RADARINDONESIANEWS.COM, ACEH — Forum alumni Sejarah dan kebudayaan Islam (FASKI) Universitas Islam Negeri Ar-Raniry gelar kegiatan bedah buka dengan tajuk “From Fear To Tear (dari ketakutan ke air mata) diselenggarakan di Ruang Teater Museum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Kamis (23/2/2023).
Buku ini ditulis oleh Guru Besar bidang ilmu Antropologi UIN Ar-Raniry yaitu Prof Dr Phil Abdul Manan MSc MA dan juga dua penulis lainnya Dr Abdul Hadi dan Iping Rahmat Saputra MSc yang mengupas kasus pelanggaran HAM berupa kekerasan yang dialami masyarakat Aceh ketika masa DOM, pasca DOM dan masa operasi Wibawa.
Dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM di Aceh, ada tiga tragedi yang diabadikan dalam buku From Fear To Tear ini, yaitu: Tragedi Rumoh Geudong, Krueng Arakundo dan Jambo Keupok di Aceh.
“Isu HAM selalu menjadi sebuah perdebatan dan perbincangan dan diibaratkan seperti jamur di musim hujan. Adapun judul buku From Fears To Tears ini memiliki makna yang sangat dalam bagaimana penderitaan yang dialami masyarakat Aceh berlangsung secara terus menerus walaupun sudah MOU Helsinki. Orang yang menjadi korban merasa kecewa dan tidak mendapatkan keadilan. Para pelaku pelanggaran HAM yang tidak dihukum menjadi alasan kenapa penulis menulis buku ini. Saya sendiri meneliti konflik di Jambo Keupok, Iping meneliti konflik di simpang KKA dan Abdul Hadi meneliti tragedi di Rumoh Geudong.” Pungkas Prof Abdul Manan saat memberikan pengantar diskusi.
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora ini menyayangkan, setelah sekian lama tragedi ini berlangsung bahkan sampai kepada penandatanganan MoU Helsinki, tidak satu kasus pun terungkap secara tuntas.
“Dari tiga tragedi ini, ada perbedaan pada praktik pelanggaran HAM nya” sambung prof Manan.
Pada tragedi Rumoh Geudong dilakukan secara terus menerus hingga DOM dihapuskan pada 7 Agustus 1998. Pola yang dilakukan pada Rumoh Geudong itu disebut penderitaan yang berkelanjutan.
Adapun persamaan yang dimiliki adalah sama-sama terkendala dalam proses pengusutan kebenarannya. Kemudian sama-sma memakan jiwa yang dominannya adalah masyarakat sipil, tidak hanya itu korban juga semakin kecewa pada memulihkan yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah.
“Meskipun pada 11 Januari 2023 presiden Republik Indonesia telah mengakui 12 kasus pelanggan berat HAM di masa lalu dan tiga diantaranya dilakukan di Aceh namun upaya lanjutannya belum ada kejelasan”. Ungkap Prof Abdul Manan di hadapan ratusan peserta dan pembedah buku yang hadir.
Tetapi, lanjut Prof Manan, pemerintah seakan terkesan memperlambat proses pengusutan secara yudisial. Sebab dalam uraian pengakuan persediaan tidak ada sedikitpun menyinggung mengenai para pelaku baik pelaku di lapangan atau pelaku dalam tatanan elit.
Salah satu penanggap bedah buku yaitu Drs Nab Bahany AS sangat mengapresiasi atas terbitnya buku ini. Menurutnya, buku ini sangatlah penting sebagai dokumentasi atau catatan sejarah.
“20 sampai 30 tahun yang akan datang, orang akan mencari buku ini, kalau tidak ada literasi akan sulit mencari data atau peristiwa yang terjadi di Aceh” pungkas Nab Bahany
Selain itu, seniman Aceh Fauzan Santa MA memberikan masukan kepada penulis agar buku ini dijadikan film atau dikemas dalam bentuk komik agar semakin menarik pembaca.
Saat sesi pertanyaan berlangsung, para peserta sangat antusias dengan berbagai pertanyaan yang dilontarkan kepada pemateri melalui moderator.
Setelah sesi pernyataan berlangsung kegiatan bedah buku ditutup oleh ucapan terima kasih dari moderator yaitu Dr Muhajir Alfairusy, M.A.
“Terima kasih saya ucapkan kepada para penulis, pembedah dan para peserta bedah buku yang sudah hadir, menanggapi dan memberikan sarannya, Alhamdulillah serangkaian acara Pelantikan Forum Alumni SKI (FASKI) periode 2023-2025 dan bedah buku telah kita lalui bersama, semoga kegiatan ini bermanfaat untuk kita semua.” Imbuhnya.[]
Comment