsi, dianggap kejadian traumatis, dll. Akibatnya, saat ini banyak yang latah melakukan kegiatan senang-senang dengan dalih “self-healing”. Inginnya santai saja, yang penting dirinya bahagia demi menjaga kesehatan jiwa. Jika fenomena ini dibiarkan, self-healing dapat menjadikan remaja Indonesia  selfish.

Seperti inilah hidup di era kapitalisme, semakin lama semakin menjadikan kita menjadi egois. Lalu bagaimana Islam memberi solusi dari fenomena mental health ini?

Latah Self-Diagnosis Akibat Mental Health Awareness

Mental health awareness tanpa informasi yang tepat sering berujung pada self-diagnosis oleh remaja masa kini. Padahal, tujuan dari mental health awareness ini sangat baik. WHO (World Health Organization) dalam situsnya menyatakan bahwa selama ini orang yang memiliki gangguan kesehatan mental sering mendapat stigma sehingga malu mencari pertolongan dokter, sampai akhirnya berujung pada penurunan kualitas hidup atau bahkan bunuh diri.

Seiring adanya peningkatan kesadaran, remaja jadi latah mendiagnosis dirinya sendiri dengan gangguan mental. Ini terjadi akibat informasi dari medsos yang referensinya tidak jelas. Akibatnya, setiap kali merasa sedih atau khawatir, muncul anggapan, “Lama-lama bisa depresi gue kalau begini terus,” atau “Gue overthinking banget, deh, kayaknya gue punya ansietas.”

Inilah pernyataan-pernyataan yang sebenarnya menunjukkan kalau itu sudah self-diagnosis atau mendiagnosis diri sendiri. Padahal, menentukan seseorang punya gangguan mental tidak sesimpel itu.

Ada yang namanya kriteria diagnosis yang harus dipenuhi. Seorang dokter spesialis kedokteran jiwa, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ. menuliskan bahwa banyak orang yang belum tahu kalau depresi itu bukan sekadar perasaan sedih, seakan depresi adalah sinonim dari perasaan sedih atau murung, padahal bukan. Depresi adalah gangguan medik yang gejalanya kompleks.

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa untuk mengatakan seseorang atau diri sendiri memiliki gangguan mental (contohnya depresi) perlu validasi ahli, dalam hal ini dokter spesialis kejiwaan atau bisa juga seorang psikolog.

Sikap selfish yang ada pada remaja zaman sekarang dengan adanya mental health awareness ini ibarat jamur diguyur hujan, malah semakin subur. Sebelum ramai bahasan mental health saja, kapitalisme sudah bikin pemikiran remaja masuk ke mode individualisme ‘yang penting gue bahagia, enggak mikirin orang lain’.

Cara Islam Menjaga Mental Health

Merasa sedih dan khawatir adalah suatu hal yang lumrah karena terkait dengan fitrah manusia, yaitu gharizah (naluri). Namun, perlu dipahami bahwa pemenuhan naluri tadi harus tetap sesuai syariat. Gawatnya, sistem kapitalisme yang saat ini sudah meracuni pemikiran remaja menjadikan pemenuhan rasa bahagia ini sebagai tujuan utama kehidupan. Sampai-sampai membuat kita lupa sama urusan umat dan kewajiban lainnya.

Perlu diingat bahwa remaja muslim juga memiliki banyak kewajiban dalam upaya membangun peradaban. Remaja memiliki potensi yang sangat besar untuk menggerakkan peradaban, salah satunya lewat pendidikan. Jadi, contoh bahwa skripsi yang tadi di awal banyak bikin remaja stres dan traumatis, sesungguhnya adalah kewajiban yang harus kita tunaikan sebagai syarat mendapatkan gelar pendidikan. Kita jangan larut dengan tantangan itu, tetapi harus pakai “rumus jitu” seperti tertuang di dalam QS Muhammad ayat 7:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”

Jadi, jika kita punya banyak masalah kehidupan, cara cepat dapat pertolongan Allah itu bukan dengan fokus ke masalah kita. Kita alihkan fokus kita ke urusan umat, kita bantu lewat dakwah dan segala kemampuan, maka Allah akan mudahkan urusan kita dan meneguhkan kedudukan kita. Tapi dengan syarat kita tetap melakukan ikhtiar dan jangan mudah menyerah.

Butuh Islam yang dapat menjaga kewarasan mental umat dengan tetap menyejahterakan kehidupan. Sebab, dari sini kita sudah sama-sama lihat kalau kapitalisme itu hanya bikin kita makin selfish yang justru bisa menjauhkan kita dari pertolongan Allah. Maka, pahami agama dan banggalah berislam kafah. Wallahu a’lam.[]

Comment