Oleh: Yuliana, Mahasiswi Pascasarjana UIN Bukittinggi Sumbar
__________
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA — Setiap manusia pasti akan merasakan kematian. Tidak ada manusia yang hidup kekal di dunia ini, karena kekekalan hanyalah milik Allah. Allah berfirman dalam QS Ali Imran : 185 yang artinya :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati”.
Setelah seseorang wafat, ia akan menuai apa yang selama ini ia tanam. Jika ia menanam kebaikan, ia akan mendapatkan tambahan timbangan amal. Namun jika ia menanam keburukan dosa, itu akan menambah timbangan keburukannya. Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk banyak-banyak mengingat kematian.
Saat mendapatkan kabar kematian sanak saudara dan orang terdekat, wajar bagi mereka yang ditinggalkan bersedih dan berbelasungkawa atas kejadian tersebut. Keluarga yang ditinggalkan akan merasakan duka yang mendalam dan mengekspresikan kesedihan mereka dalam berbagai macam cara.
Beberapa bentuk kesedihan ketika kematian yaitu menangis, melayat dan mendoakan mayat dalam hari peringatan kematian. Dalam kitab Imam Bukhari hadits nomor 1285, Anas bin Malik Ra meriwayatkan: “Rasulullah SAW menangis saat anak beliau, Ibrahim, wafat.”
Hal ini menunjukkan, seseorang wajar bersedih bahkan menangis jika ditinggal wafat seseorang. Namun, ia dilarang keras melakukan ratapan dan jeritan. Dalam sebuah hadis dari Umar bin Khattab RA, dia berkata jika Nabi Saw bersabda:
“Seorang mayat akan diazab di kuburnya karena diratapi.” Dalam riwayat lain, “Selagi dia diratapi.” (HR Muttafaq ‘Alaih)
Dalam Islam, melayat orang yang meninggal adalah perbuatan yang disunahkan oleh Rasulullah SAW:
“Tidaklah seorang mukmin melayat saudaranya yang tertimpa musibah kecuali Allah akan pakaikan dirinya dengan perhiasan kemuliaan pada hari kiamat.” (HR Ibnu Majah).
Namun, tidak semua tradisi yang dilakukan masyarakat Muslim sesuai dengan syari’at Islam. Salah satunya yaitu melayat menggunakan pakaian hitam. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak masyarakat yang menggunakan pakaian hitam ketika melayat dan menganggap pakaian hitam sebagai hal yang sakral dan wajib digunakan.
Penggunaan pakaian hitam ini bahkan dikaitkan dengan syariat Islam. Padahal tidak ada teks dalam Al Quran dan Sunnah yang menyatakan keharusan memakai pakaian hitam saat melayat. Sehingga dikhawatirkan masyarakat akan menyimpulkan bahwa menggunakan pakaian hitam adalah wajib bagi muslim yang ingin melayat ke rumah saudara yang meninggal dunia.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah memberikan rambu-rambu bagaimana cara seorang Islam mengekspresikan kesedihan saat berduka.
Beberapa di antaramya adalah tidak boleh berteriak, menjerit meratapi musibah, serta ekspresi berlebih lainnya saat berduka cita seperti mencakar wajah, menepuk dada dan lain sebagainya.
Muhammad bin Abi al-Abbas Ar-Ramli dalam kitab Nihayat al-Muhtaj memasukkan pula masalah mengenakan pakaian khusus yang mencerminkan berlebihan dalam bersedih.
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
“Saya berlepas diri dari tindakan yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Rasulullah berlepas diri dari wanita yang meratap (menangis histeris), yang memotong-motong (mencukur atau menggundul) rambut kepala, serta menyobek-nyobek baju.” (HR. Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104).
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada aturan dalam syariat mengenai kewajiban memakai pakaian hitam saat melayat. Hal ini dilakukan karena kebiasaan untuk menunjukkan rasa kesedihan pada keluarga yang ditinggalkan.
Penggunaan pakaian hitam hanyalah sebagai kultur/budaya. Kita sebagai umat muslim boleh menggunakan pakaian hitam ketika melayat, asalkan tidak didasarkan dengan niat bahwa pakaian hitam merupakan kewajiban ketika melayat dan ketika kita tidak menerapkannya kita akan berdosa.[]
Comment