Fitriani S.Pd*: Benarkah Agama Adalah Candu Bagi Negara?

Berita430 Views
Fitriani S.Pd
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Wacana penghapusan agama dari kurikulum pendidikan mencuat akhir-akhir ini. Hal ini berawal dari pernyataan Setyono Djuandi Darmono atau orang mengenal dengan sebutan S.D. Darmono. Ia menyatakan bahwa pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah.
“Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Tanpa disadari, lanjut chairman Jababeka Group ini, sekolah sudah menciptakan perpecahan di kalangan siswa. Mestinya, siswa-siswa itu tidak perlu dipisah dan itu bisa dilakukan kalau mapel agama ditiadakan. Kalau agama yang dijadikan identitas, lanjut Darmono, justru akan memicu radikalisme. Ketika bangsa Indonesia hancur karena radikalisme, belum tentu negara tetangga yang seagama bisa menerima.
Ia kemudian menyarankan kepada Presiden Joko Widodo untuk meniadakan pendidikan agama di sekolah. Pendidikan agama harus jadi tanggung jawab orang tua serta guru agama masing-masing (bukan guru di sekolah). Pendidikannya cukup diberikan di luar sekolah, misalnya masjid, gereja, pura, vihara, dan lainnya. ( Fajar.co.id, 04/07/2019)
Pernyataan inipun menuai respon dari berbagai kalangan. Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini menolak ide menghapus pendidikan agama di sekolah yang diusulkan kepada Presiden Joko Widodo, karena bagian dari upaya sekularisasi yang bertentangan dengan Pancasila.
Sekularisme Berbalut Slogan Anti Perpecahan
Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan, yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme dibidang politik, ekonomi, pendidikan ataupun agama semuanya berakar dari ide dasar yang sama yaitu sekularimse ( fashl al-din ‘an al-hayalah)
Paham ini jugalah yang menjadi salah satu senjata yang dipakai oleh kolonial Barat dulu untuk menghancurkan dunia Islam, dengan menerapkan kurikulum pendidikan berbasis sekuler di negeri-negeri Islam, pasca runtuhnya Daulah Islam. Perubahan kurikulum ini menargetkan penghapusan materi pembelajaran  dengan aqidah Islam, dengan wacana perang melawan ” terorisme dan ekstremisme. Label yang kemudian mewabah dan begitu mudahnya disematkan kepada mereka yang taat akan aturan agamanya atau mereka yang menginginkan aturan agama dibawa serta dalam seluruh aspek kehidupan.
Tuntutan perubahan kurikulum yang dikenalkan oleh negara-negara besar pada  saat itu, adalah akibat peristiwa politik yang berubah di berbagai negara dan berkaitan erat dengan sikap dunia internasional terhadap Islam. Akibatnya, setiap kali kesadaran politik Islam meningkat dalam tubuh umat, pembatasan yang diterapkan pada kurikulum pendidikan meningkat. Juga, propaganda dari rekomendasi Internasional perlu untuk mengubah kurikulum meluas. Semua hal tersebut ditujukan untuk proyek memerangi terorisme dan ekstrimisme.
Maka tidaklah mengherankan, jika wacana sekularisme seperti penghapusan pelajaran agama dari kurikulum pendidikan ini kembali mencuat. Isu radikal dan perpecahan diangkat ke permukaan sebagai alasan bahwa agama harus dijauhkan dari ranah pendidikan. Seolah agama adalah candu bagi negara dan itu harus dihentikan. Dan ini adalah agenda Barat dari dulu dan ingin tetap awet hingga nanti.
Apalagi di tengah meningkatnya pemikiran kritis dalam masyarakat negeri ini terkait pemerintahan dan politik Islam. Masyarakat sudah mulai terbangun dari tidur panjang akibat ayunan sistem sekuler yang diterapkan oleh negara. Masyarakat ingin segera diatur oleh syariat Islam, yang salah satunya dengan menerapkan sistem politik Islam dalam pemerintahan semakin menggema, akibat begitu sulitnya kesejahteraan dan keadilan hukum didapatkan disistem yang diterapkan saat ini. 
Maka bagi para pegiat politik di sistem ini, kesadaran umat akan politik Islam semacam ini adalah ancaman besar. Karena jika umat sadar akan politik Islam, maka umat tidak serta merta dapat dibodohi lagi dengan janji dan kebijakan yang hanyalah suatu khayalan belaka. Jika umat sadar akan politik Islam, maka sudah dapat dipastikan umat tidak akan mau menoleh lagi politik lain yang datang dari luar Islam. Karena Islam politik memiliki makna yang demikian mulia. Dalam Islam, politik dimaknai sebagai pengurusan umat baik di dalam maupun di luar negeri. 
Pengurusannya sendiri adalah dengan hukum-hukum syara yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Karena dalam Islam, politik adalah salah satu manifestasi keimanan. Bahwa Allah adalah pencipta sekaligus pengatur kehidupan. Dengan demikian Islam adalah politik, Islam tak mengenal pemisahan agama dari politik. Politik dalam Islam terikat dengan halal dan haram. Maka politik dalam Islam, di dedikasi kan untuk kepentingan umat dan kemuliaan risalah Islam. Politik Islam pun akan mengatur hidup rakyat dan menyelesaikan seluruh problematika kehidupan.
Maka dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa radikalisme sesungguhnya bukanlah pemicu perpecahan, melainkan ketidakadilan penerapan hukum, kemiskinan dan setumpuk kecarutmarutan karena negara yang tidak menerapkan aturan Islam dalam bernegaralah penyebabnya.
Agama ( Islam ) juga bukanlah candu dalam negara. Sebab, agama Islam adalah pemersatu seluruh umat, bukan sumber perpecahan umat. Karena rahmat-Nya tidak hanya melingkupi kaum muslim secara khusus, melainkan juga menerpa non muslim dan seluruh makhluk hidup. Mereka hidup dalam satu kepemimpinan yang didalamnya keadilan, kesejahteraan, keamanan, dan lain sebagainya didapatkan secara merata. Bahkan justru ketika aturan agama berlepas diri dari negara terjadilah perang dunia, yang kemudian menyebabkan kaum muslim terpecah-pecah dan disekat oleh batas teritorial dan nasionalisme. Wallahu A’lam Bissawab.[]
*Jurnalis Muslimah Baubau

Comment