RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Memasuki episode baru lanjutan dari kasus Novel Baswedan kini, pelaku dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
Jaksa sebagaimana dilansir laman detik.com menuntut dua penyerang Novel Baswedan dengan hukuman pidana selama 1 tahun penjara.
Tuntutan ini jelas dinilai sangat ringan karena tidak sesuai dengan tindak kejahatan yang mengakibatkan salah satu panca indera Novel Baswedan dengan resiko cacat permanen.
Jaksa mengklaim keringanan itu diberikan karena pelaku tidak berniat melakupl kan perbuatan seberat itu dan sudah meminta maaf.
Dwngan tuntutan yang sangat ringan tersebut muncul komentar dari kalangan masyarakat.
Liputan6.com, menulis, tuntutan satu tahun terhadap penyerang penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, mendapat perhatian publik termasuk Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI).
Selain itu, Rocky Gerung, salah seorang pengamat politik dan ahli filsafat dalam laman vivanews.com mengibaratkan air keras yang digunakan pelaku saat menyiramkan ke mata penyidik KPK Novel Baswedan adalah air keras kekuasaan. Untuk itu, ia meminta agar mata publik tidak buta dengan proses peradilan.
Terjadi kasus yang sama yaitu tindak penyiraman dengan air keras bahkan, mereka (para pelaku) diberi sanksi 10 tahun penjara.
Kasus yang sama tuntutan yang berbeda. Aneh tapi nyata. Terlebih, posisi Novel Baswedan adalah pejabat negara, penyidik senior KPK yang bekerja demi negara. Maka wajar bila banyak pihak mengkritik tuntutan ringan oleh Jaksa kepada pelaku kejahatan yang telah mengakibatkankan cedera dan cacat permanen terhadap penglihatannya.
Novel Baswedan mengaku pasrah terhadap kasusnya. Bahkan ia sempat mengatakan di akun Twitter-nya agar pelaku penyiraman air keras terhadap dirinya dibebaskan. Ia tidak yakin bahwa RBdan RK adalah sebagai pelaku penyiraman air keras ke wajahnya pada 2017 silam.
Sungguh keadilan hukum terhadap kasus Novel Baswedan sangat timpang dan tidak memenuhi syarat tegaknya keadilan di negeri yang sangat menjunjung tinggi sebagai negara hukum.
Kasus Novel ini bagai drama panjang.
Berbagai alasan bermunculan mulai dengan pernyataan “tidak sengaja” Dari pelaku yang menurut para pakar hukum ini tak bisa dibenarkan karena tindak kejahatan ini dilakukan pada pejabat negara yang pada saat itu sedang menjalankan tugasnya dalam rangka pemberantasan korupsi.
Penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan yang merupakan bagian utama dari tubuh manusia. Ini sangat tidak tepat dikatakan sebagai perbuatan yang tidak disengaja.
Sungguh pilu nasib Novel Baswedan. Sudahlah menjadi korban, malah tersudutkan dengan pledoi pelaku. Belum cukup luka tuntutan yang begitu ringan, pernyataan tim pengacara menuding kebutaan permanen mata Novel karena kesalahan penanganan medis. Sangat ironis.
Bila mencermati kembali pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kasus Novel dapat dikategorikan dan terbukti sebagai penganiayaan berat hingga menimbulkan kebutaan. Adilkah pelaku kejahatan semacam ini hanya diganjar setahun? Sebuah tuntutan penahanan yang sangat ringan.
Ada pula yang dengan tega mengatakan, kasus Novel itu sebagai tindak pidana kecil.
Membuat cacat penglihatan seseorang hingga cacat permanen itu tidak tepat dikatakan sebagai kasus tindak pidana kecil. Bagaimana bila hal itu menimpa keluarganya?
Keadilan menjadi semrawut karena masih ada yang menganggap kasus Novel itu kecil dan terlalu dibesar-besarkan.
Menurut Ibnu Khaldun (sosiolog islam), adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Maksudnya memenuhi hak-hak orang yang berhak dan melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam masyarakat.
Kasus Novel merupakan kisah nyata ketidakadilan hukum yang terjadi di negeri penganut demokrasi. Rekam jejak ketidakadilan hukum bisa dengan mudah kita temukan dalam jejak digital para penegak huku dalam memandang persoalan hukum.
Bila ini terus terjadi maka sudah dipastikan akan menurunkan kredibilitas para penegak hukum di mata publik baik nasional maupun dunia Internasional. Lembaga penegak hukum itu dinilai tebang pilih dalam penegakan hukum seseorang. Hukum yang ada tajam kebawah dan tumpul ke atas disesuaikan dengan kepentingan dan kekuatan.
Beginikah keadilan dalam demokrasi? Hukum hanya dijadikan sebagai alat pukul bagi kekuasaan. Menggunakan hukum sebagai alat adalah hal biasa dalam negara demokrasi. Mencari dan berharap keadilan dalam rezim demokrasi hanya ilusi.
Kasus ini menyempurnakan bukti bahwa semua aspek kekuasaan demokrasi baik legislatif, eksekutif dan yudikatif telah menunjukkan kegagalannya memberantas tuntas korupsi demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Kasus Novel menunjukan pada kita betapa buruknya penerapan prinsip keadilan dalam demokrasi. Sudahlah KUHP-nya warisan Belanda, hukumnya juga buatan manusia. Lemah dan terbatas.
Hukum buatan manusia juga membuka peluang sekehendak hawa nafsunya dan sesuai kepentingan. Pada akhirnya nilai keadilan yang hak tak mampu diraih. Adil menurut siapa? Tergantung yang menilai dan siapa yang berkepentingan.
Berbeda dengan keadilan dalam islam.
Islam tidak memakai kacamata manusia, melainkan penilaian Allah SWT sebagai pembuat hukum. Ketika hukum Allah yang diterapkan, maka akan jauh dari politik kepentingan. Manusia hanya pelaksana hukum Allah. Tidak ada dan tidak akan ditemukan sikap tebang pilih dalam pelaksanaan hukum untuk menegakan keadilan.
Kerusakan salah satu organ tubuh manusia dalam Islam dikategorikan sebagai tindak pidana dengan sanksi jinayat. Penyerangan terhadap Novel Baswedan hingga hilang penglihatan termasuk dalam jinayat yang mewajibkan diyat sesuai kadar yang ditetapkan syariat Islam.
Untuk satu biji mata dikenakan ½ diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw., “Pada dua biji mata dikenakan diyat.”
Dalam riwayat Imam Malik dalam Muwattha’, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Pada satu biji mata, diyat-nya 50 ekor unta.”
Sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir, mencegah orang-orang berbuat kriminal dan dosa, lalu sebagai jawabir, penebus dosa atas dosa dan siksaannya di akhirat kelak.
Dua fungsi ini membuktikan betapa Islam begitu menghargai dan menjaga nyawa, jiwa, anggota badan, harta, rasa aman, dan keadilan.
Begitulah prinsip keadilan dan penegakan hukum dalam Islam. Penerapan Islam secara normatif justeru akan menghilangkan kezaliman. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kafah, keadilan itu akan bisa dirasakan seluruh umat manusia.[]
*Ibu Rumah Tangga
Comment