Oleh : Suriani, S.Pd.I, Pemerhati Kebijakan Publik
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Setiap kemunculannya, isu terorisme dan radikalisme selalu ditujukan kepada Islam. Seolah tiada hentinya, Islam terus dikaitkan dengan tindak terorisme dan radikalisme. Tak hanya menyasar individu umat Islam, kelompok dan ajaran Islam, lembaga pendidikan pondok pesantren hingga masjid dituduh terkait dengan gerakan teroris.
Melalui laman tempo.co (25/01), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar mengaku masih menemukan adanya pondok pesantren (ponpes) yang diduga berafiliasi dengan jaringan teroris. Setidaknya ada 198 ponpes yang telah masuk dalam daftar BNPT.
Klaim tersebut seperti dikutip cn Indonesia.com (28/1/2022) didasarkan pada sejumlah indikator yang berkenaan dengan penilaian gerakan teroris suatu kelompok. Seperti adanya kesamaan ideologi, politik ataupun gangguan keamanan. Ideologi tersebut yaitu pemikiran takfiri, atau mengkafirkan orang yang berbeda dengan kelompoknya.
Tak hanya terhadap pesantren, pemetaan sejumlah masjid juga dilakukan guna mencegah penyebaran paham terorisme. Hal tersebut diakui oleh Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri, Umar Effendi sebagaimana dilansir dari HarianAceh.co.id (26/01).
Tindakan pemetaan tersebut cukup meresahkan masyarakat khususnya umat Islam. Sebab, sebagaimana yang sudah khalayak ketahui, ponpes sebagai lembaga pendidikan berbasis Islam merupakan salah satu tempat menimba ilmu agama bagi anak-anak kaum muslimin sekaligus merupakan corak pertama pendidikan di Indonesia sebelum adanya pendidikan nasional.
Tuduhan sepihak oleh BNPT* yang menyebut sejumlah ponpes berafiliasi dengan gerakan teroris merupakan tindakan yang bisa mencoreng nama baik lembaga pendidikan Islam sekaligus menyakiti hati umat Islam. Termasuk tindakan pemetaan atas masjid. Padahal masjid menjadi tempat ibadah, jika dihantui oleh bayang-bayang kata teroris bukan tidak mungkin berpotensi menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat.
Terorisme dan Radikalisme, Program Barat Menyerang Islam
BNPT termasuk Densus 88 Anti Teror (AT) adalah dua lembaga yang terdepan menghadapi tindakan terorisme. Pemberantasan aksi terorisme dan radikalisme di Indonesia sendiri merupakan rangkaian dari program war on terorrism termasuk war on radicalism yang dipropagandakan oleh Amerika Serikat (AS) dengan tujuan menyerang Islam. War on terorrism berarti war on Islam. Wacana tersebut muncul pasca peristiwa 11 September di New York. Sejak itu, AS masif mempropagandakan wacana itu ke negeri-negeri Islam, dan cap teroris ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam, khususnya kelompok Islam yang berjuang agar aturan-aturan Islam tegak kembali dalam kehidupan.
Padahal stigma buruk teroris yang diarahkan kepada kelompok Islam tidak terbukti sama sekali. Bahkan pembahasan jihad yang mereka jadikan dalih untuk menuduh kelompok Islam tidaklah sama dengan aksi teroris. Setiap tindakan teror, mengancam masyarakat, menciptakan kerusakan hingga menghilangkan nyawa manusia tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat merupakan perbuatan yang diharamkan dalam Islam. Jadi, bagaimana mungkin Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah sebagai rahmat bagi manusia dituduh sebagai agama teroris?
Di sisi lain, sejumlah negara seperti penjajahan dan pelanggaran HAM berat Isreal atas muslim Palestina, diskriminasi dan intimidasi Cina atas muslim Xinjiang, genosida etnis Budha di Myanmar atas muslim Rohingya juga perintah pembantaian atas muslim India tak pernah disebut sebagai tindakan teroris yang wajib diperangi.
Kata terorisme hanya disematkan kepada Islam. Hal tersebut merupakan ketidakadilan terhadap Islam sekaligus menunjukkan realitas bahwa istilah terorisme dirancang hanya untuk menyerang Islam.
Termasuk isu radikalisme digencarkan untuk mendistorsi ajaran Islam. Indikator BNPT untuk menilai gerakan radikalisme tercermin dari sikap intoleran atau tidak menghargai perbedaan. Termasuk anti pemerintah yang sah dan anti pancasila dan pro khilafah. Kemudian mereka menyebarkan hoaks, konten-konten hate speech, adu domba dan sebagainya untuk menyebarkan ajarannya.
Melalui propaganda radikalisme ini, Islam juga yang kembali menjadi pihak tertuduh. Syariat Islam dituduh radikal dan intoleran padahal Allah telah menjadikan syariat Islam solusi atas persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan.
Ketaatan seorang muslim terhadap ajaran agamanya adalah kewajiban bukan tindak kejahatan. Keyakinan kuat terhadap agama serta kerinduan untuk hidup di bawah naungan aturan agama adalah tuntutan yang lumrah dalam beragama. Karenanya, sangat tidak adil jika lantas ketaatan seorang muslim disebut sebagai tindakan radikal yang harus diberantas.
Termasuk ide khilafah, dituduh sebagai ide sesat dan mengancam NKRI. Padahal khilafah adalah ajaran Islam, sebagaimana shalat, puasa, zakat dan haji. Khilafah juga dicontohkan oleh Nabi Saw dan dilanjutkan oleh para Sahabat Nabi Saw seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan sebutan khulafah ar-rasyidin dalam khilafah.
Tuduhan mengancam NKRI pun hanya tudingan semata. Justru saat ini keutuhan NKRI terancam saat Indonesia menerapkan ideologi kapitalisme. Gerakan saparatis bermunculan yang mengakibatkan disintegrasi serta penguasaan hampir semua kekayaan alam negeri ini di tangan swasta dan asing terjadi bukan karena Indonesia menerapkan khilafah. Semua itu terjadi bahkan saat Indonesia tidak menerapkan syariat Islam.
Propaganda Terorisme dan Radikalisme Ciptakan Phobia
Propaganda Barat dengan nama terorisme dan radikalisme tak hanya menciptakan framing buruk terhadap ajaran Islam dan kelompok-kelompok Islam, tapi juga mengakibatkan phobia di kalangan umat Islam pada khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Itulah yang menjadi tujuan utama Barat, yakni agar umat Islam jauh dari ajaran agamanya.
Umat Islam akhirnya enggan mendalami ilmu agama, termasuk para orangtua kemungkinan akan takut menyekolahkan anaknya di pesantren setelah adanya klaim bahwa sejumlah pesantren berafiliasi dengan gerakan terorisme. Padahal, saat ini generasi sangat butuh untuk mempelajari dan memahami ajaran Islam untuk membentengi diri mereka dari serangan liberalis atau kebebasan yang merusak.
Jika generasi jauh dari Islam sementara Barat sangat masif menggempur mereka dengan budaya Barat yang rusak, maka generasi akan kehilangan identitas dirinya dan menjelma menjadi generasi yang terjerumus dalam kegelapan.
Termasuk stigma negatif atas masjid, akan berpotensi melemahkan semangat umat Islam dalam beribadah dan menghidupkan masjid. Padahal masjid merupakan salah satu tempat bagi umat Islam untuk menjaga dan meningkatkan keimanan dan ketaatan mereka kepada Allah. Barat menginginkan agar umat Islam menjauhi masjid sementara tempat-tempat maksiat dibiarkan tetap terbuka lebar. Na’udzubillah
Lebih jauh lagi, propaganda tersebut akan menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat. Bukan tidak mungkin, perpecahan bahkan akan terjadi. Jika sudah demikian adanya, lantas apa gunanya melakukan gerakan menjaga kedamaian negara jika pada kenyataannya hanya menciptakan perselisihan dan perpecahan di tengah-tengah masyarakat?
Oleh karena itu, setiap muslim wajib untuk tetap menjaga semangat dalam mempelajari Islam, mengamalkan seluruh ajaran Islam bahkan berupaya agar ajaran Islam yang agung bisa diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan. Sebab tidak ada satupun solusi yang dapat menyelesaikan berbagai polemik yang ada di negeri ini kecuali hanya dengan kembali kepada aturan Islam.
Jika umat Islam memahami kebenaran agamanya, dan menjalankannya karena dorongan keimanan kepada Allah Swt, mereka tidak akan mudah untuk diadu domba dan termakan oleh segala bentuk propaganda sesat dari musuh-musuh Islam.
Sebaliknya, mereka akan menjaga dan membela kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Termasuk melindungi negara mereka dari berbagai ancaman negara-negara penjajah yang ingin merobek-robek kedaulatan negaranya.[]
*Tuduhan ini sudah dicabut dengan permohonan maaf pihak BNPT saat pertemuan dengan MUI, Kamis (3/2/2022) sebagaimana dilansir laman kumparan.
Comment