Penulis: Fitriani | Mahasiswi
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Isu kenaikan gaji dan pajak adalah topik yang sangat relevan dalam konteks ekonomi saat ini. Pemerintah telah mengumumkan kenaikan gaji bagi pekerja dan guru sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan mereka. Namun, kenaikan pajak yang terjadi bersamaan menimbulkan pertanyaan tentang seberapa signifikan dampak positif dari kenaikan gaji tersebut.
Kenaikan gaji sebesar 6,5% dan tambahan pendapatan bagi guru ASN sebesar satu kali gaji pokok tentu merupakan langkah baik. Namun, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai Januari 2025 dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok rentan dan miskin. Kenaikan pajak ini bisa menyebabkan harga barang kebutuhan meningkat, yang pada akhirnya mengurangi daya beli masyarakat.
Tujuan utama peningkatan gaji adalah untuk mengapresiasi dedikasi dan kerja keras para guru. Dengan gaji yang lebih tinggi, diharapkan guru dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan lebih baik, sehingga meningkatkan motivasi dan kualitas pengajaran.
Survei menunjukkan bahwa kesejahteraan finansial yang lebih baik berkorelasi dengan peningkatan produktivitas dan kreativitas dalam mengajar.
Namun, kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Kenaikan pajak yang disertai dengan kenaikan gaji membuat sebagian guru merasa bahwa tambahan pendapatan tersebut tidak benar-benar dirasakan.
Pajak penghasilan yang lebih tinggi mengurangi porsi gaji yang bisa dibawa pulang, sehingga dampak kenaikan gaji menjadi kurang signifikan. Contohnya, jika seorang guru mengalami kenaikan gaji sebesar 10%, namun pajak penghasilan naik 5%, maka kenaikan bersih yang diterima hanya sekitar 5%. Ditambah lagi dengan inflasi dan biaya hidup yang terus meningkat, efek positif dari kenaikan gaji menjadi semakin terbatas.
Kenaikan pajak yang terjadi bersamaan dengan kenaikan gaji guru dan pekerja memiliki dampak signifikan terhadap kualitas pendidikan dan motivasi para guru. Meskipun niat pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik melalui kenaikan gaji adalah langkah positif, kenyataannya tidak selalu seindah itu dalam sistem kapitalisme.
Tekanan ekonomi akibat kenaikan pajak dapat mengurangi daya beli guru, yang berarti pendapatan tambahan dari kenaikan gaji tidak terasa signifikan. Guru yang menghadapi tekanan finansial mungkin sulit untuk tetap fokus dan berdedikasi dalam proses pengajaran, sehingga menurunkan kualitas pendidikan yang mereka berikan.
Jika kenaikan pajak tidak diimbangi dengan kebijakan fiskal yang tepat, dana yang tersedia untuk sektor pendidikan bisa tertekan. Ini dapat menyebabkan pengurangan anggaran untuk fasilitas pendidikan, program pelatihan guru, dan kegiatan ekstrakurikuler. Misalnya, sekolah mungkin tidak memiliki cukup dana untuk memelihara atau memperbaiki bangunan, membeli peralatan baru, atau mengembangkan infrastruktur teknologi.
Pengurangan dalam program pelatihan, berarti guru tidak mendapatkan peningkatan kompetensi yang mereka butuhkan. Sementara itu, kegiatan ekstrakurikuler yang penting untuk perkembangan holistik siswa mungkin terpaksa dikurangi atau bahkan dihapuskan.
Ketidakpuasan dan stres di kalangan guru bisa meningkat akibat beban finansial tambahan yang ditimbulkan oleh kenaikan pajak. Ketidakpuasan ini bisa berdampak negatif pada semangat kerja dan kesehatan mental mereka, yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas pengajaran.
Banyak warga Indonesia tidak menyetujui kenaikan pajak karena mereka merasa hal ini tidak adil, terutama jika tidak disertai peningkatan layanan publik yang nyata. Jika guru merasa bahwa kenaikan pajak tidak adil dan tidak mendukung kesejahteraan mereka, hal ini dapat merusak semangat dan komitmen mereka terhadap profesi.
Kenaikan gaji guru dan pajak memiliki kaitan erat dengan beberapa aspek penting dari sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, kesejahteraan pekerja sering kali bergantung pada kebijakan yang diambil oleh perusahaan dan pemerintah.
Kapitalisme sering kali dikritik karena ketimpangan dalam distribusi kekayaan, menggambarkan tantangan dalam mencapai keadilan ekonomi, dan sering kali ada kesenjangan besar antara yang kaya dan yang miskin.
Islam menawarkan solusi yang berbeda. Dalam pandangan Islam, rakyat adalah tanggung jawab negara, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Pada masa kejayaan Islam, pendekatan untuk mensejahterakan umat didasarkan pada prinsip keadilan dan distribusi kekayaan yang merata.
Pertama, pengelolaan sumber daya alam seperti minyak, gas, dan mineral dilakukan oleh negara, dan hasilnya digunakan untuk kepentingan publik.
Kedua, pendapatan dari harta rampasan perang juga menjadi salah satu sumber pemasukan negara, yang digunakan untuk membiayai kebutuhan negara dan masyarakat.
Ketiga, non-Muslim dikenakan jizyah sebagai imbalan atas perlindungan dan layanan yang diberikan oleh negara, digunakan untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, zakat menjadi instrumen penting dalam distribusi kekayaan dan kesejahteraan sosial, yang wajib bagi umat Muslim yang mampu dan hasilnya digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Dengan pendekatan ini, Pemimpin negara dalam konsep Islam mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya tanpa harus membebani mereka dengan pajak yang tinggi dengan menekankan pada pengelolaan sumber daya yang adil dan efisien serta distribusi kekayaan yang merata.[]
Comment