RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Wabah virus Covid-19 seolah kian menggelora. Setelah sebelumnya membuat geger Cina, kini keeksistensiannya mulai merambah ke seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia.
Berdasarkan data terbaru ( Minggu, 29/03/2020), jumlah pasien positif Covid 19 bertambah menjadi 1.285 orang. Dari jumlah itu, korban meninggal mencapai 114 orang, dengan jumlah yang sembuh 61 orang. ( CnnIndonesia.com ). Parahnya diperkirakan jumlah pasien positif akan terus bertambah setiap harinya.
Untuk Indonesia sendiri, pemerintah lewat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memperpanjang masa darurat bencana wabah penyakit akibat virus Corona. Masa darurat ditetapkan hingga 29 Mei 2020 ( detik.news, 17/03/2020).
Presiden Joko Widodo menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia agar melakukam seluruh kegiatan dari rumah untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19. Menghimbau kepada masyarakat untuk belajar dan bekerja di rumah saja (tirto.id, 21/03/2020).
Menerapkan social distancing, rajin mencuci tangan dan lain sebagainya. Bahkan tagar #dirumahsaja menjadi tranding topic di twitter beberapa hari yang lalu. Hal ini dilakukan untuk memutus penyebaran virus tak kasat mata ini.
Tentu saja, himbauan di rumah saja ini tidak menjadi masalah bagi mereka yang memiliki penghasilan tetap. Bekerja di rumah namun gaji bulanan tetap berjalan. Masih tetap bisa memenuhi kebutuhan harian selama di rumah.
Sayang, untuk sebagian masyarakat yang lain, anjuran ini membuat galau tak terkira. Utamanya bagi mereka yang berstatus sebagai pekerja informal atau yang gajinya tergantung kehadiran, seperti pedagang, tukang sapu, kuli bangunan, ojek online, dan lainnya.
Di satu sisi mereka takut dan cemas dengan keberadaan virus yang mengintai di luar rumah, namun disisi yang lain, mereka juga harus tetap bekerja di luar rumah agar bisa bertahan hidup. Agar istri dan anak ter nafkahi.
Kondisi ini bak buah simalakama. Dilema antara memilih menjaga diri dari intaian virus, namun terancam kelaparan, ataukah harus nekat tetap bekerja di luar rumah agar tetap bisa bertahan hidup.
Negara menawarkan solusi yang tidak solitif. Hanya memberikan himbauan agar di rumah saja, namun tidak memikirkan bagaimana nasib rakyat ekonomi ke bawah, ketika mereka tidak bekerja di luar rumah.
Memerintahkan kepada mereka yang berstatus ODP ( Orang dalam Pengawasan ) untuk mmengisolasi diri di rumah agar tidak menjangkiti masyarakat sekitar, namun tidak memikirkan bagaimana mereka akan bertahan hidup selama itu.
Maka wajarlah kemudian jika ada masyarakat yang tetap nekad keluar rumah untuk mencari nafkah. Bukan karena tidak patuh atau tidak peduli dengan kesehatannya, namun terpaksa dilakukan agar bisa tetap makan nasi di keesokan harinya.
Padahal, jaminan kebutuhan hidup sesungguhnya adalah tanggung jawab negara. Harusnya himbauan untuk diam di rumah selama masa pandemi ini, disertai dengan pemberian tunjangan berupa kebutuhan pokok kepada seluruh rakyat, terutama bagi mereka yang kurang mampu.
Hal ini bahkan sebenarnya sudah tertuang dalam UUD nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. UU itu diteken oleh Presiden Jokowi pada 7 Agustus 2018 lalu dan diundangkan sehari kemudian. Adapun bunyi pasal 52 UU Nomor 6 Tahun 2018 tersebut, diantaranya ialah selama penyelenggaraan Rumah Karantina, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan yang sesuai dengan Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. ( tirto.id, ( 21/03/2020 ).
Sayang, negara belum mampu mewujudkannya dan belum bisa hadir dalam memenuhi hak rakyatnya. Apalagi di tengah ekonomi negeri yang kian terpuruk karena telah menganut sistem ekonomi kapitalis, buah dari penerapan sistem sekuler. Aturan agama dipisahkan dalam mengatur kehidupan. Lewat sistem ekonomi kapitalisnya, negara bahkan hanya mengandalkan pajak dan utang luar negeri sebagai pemasukannya. Menyerahkan sumber daya alam yang ada untuk dikelola oleh asing.
Bahkan tidak jarang, dana zakat dan haji menjadi sasaran untuk dana infrastruktur dikala keuangan negara tidak memadai. Sehingga jangankan mau memenuhi kebutuhan pokok setiap rakyat di negeri ini, membangun infrastruktur saja harus berutang dulu kepada asing dan aseng, atau harus meminta kepada rakyat atas nama pajak. Bahkan dilansir dari Cnn Indonesia.com, ditengah wabah Corona, RI tarik utang RP. 4,95 triliyun dari Bank Dunia. ( Cnnindonesia,com, 23/03/2020 ).
Apalagi baru-baru ini pemerintah juga akan membuka rekening donasi. Menunggu sumbangan dari para donasi. Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Beliau menjelaskan bahwa pemerintah sedang memproses pembukaan akun rekening tersebut. Nantinya, donasi akan dikelola Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang diketuai oleh Letjen Doni Monardo. (rmco.id. 27/03/2020 ).
Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, jaminan kesehatan dan keamanan termasuk kebutuhan dasar masyarakat wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma. Apalagi dalam kondisi darurat virus seperti saat ini.
Hal ini didasarkan pada dalil umum yang menjelaskan peran dan tanggung jawab Imam/ Khalifah untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya. ( HR. al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Pemerintah harusnya menghimbau karantina mandiri di rumah disertai dengan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Sehingga mereka tidak perlu pusing lagi bagaimana caranya bertahan hidup. Adapun dananya, diperoleh dari penerapan system ekonomi Islam, dimana sumber daya alam dikelola oleh negara secara sepenuhnya dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Kita bisa melihat bagaimana kesuksesan khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika menerapkan sistem Ekonomi Islam secara menyeluruh. Dalam masa kepemimpinannya yang hanya berjalan selama kurang lebih 3 tahun, mampu menciptakan 0 penerima zakat. Bahkan petugas zakat pada masa itu, bingung mau diberikan kepada siapa uang zakat yang ada di kas negara ( baitul mal ), karena ia tidak menjumpai sedikitpun orang-orang yang miskin yang layak menerima zakat. Sebab, Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu iut berkecukupan. ( Al-Qaradhawi, 1995).
Kebijakan pemerintah juga harusnya bukan hanya sekedar menghimbau kepada masyarakat, melainkan menerapkan kebijakan lock down total, sehingga virus tidak akan lebih melebar penyebarannya.
Hal ini juga pernah diterapkan oleh Rasulullah Saw. untuk mencegah wabah penyakit menular menjalar ke wilayah lain.
“Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah tersebut. Sebaliknya jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu.” ( HR. Al-Bukhari ).
Begitulah kiranya Islam menjadi satu-satunya solusi dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan manusia. Islam selalu menunjukkan keunggulannya sebagai agama sekaligus ideologi yang lengkap.
Maka sudah saatnya melepaskan diri dari jerat sistem yang tidak memberikan keadilan ini kemudian mencari alternatif baru yang lebih berkeadilan seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan diperintahkan oleh Allah SWT, yang membawa rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam. WalLahu a’lam bissawab.[]
Comment