Fatmawati Thamrin*: Perlakuan Islam Terhadap Non Muslim Dzimmi

Berita453 Views
Fatmawati Thamrin
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA  – Di dalam Islam, ketika seseorang mendapatkan petunjuk untuk masuk islam adalah nikmat besar bagi setiap manusia. Karena sejatinya, orang yang masuk islam, berarti dia kembali kepada fitrahnya;  bertuhan satu, mengikuti utusan Allah swt yang terakhir dan  mengamalkan al-Quran sebagai Kalamulla. 
Untuk bisa masuk islam, tata caranya sangat mudah. Tidak perlu acara khusus dan bisa dilakukan tanpa modal. Namun, yang sulit adalah memastikan keikhlasan dan kejujuran hati ketika masuk islam. Jika yang masuk islam seorang pablik figur maka ini akan menjadi fenomenal, karna semua orang mengetahui karena diekspos dan menjadi perbincangan publik seperti yang terjadi baru-baru ini dan dialami oleh seorang mentalis Deddy Corbuzier menjadi muallaf.
Sudah delapan bulan lamanya Deddy Corbuzier mempelajari Islam. Setelah melalui proses yang cukup panjang, Deddy Corbuzier akan menjadi mualaf pada 21 Juni 2019. Kabar ini telah dibenarkan langsung oleh Gus Miftah, selaku pihak yang akan menuntun pengislaman presenter berkepala plontos itu. Semula, prosesi pengislaman Deddy Corbuzier akan ditayangkan secara live di Hitam Putih. Namun karena terbentur peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) maka rencana itu tak jadi dilakukan. Karena ada peraturan KPI ternyata acara itu dianggap rasis.[LIPUTAN6.com, 19 Jun 2019].
Presenter Deddy Corbuzier membantah kabar dirinya menjadi mualaf karena ingin segera menikah dengan kekasihnya, Sabrina Chairunissa. Menurutnya, pilihannya memeluk Islam bukan karena suruhan atau paksaan dari orang lain, termasuk pacarnya itu. “Saya masuk agama Islam tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang memaksa, tidak karena suatu tujuan apa pun itu,” kata Deddy Corbuzier di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, baru-baru ini. Pembawa acara Hitam Putih itu mengaku memeluk Islam murni karena pilihan pribadi. Dia merasa mendapat hidayah setelah mempelajari ajaran tentang menjadi pribadi yang lebih baik.[JPNN.com, 23 Juni 2019].
Hijarahnya seseorang kedalam Islam bukan sekedar tadinya tidak sholat menjadi sholat, namun itu adalah sebuah perubahan besar pada diri seseorang. Mengubah aturan hidupnya dengan menerapkan perintah dan larangan Allah SWT. 
Peran negara sangat penting dalam mengurus para muallaf untuk istiqomah dalam statusnya sebagai muslim. Bukan malah menggap mengumumkan diri masuk islam di anggap rasis(doktrin). Sesungguhnya masuk islam seseorang perlu pencermatan yang mendalam sehingga nantinya dia istiqomah. Inilah dampak ketika sistem kapitalis sekuler yang digunakan (memisahkan agama dari kehidupan).
Allah Swt menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah saw sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, apapun warna kulit, agama, ras, dan segala latar belakang mereka.
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107).
Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan melihat betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum Muslim, juga non-Muslim, yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah. Penerapan syariat terhadap non-Muslim merupakan metode praktis dakwah Islam kepada non-Muslim. Adakah cara yang lebih baik bagi non-Muslim untuk melihat kebenaran Islam selain dengan hidup berdasarkan sistem Islam itu sendiri, dan mengalami kedamaian dan keadilan hukum Allah Swt?
Dalam hukum Islam, warga negara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warga negara Negara Islam berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR. Ahmad)
Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”
T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamanan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.
Arnold kemudian menjelaskan; “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam. Kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Allah SWT menyatakan, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256).
Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Namun umat non-Muslim harus menerima Islam bila telah meyakini akidah Islam secara intelektual. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun. Allahu A’lam Bishshowwab.[]

*Ibu rumah tangga di Sangatta

Comment