Ferdinand Hutahaean.[Dok.radarindonesianews.com] |
Keterlibatan penguasa dalam proses pilkada ini bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal. Penguasa saat ini yang dipimpin Presiden Jokowi berada dibawah dukungan politik yang tidak jauh berbeda dengan dukungan politik ke salah satu pasangan calon dalam pilkada ini, sehingga keberpihakan itu bukanlah sesuatu yang aneh dan sah saja dilakukan secara pribadi dan kelompok. Yang tidak boleh dan menjadi aneh adalah ketika penguasa menggunakan kekuasaannya untuk menggerakkan infrastruktur negara atau lembaga negara tertentu untuk melakukan upaya tertentu dalam rangka mendukung pemenangan pasangan salah satu pasangan calon. Karena bila itu benar terjadi, itu adalah bentuk kejahatan politik penguasa dalam proses demokrasi.
Semua lembaga negara dilarang berpolitik secara langsung, bahkan pegawai negeri sipil, TNI, POLRI, serta BIN secara tegas dilarang Undang-undang untuk bepolitik praktis. Maka akan menjadi sebuah kejahatan terhadap negara dan kejahatan terhadap demokrasi apabila penguasa secara sadar menggerakkan kekuatan lembaga negara untuk memenangkan pasangan tertentu. Kita tentu berharap bahwa penguasa tidak akan melakukan kejahatan dalam demokrasi dan akan berlaku adil demi tercapainya tujuan demokrasi dan suara rakyat tidak dimanipulasi.
Harapan diatas tentu menjadi harapan semua pihak yang cinta demokrasi dan cinta tegaknya nilai-nilai kebangsaan. Namun saya ingin mengajak kita semua melihat realita lapangan yang terjadi. Pemanggilan terhadap Silvyana Murni calon Wakil Gubernur Nomor Urut 1 yang berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono patut diduga adalah bagian dari adanya bayang-bayang penguasa dalam proses demokrasi ini. Mengapa Polri menabrak sendiri kebijakannya tentang pemeriksaan kasus-kasus berbau dugaan-dugaan korupsi semua calon kepala daerah? Patut diduga bahwa sangat mungkin Polri berada dalam intervensi penguasa yang memihak calon tertentu sehingga harus tiba-tiba amnesia atau lupa kebijakannya sendiri.
Kasus pembangunan Mesjid di Komplek Walikota Jakarta Pusat 7 tahun silam itu tiba-tiba mebuat polisi begitu rajin menyelidikinya padahal pembangunan itu sudah selesai diaudit oleh BPK dan tidak ada pernyataan kerugian keuangan negara. Demikian juga dugaan Dana Hibah Kwarda Pramuka Jakarta Pusat yang saat itu dipimpin oleh Silvyana Murni sudah selesai dipertanggungjawabkan dan tidak ada masalah. Mengapa polisi terlihat aktif dan bertindak cepat menangani kasus yang baru sebatas dugaan-dugaan semu? Bandingkan dengan perkara Pembelian RS Sumber Waras yang melibatkan Gubernur DKI Ahok yang sudah diaudit BPK dengan pernyataan kerugian keuangan negara senilai ratusan milliar rupiah terdiamkan dan sengaja didiamkan penegak hukum. Hal ini tentu menambah kecurigaan bahwa penegak hukum sedang diperalat kekuasaan untuk membantu kemenangan salah satu paslon dalam pilkada ini.
Tidak cukup berhenti hanya pada sosok Silvyana Murni. Serangan politik yang tidak bisa menemukan keburukan dalam di Agus HY kemudian menyasar SBY Presiden RI Ke 6. KPK yang baru saja menetapkan Emirsyah Satar mantan Dirut Garuda sebagai tersangka dugaan suap pembelian pesawat Air Bus kemudian dipaksakan harus dikaitkan dengan SBY. Nuansa mengaitkan SBY kedalam dosa Emirsyah Satar tersebut sangat kental nuansa politiknya. Mengapa mengaitkan dosa Dirut BUMN ES kepada Presidennya kala itu SBY? Bolehkan kita melimpahkan dosa dan kesalahan seseorang kepada orang lain?
Sebaiknya rejim berkuasa ini membuang bayang-bayangnya dari kecurangan politik secara khusus dalam pilkada DKI Jakarta. Penguasa tidak boleh menciderai proses demokrasi dengan hal-hal yang bertentangan dengan demokrasi dan masuk dalam kategori kejahatan politik.[]
Comment