RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Sejak arus Reformasi bergulir sampai hari ini, sudah tidak terhitung jumlahnya berbagai kasus penistaan terhadap Agama Islam dan pelecehan terhadap para Ulama.
Demikian ujar DR. KH. Tubagus Abdurrahman Al-Bantany, M.A melalui hubungan whatsapp, Selasa (28/7/2020).
Kasus yang paling mutakhir menurut Ketua Dewan Pembina Serumpun Kesulthanan Banten ini adalah pelecehan dan penghinaan terhadap foto Ulama Besar, pejuang Agama, dan Negara, yakni Al Habib Muhammad Rizieq Shihab sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia telah diinjak-injak dan dibakar di depan publik pada Senin (27/7/2020).
Siapa yang yang tidak kenal Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai sosok panutan, pejuang Agama, dan negara.
Foto foto HRS banyak dipasang di rumah rumah umat Islam dan kaum muslimin se-Indonesia.
Terhadap peristiwa pembakaran gambar foto HRS oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab itu, Dr. Tubagus Abdurrahman mengatakan bahwa pelaku tidak mendapat sanksi hingga vonis hukum.
“Pertanyaan kita adalah mengapa kasus-kasus penistaan terhadap Agama Islam, dan pelecehan terhadap Ulama dari waktu ke waktu selalu marak seperti tumbuhnya jamur di musim hujan dan tidak pernah naik vonis hukum di pengadilan?” ujarnya.
Dr. Tubagus Abdurrahman, M.A menjelaskan beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi antara lain;
1. Mereka selalu mendapatkan perlindungan dari pemegang kekuasaan.
2. Mereka selalu mendapatkan perlindungan dan pengayoman dari aparat penegak hukum Negara.
3. Mereka tidak pernah diproses melalui ranah hukum sehingga tidak menimbulkan efek jera.
4. Gerakan umat pola dan paradigmanya cenderung menggunakan strategi lama yang tidak signifikan.
5. Umat hanya bisa marah, jengkel, kesal dan sumpah serapah, tanpa solusi yang kongkrit.
6. Jumlah aktifis dari berbagai aliansi organisasi sangat besar, tetapi ketika dihadapkan dengan pengeksekusian sangat minus.
7. Jika setiap penista Agama Islam dan pelecehan terhadap Ulama terjadi, kemudian oknum pelaku tersebut dalam waktu singkat atau dalam waktu tertentu hilang, maka itu akan jadi pelajaran yang efektif dalam sebuah pergerakan.
“Padahal Foto itu adalah simbol tertinggi yang sangat dimuliakan dan dihormati.” Tegasnya.
Jadi, tambahnya, apalah artinya kita memasang foto HRS di rumah-rumah kita, jika foto tersebut dilecehkan, diinjak-injak dan dibakar tetapi kita tidak ada perlawanan sama sekali?
“Dengan demikian apakah Umat Islam dan Kaum Muslimin sudah terjangkit apa yang diingatkan oleh baginda Nabi Saw sebagai hubud dunya wakarohiyatul maut (cinta dunia dan takut mati)?” Ucapnya.
Tetapi fakta yang terjadi saat ini lanjutnya, cenderung ramai berwacana, beropini dan berdebat dalam berbagai diksi dan orientasi.
“Ungkapan yang laris adalah kita harus sabar, padahal sabar itu harus dibarengi eksekusi.” tambahnya.
Terhadap sikap umat dan organisasi lslam yang melempem terhadap pelecehan dan penghinaan terhadap Ulama, Dr. Tubagus berujar, “Kita sedang pengalihan issue dan lain-lain, padahal penistaan terhadap agama dan pelecehan terhadap Ulama tidak harus mengikuti atau terjebak oleh issue apapun.”
Kita katanya, sedang dipancing agar kita marah, padahal seharusnya tanpa dipancing oleh apapun yang namanya penistaan dan pelecehan terhadap Ulama harus dibinasakan.
“Kita nunggu intruksi dan nunggu komando dari HRS, padahal instruksi dan komando sudah lama turun tinggal pelaksanaan.” Tegasnya.
Kesimpulan dari semua ini menurutnya adalah bahwa Umat dan rakyat Muslimin Indonesia hanya bisa marah, kesal, jengkel, kecewa dan sumpah serapah.
“Itulah realitas perjuangan Umat Islam saat ini. Hasbunalloh Wa ni’mal Wakil, Ni’mal Maula Wani’man Nashir.” Imbuh KH. Tubagus Abdurrahman, M.A.[GF]
Comment