Penulis: Lulu Nugroho | Muslimah Revowriter
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Baru-baru ini masyarakat disuguhi tren kekinian ide pernikahan ala generasi muda Jepang, yang disebut ‘Friendship Marriage’. Ide ini cepat menjadi viral dan marak dibicarakan. Berdasarkan laporan dari South China Morning Post, tren ini terus berkembang di kalangan anak muda. Mereka mulai meliriknya, dan berharap ada opsi bentuk pernikahan kekinian, yang sesuai dengan minat mereka.
Friendship marriage berbentuk “a cohabitating relationship based on shared interests and values”, yaitu hidup bersama berdasarkan minat dan nilai yang sama. Namun, ini tidak mencakup cinta romantis atau interaksi seksual (Iris Jiang, 2024).
Mengapa mereka menyukai pernikahan bentuk ini? Sebab banyaknya masalah di seputar kehidupan suami istri, yang membuat kaum muda gamang memasukinya. Mereka tak siap menghadapi konsekuensi dan tanggung jawab setelah menikah. Sedangkan orangtua terus mendesak agar mereka segera menikah. Maka frienship marriage dianggap tidak mengganggu karir, sekaligus untuk menyenangkan orang tua.
Pernikahan ala klasik, menurut mereka tak layak lagi dengan kondisi saat ini, karena perempuan yang bekerja terpaksa membagi waktu dan tenaganya untuk mengurusi rumah. Lelah yang berkepanjangan membuat mereka berpikir bahwa hal ini akibat ketidaksetaraan gender. Karir mereka akan terancam jika harus berjibaku dalam urusan rumah tangga.
Karenanya sebelum menikah, mereka akan mendiskusikan dan membangun kesepakatan tentang berbagai aspek kehidupan, seperti: preferensi makanan, minat, finansial, anak, dan lain sebagainya. Mereka menempatkan pasangan sebagai teman sekamar yang cocok untuk tinggal bersama, akan tetapi tanpa aspek romantisme pernikahan.
Pasangan bisa melangsungkan perkawinan sah dan hidup bersama layaknya pasangan suami istri, tapi masih diperbolehkan menjalin hubungan dengan orang lain berdasarkan kesepakatan bersama. Bagi sebagian orang, friendship marriage dianggap lebih tepat untuk membuat mereka tetap menjadi teman baik, apabila tidak cocok untuk menjadi pasangan suami istri.
Tidak hanya itu, tren ini pun menjadi alternatif oleh kelompok homoseksual, lantaran pernikahan sesama jenis, tidak sah di Jepang.
Dalam pandangan Islam, sangat nyata terlihat bahwasanya pernikahan semacam ini, sangat jauh dari tuntunan syariat dan berpeluang melahirkan masalah-masalah baru.
Sekularisme sebagai Sumber Masalah
Kehidupan masyarakat saat ini dibangun di atas pemahaman sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan (fashludin anil hayah). Maka wajar ketika mereka mencari berbagai alternatif solusi untuk mengatasi problematika kehidupan, mereka hanya mengandalkan intelektual tanpa mengacu kepada hukum Allah.
Jepang sendiri saat ini mengalami krisis populasi. Masyarakat mulai enggan memiliki anak.
Dilansir dari detikHealth, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida telah memprediksi soal ancaman kepunahan anak muda di tahun 2030-an. Pemerintah Jepang membuat berbagai program untuk mendongkrak populasi. Mulai dari mengalokasikan dana 3,5 triliun yen atau setara Rp376 triliun untuk mendorong warga, agar mau punya anak, hingga beragam rencana program lainnya.
Beberapa hal yang menyebabkan perempuan Jepang enggan menikah adalah: faktor keuangan, yang diakibatkan tingginya biaya pernikahan atau gaji yang tidak sesuai dengan pendidikan. Maka komitmen pernikahan atau kehadiran anak, menjadi beban dan persoalan baru. Hingga muncullah gagasan childfree, atau bahkan menunda-nunda pernikahan. Termasuk friendship marriage, yang menjadi alternatif baru bagi generasi yang terbelenggu urusan pernikahan.
Sejatinya tren ini bukanlah solusi hakiki bagi permasalahan masyarakat Jepang, atau manapun. Apalagi ia tegak di atas pemikiran sekularisme, yang menegasikan peran Allah SWT sebagai Pengatur (Al-Mudabbir). Alhasil kehidupan berjalan tanpa kendali syariat. Negara pun abai mengurusi rakyatnya. Alhasil masing-masing keluarga dibiarkan mencari solusi sendiri bagi semua problematika kehidupannya.
Sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku, pro kepada para kapital, tidak memberi perhatian pada masyarakat. Sehingga kesejahteraan sangat jauh dari jangkauan. Kebutuhan pokok berupa pangan, sandang dan papan, serta pendidikan, kesehatan dan keamanan, serba berbayar mahal. Maka tak ayal masyarakat merasakan kehidupan yang sempit. Wajar jika mereka menganggap komitmen pernikahan membelenggu, dan kehadiran anak menjadi beban.
Masalah turunan berikutnya terjadi loss generation, yakni negara tak lagi memiliki generasi penerus. Sebuah peradaban akan hilang, tatkala manusia punah. Belum lagi banyaknya pergaulan bebas di luar ikatan pernikahan, menjadikan perzinaan dan hubungan sesama jenis pun, marak.
Islam Solusi Hakiki
Sistem pergaulan dalam Islam menetapkan bahwa naluri seksual (gharizah nauw) hanya boleh dilakukan melalui pernikahan, dan semata-mata bertujuan untuk melestarikan keturunan. Sehingga Islam memiliki aturan tertentu terkait pernikahan, menetapkan siapa saja yang boleh dinikahi dan yang tidak. Maka tidak akan terjadi perkawinan dengan sesama jenis atau golongan lain yang diharamkan Allah SWT.
Dalam Islam, pernikahan tidak hanya untuk memuaskan naluri seksual saja. Lebih dari itu, setiap keluarga muslim akan berkontribusi pada Islam untuk meninggikan kalimatullah. Keluarga-keluarga muslim akan menyiapkan generasi pemimpin, yang mewarnai peradaban Islam. Karenanya ketahanan keluarga merupakan perkara penting dalam Islam.
Allah SWT diposisikan sebagaimana mestinya sebagai Sang Pengatur. Kehidupan akan berjalan sesuai syariat. Karenanya negara tidak akan tinggal diam atau membiarkan warganya menuntaskan problematika kehidupan, akan tetapi turut menjaga keluarga, dan memastikan setiap peran berjalan dengan baik.
Pelanggaran yang terjadi di dalamnya, diselesaikan melalui mahkamah peradilan (al-qadhi) dengan menggunakan hukum Allah SWT. Maka dipastikan kesejahteraan individu per individu dapat terealisir melalui penerapan Islam kaffah.
Kedudukan istri dalam Islam, lebih merupakan sahabat (shahibah) bagi suami, bukan kemitraan atau partnership. Karenanya pergaulan keduanya pun sebagaimana layaknya sahabat sejatinya yang saling membantu untuk menegakkan syariat Allah.
Hak suami dan istri telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an, yang jika dijalankan dengan penuh ketakwaan, maka akan melahirkan kehidupan yang tenteram.
Allah Sang Pengatur (Al-Mudabbir) telah menetapkan bahwa suami sebagai penanggung jawab (qawwam), serta pemimpin dalam rumah tangga (qiyadah al-baiyt). Sedangkan istri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa rabbatul baiyt). Islam tidak membahas kesetaraan atau ketidaksetaraan gender. Suami dan istri memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Syara’.
Maka tak perlu lagi membuat kesepakatan pranikah sebagaimana banyak terjadi saat ini. Pun tidak akan terjadi istri yang merasa tertekan, sebab dibebani tugas mencari nafkah dan mengurus rumah tangganya.
Istri boleh bekerja di luar rumah, tetapi tidak wajib baginya. Sedangkan kewajiban mencari nafkah, ada pada suami. Keduanya harus saling bergaul secara ma’ruf, layaknya sahabat karib.
Mereka juga harus memastikan bahwa setiap peran di dalam rumah, dapat berjalan dengan baik. Sinergi antara keluarga muslim dengan penguasa yang menerapkan syariat secara menyeluruh, akan melahirkan kebaikan-kebaikan.
Maka solusi hakiki adalah kembali pada penerapan hukum Allah di seluruh lini kehidupan, termasuk dalam hal pernikahan dan membentuk keluarga. Alaa kullukum raa’in, wa kullukum mas-uulun.[]
Comment