Penulis: Mira Ummu Tegar | Aktivis Muslimah Balikpapan
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Isu kesetaraan gender di Indonesia merupakan isu yang selalu hangat dan penting disuarakan bagi mereka yang bisa dikatakan gagal paham arti kesetaraan gender itu sendiri. Budaya patriarki yang kental melekat dikehidupan ibu Pertiwi sejak dulu, dianggap persoalan yang membelenggu perempuan. Sehingga paham yang lahir dari barat ini dianggap solusi bagi perempuan.
Jika kita mengutip dari www.internationalwomen’sday.com, maka didapati bahwa pergerakan untuk menuntut kesetaraan dilatarbelakangi dari penindasan dan ketidaksetaraan terhadap perempuan.
Puncaknya pada tahun 1906 sebanyak 15.000 perempuan menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah yang lebih baik, dan hak memilih, dengan berbasis di kota New York. Hal ini pula yang melatari lahirnya hari kesetaraan gender atau Women Equality Day, dimana pengesahan Amandemen ke 19 Konstitusi AS pada 1920, resmi memberikan perempuan hak untuk memilih.
Hari kesetaraan perempuan yang telah berjalan hingga kini tidak hanya memperingati berlakunya Amandemen ke 19 namun merupakan kampanye terhadap berbagai upaya berkelanjutan pada perempuan menuju kesetaraan penuh.
Sayangnya berbagai upaya yang dilakukan sejak dulu tidaklah menyurutkan persolan perempuan diberbagai belahan dunia tapi justru persoalan perempuan semakin menumpuk dan kompleks. Padahal hadirnya ide ini merupakan upaya untuk melepaskan perempuan dari penindasan dan ketidaksetaraan menuju kebebasan untuk mendapatkan hak yang sama baik secara hukum, sosial, budaya, politik dan ekonomi.
Melihat konsep pergerakan yang diusung dari kesetaraan perempuan ini sangatlah lekat dengan ide kebebasan/liberalisasi perempuan. Ide yang lahir dari sekulerisme kapitalis ini menjauhkan aturan Allah dan menempatkan manusia sebagai pengatur kehidupan itu sendiri.
Ide ini merusak fitrah perempuan yang sejatinya adalah istri dan ibu bagi rumah tangganya. Ide ini menggeser fitrah perempuan yang sejatinya membutuhkan kepemimpinan laki-laki. Karena karir dan exis secara finansial, kepatuhan terhadap suami hilang bahkan yang lajang pun enggan menikah namun seks bebas, umbar aurat di tempat kerja, hingga rentan pelecehan seksual dan tindak kekerasan, pergaulan tanpa batas hingga perselingkuhan menjadi trend kehidupannya. Miris bukan ?
Maka ketika perempuannya rusak, bagaimana kabarnya generasinya? Maka bisa dipastikan rusaknya ibu rusak pula generasinya.
Tergerus dan hilangnya peran ibu di rumahnya menjadi pangkal terjadinya broken home, anak-anak kehilangan figur ibu, sehingga sangat mudah jatuh pada narkoba, tawuran, kriminalitas, seks bebas, dan berbagai tindakan yang merusak generasi, lalu bagaimana estafet kepemimpinan negeri kedepannya?
Benarlah yang dikatakan Shalahuddin Al Ayyubi, “jika ingin menghancurkan sebuah negara tanpa perang, jadikan perzinahan atau ketelanjangan sebagai hal biasa di kalangan generasi muda”.
Bak senjata makan tuan, demikian ide kesetaraan yang diperjuangkan kaum feminis ini justru merusak dan menjerumuskan perempuan itu sendiri bahkan akan mengancam negara. Mirisnya ide ini justru diadopsi oleh banyak negeri muslim tak terkecuali Indonesia.
Ide yang mestempeli syariat Islam sebagai pengekangan aktivitas perempuan ini, sejatinya adalah senjata yang dimuntahkan barat untuk merusak dan menjauhkan kaum muslim dari aturan agamanya.
Rusaknya perempuan/ibu, serta rusaknya generasi adalah cara barat menundukkan dan menguasai kaum muslim sehingga hegemoni mereka atas kaum muslim tetap terjaga.
Islam tidaklah melarang perempuan ada di ranah publik, apalagi jika memang memiliki kapabilitas di bidangnya karena justru ini menjadi bagian amal sholihnya untuk kemanfaatan ilmunya bagi umat.
Namun ada ranah domestik yang juga menjadi kewajiban utama baginya yakni Ummu wa rabbatul bait bagi rumahnya dan madrasatul ula bagi anaknya.
Adalah hal yang sangat tidak bijak jika membenturkannya. Islam dengan syariat-Nya memiliki panduan bagi umatnya dalam menjalankan aktivitasnya.
Peran perempuan dalam Islam sebagai ummu wa rabbatul bait dan madrasatul ula bahkan oleh Rasulullah disejajarkan dengan aktivitas jihadnya laki-laki. Hal ini terekam jelas dalam siroh dan sekaligus dalil di mana Anas bin Malik RA mengatakan bahwa perempuan pernah mendatangi Rasullullah. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, para lelaki mempunyai keistimewaan dapat pergi berjihad di jalan Allah, sedangkan kami tidak punya pekerjaan yang pahalanya setara dengan para mujahid di jalan Allah.”
Setelah mendengar penuturan para perempuan itu, Rasulullah kemudian bersabda, “Pekerjaan rumah tangga seorang di antaramu, pahalanya setara dengan jihadnya para mujahid di jalan Allah,”
Dalam Islam perempuan bukan pihak yang dibebani nafkah namun sebaliknya mereka justru pihak yang dinafkahi. Sehingga ibu/perempuan akan mendapatkan posisi idealnya mendidik dan mencetak generasi terbaik.Tidak seperti kapitalisme sekuler yang justru membuat perempuan sibuk dengan berbagai persoalan, utamanya ekonomi sehingga kemudian harus keluar rumah untuk diberdayakan.
Kapitalisme berpandangan, perempuan merupakan alat produksi yang mudah dan murah artinya mereka adalah skill yang gampang diatur, tidak banyak tuntutan dan murah dalam pemberian upah.
Bukan hanya perannya yang dimuliakan Islam, namun syara’ sudah menempatkan perempuan itu sendiri pada posisi yang sangat mulia.
Syariat jelas mengatur perempuan yang ketika safar harus ditemani mahramnya, menutup aurat ketika hendak keluar rumah, larangan ikhtilat, kholwat, tabaruj dan semacamnya, merupakan bentuk penjagaan dan perlindungan terhadap perempuan.
Hal ini yang seharusnya disadari kaum perempuan khususnya muslimah. Hanya dengan Islam perempuan akan terjaga dan termuliakan. Wallahu a’lam bishowab.[]
Comment