Penulis: Syakina Nurrahma | Mahasantriwati Cinta Quran Center
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA– Media kembali ramai memberitakan beberapa kasus terkait kekerasan seksual di dunia pendidikan. Sebelumnya ada kasus yang menjerat aktivis mahasiswa.
Dilansir dari www.bbc.com (06/11/2024) dalam kasus tersebut, korban melaporkan dugaan pelecehan seksual berdasarkan Pasal 6 UU 12/2022 tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Kasus-kasus seperti ini merupakan peristiwa yang semakin mengunung. Meski demikian, maraknya kekerasan seksual di Lembaga Pendidikan tentu menjadi catatan tersendiri. Mengingat bahwa sekolah adalah tempat untuk menuntut ilmu.
Dilansir dari laman tribunnews.com (05/11/2024) baru-baru ini digemparkan lagi dengan berita kekerasan seksual atau pembunuhan siswi SMP di Palembang. Perlu dikritisi bahwa di tengah sistem yang menganut prinsip kebebasan, membahas kasus kekerasan seksual membutuhkan kemampuan memahami realitas sosial masyarakat.
Sistem sosial dan pergaulan di kehidupan masyarakat kita tidak memiliki batasan mengenai interaksi antara lawan jenis. Di sisi lain, prinsip kebebasan telah memberikan celah bagi setiap individu untuk berbuat sesuka hati, salah satunya yaitu kebebasan dan kekerasan seksual yang terjadi hari ini.
Permasalahan mendasar hukum hari ini dalam upaya menyelesaikan kasus kekerasan seksual, sesungguhnya terletak pada konsep-konsep kehidupan yang lahir dari hukum itu sendiri.
Kekerasan seksual adalah segala bentuk aktivitas seksual yang tidak diinginkan, atau yang dilakukan dengan paksaan, tekanan, atau manipulasi. Kekerasan seksual bisa berupa tindakan fisik, verbal, atau aktivitas siber. Kekerasan seksual dapat menyebabkan penderitaan psikis dan/atau fisik, termasuk mengganggu kesehatan reproduksi dan kesempatan mendapatkan pendidikan yang aman.
Faktor penyebab kekerasan seksual
Didapat dari laman rainn.org (10/11/2024), kekerasan seksual dilakukan pada anak karena pelaku melihat posisi anak yang lemah dan lugu.
Tahap perkembangan anak umumnya masih rentan dan belum mengerti banyak hal sehingga seringkali disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kekerasan seksual pada anak dapat terjadi akibat tidak adanya kesempatan yang dimiliki pelaku untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dan tidak dapat mempertahankan privacy.
Kekerasan seksual dilakukan oleh orang dewasa pada anak di bawah umur. Kebanyakan tindakan kekerasan seksual dilakukan pada anak di bawah umur disebabkan karena anak-anak tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan, mereka cenderung lemah, baik secara fisik maupun psikis.
Kekerasan seksual yang terjadi pada anak akan berdampak pada kehidupan mereka selanjutnya, anak akan merasa tidak nyaman karena mengalami ketakutan dan memiliki rasa trauma, depresi dan mudah mencurigai orang-orang yang ada di sekitarnya.
Saat ini tidak jarang pula, kekerasan seksual dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, sehingga proses pencegahan perlu untuk dilakukan dengan melakukan sosialisasi dan mentoring kepada masyarakat.
Dengan kejadian ini, kerjasama dari berbagai pihak diperlukan untuk meningkatkan penanganan perlindungan pada anak dan menjauhkan hidupnya dari pelaku.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa untuk mencegah tindak kekerasan dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk meningkatkan penanganan perlindungan pada anak dan menjauhkan hidupnya dari pelaku.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa tindak kekerasan seksual bisa terjadi oleh siapapun dan siapapun dapat menjadi pelaku kejahatan seksual. Keluarga, khususnya orang tua perlu meningkatkan kewaspadaan pada lingkungan sekitar dan hal ini merupakan cara yang paling ampuh untuk mencegah fenomena ini terjadi.
Ada beberapa contoh kekerasan seksual. Pertama, pemerkosaan yakni tindakan memaksa atau melakukan hubungan seksual dengan seseorang tanpa persetujuan. Pemerkosaan merupakan kejahatan seksual yang serius.
Dalam hukum Indonesia, pemerkosaan diatur dalam pasal 285 KUHP dan diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Kedua, intimidasi seksual. Merupakan tindakan yang memanfaatkan aspek seksualitas seseorang untuk menimbulkan rasa takut, tertekan, atau penderitaan psikologis pada korban.
Tindakan ini dapat dilakukan melalui kata-kata, isyarat, atau perbuatan yang bersifat seksual dan tidak diinginkan oleh korban. Ketiga, pelecehan seksual merupakan perilaku yang merendahkan secara seksual dan tidak diinginkan oleh korban.
Pelecehan seksual dapat berupa pernyataan bernuansa seksual, memperlihatkan pornografi, tuntutan atau permohonan untuk melakukan tindakan seksual, ucapan, tulisan, simbol, atau isyarat yang berkonotasi seksual.
Pelecehan seksual dapat terjadi di berbagai lingkungan sosial, seperti rumah, tempat kerja, sekolah, atau lembaga keagamaan. Pelaku dan korban pelecehan seksual bisa berjenis kelamin apa pun.
Pelecehan seksual berbeda dengan kekerasan seksual. Kekerasan seksual melibatkan unsur kekerasan fisik atau ancaman yang mengarah pada tindakan seksual tanpa persetujuan korban. Pertama, eksploitasi seksual adalah penyalahgunaan posisi rentan, kepercayaan, atau kekuasaan yang berbeda untuk tujuan seksual. Kedua, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual.
Perdagangan seks bukanlah masalah yang berdiri sendiri. Penyebabnya terkait erat dengan fenomena sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang berarti bahwa dalam beberapa kasus, perdagangan seks bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia yang diakibatkan oleh perdagangan seks.
Ketiga, prostitusi paksa yakni situasi di mana korban ditipu, diancam, hingga mengalami kekerasan untuk menjadi pekerja keras. Hal ini bisa terjadi hingga korban tidak berdaya untuk melepaskan diri.
Dampak dan Pencegahan Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual juga dapat menimbulkan dampak psikologis, emosional, dan fisik pada korban. Dampak-dampak tersebut dapat berupa gangguan sosial emosional, seperti kesulitan berbaur dengan lingkungan dan emosional yang tidak stabil, gangguan Stres Pasca Trauma (PTSD), seperti perilaku gelisah, mimpi buruk, dan fobia, harga diri yang rendah dan merasa kesepian, depresi, kecemasan, dan suasana perasaan yang berubah, keinginan untuk bunuh diri, nyeri otot, sakit kepala, dan masalah kesehatan fisik kronis, seperti tekanan darah tinggi dan masalah dengan gula darah dan perilaku seksual yang tidak pantas.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual dapat dilakukan dengan cara menghindari tempat berbahaya, jangan percaya penuh, hindari obrolan yang berbau porno, komunikasikan batasan dengan jelas, berani bersikap tegas, bersikap percaya diri, mempersiapkan alat pelindung diri.
Solusi dari kacamata Islam
Mengutip laman muslimahnews.net/ (10/11/2024) bahwa Islam memiliki seperangkat aturan khas yang mengatur sistem sosial dan pergaulan secara menyeluruh. Islam memiliki sistem sanksi yang menimbulkan efek jera dan menutup celah terulangnya kasus serupa.
Islam tidak menekankan kepada aspek persetujuan, karena jika kedua belah pihak setuju melakukan aktifitas seksual namun tidak berada dalam ikatan legal yang sah menurut agama maka tetap masuk ke dalam kategori kajahatan seksual.
Persetujuan kedua belak pihak tidak menjadikan hubungan yang haram menjadi halal. Maka kembali kepada standar bagaimana agama mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Dari aspek preventif, Islam membangun kerangka konsepnya berdasarkan fitrah manusia. Sesungguhnya Allah Swt. menciptakan naluri seksual pada laki-laki dan perempuan. Ini bukan sesuatu yang harus menjadi kontroversi sebab Allah pun telah menurunkan seperangkat hukum yang mengarahkan naluri ini berjalan sesuai fitrah.
Langkah itu antara lain, pertama, memerintahkan kepada perempuan untuk menutup aurat dan menjaga kemaluan mereka. Islam memerintahkan perempuan untuk menggunakan pakaian syar’i berupa jilbab (gamis) (QS. Al-Ahzab:59) dan menggunakan (QS. An-Nuur:31).
Kedua, Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah sekali-kali bersendirian dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad).
Ketiga, negara adalah bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Oleh karena itu, negara tidak cukup membuat seruan mengenai pentingnya akademisi untuk aware dengan potensi sexual harassment di lingkungan kampus.
Lebih dari itu, negara memiliki peran strategis untuk mengontrol ketat seluruh tayangan maupun materi pemberitaan media. QKeempat, dalam Islam, pelaku pelecehan seksual wajib mendapat hukuman karena kekerasan seksual semisal pemerkosaan dan kriminalitas sejenisnya dengan hukuman setimpal sesuai syariat Islam. Bentuknya pemenjaraan hingga hukuman mati sesuai hasil ijtihad khalifah.
Sanksi (uqubat) pertama bagi pemerkosa (al-mughtashib) adalah berupa had zina. Bagi ghayru muhsan dengan 100 kali cambuk, sedangkan muhsan/telah menikah berupa hukuman rajam.
Demikianlah upaya preventif dalam Islam untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual berikut sanksi bagi pelaku. Hukum Islam tidak hanya mencegah berulangnya kasus, tetapi juga mewujudkan sistem sosial dan pergaulan yang sehat dan aman bagi masyarakat.
Di sisi lain, sistem sanksi yang tegas akan mewujudkan efek jera bagi pelaku – memastikan terwujudnya keadilan bagi korban, hingga menutup celah hadirnya pelaku dengan kasus serupa. Wallahu ’alam bishowab.[]
Comment