Fadhliyah Ahfa |
RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Awal tahun 2019 masyarakat kembali disuguhi beberapa surprise, salah satunya adalah meroketnya harga tiket pesawat terbang. Prosesnya cukup cantik, mulai dari peniadaan free bagasi beberapa maskapai penerbangan, kemudian disusul naiknya harga tiket hingga 100%. Harga yang sangat fantastis.
Masyarakat dibuat kaget olehnya, meski disadari ini bukanlah kali pertama. Tetapi bagi saya, pelanggan jasa penerbangan ini menjadi satu pukulan mematikan. Mengingat pesawat adalah model transportasi yang sangat efektif dan efisien, dibanding jika harus menempuh jarak perjalanan atau pelayaran berhari-hari.
Meroketnya harga dengan sangat tidak wajar, rute domestik cenderung lebih mahal dari pada rute internasional. Bahkan muncul meme dari para netizen, mending terbang ke luar negeri daripada dalam negeri. Ngeri mak, Kupang – Jakarta saja berkisar 2.2 juta, ini setara dengan Jakarta – Bangkok.
Mengapa harganya harus meroket? Seperti dilansir Tirto.id (Minggu, 13/1/2019), Indonesia National Air Carrier (Inaca), asosiasi maskapai, menyebut pelemahan nilai tukar rupiah atas dollar Amerika Serikat beberapa waktu lalu memicu penaikan biaya operasional yang berdampak harga tiket pesawat melambung.
Menurut Ketua Inaca, Ari Ashkara, di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, “Jadi memang ada pemicunya soal kurs rupiah melemah. Ini membuat kenaikan variabel harga tiket mulai avtur, kurs rupiah terhadap dollar AS sampai dan suku bunga pinjaman,”
Menurutnya, kenaikan bahan bakar pesawat, avtur, terjadi sejak 2016 sebesar 125 persen. Padahal, pengeluaran maskapai paling besar pada avtur sebesar 40 persen. Di sisi lain sejak 2016, maskapai belum pernah menaikkan harga tiket.
Imbasnya terhadap masyarakat adalah melambungnya harga-harga komoditas lainnya, sebutlah ongkos kirim pengantaran jasa, akhirnya berujung pada kenaikan harga jual pada konsumen. Kalau sudah begini, siapa yang akan ikhlas menerima? Sementara pemasukan yang didapat tak kunjung naik.
Bagi ibu-ibu ini tentu menimbulkan keresahan yang mendalam, ditengah himpitan ekonomi yang semakin jahat, ditambah beban kenaikan harga tiket. Kemanakah peran pemerintah? Akankah masyarakat dibiarkan menikmati himpitan ekonomi sendiri? Bukankah pemerintah adalah pengayom rakyatnya? Bukankah mereka dipilih oleh rakyat? Lantas setelah menjabat, lupa begitu saja dengan nasib pendukungnya. Kemanakah kami harus mengadu?
Oleh karenanya, kita sangat butuh pemimpin yang mampu merasai setiap derita rakyat, hingga binatang pun tetap diperhitungkan. Teringat sosok Amirul mukminin Umar bin khattab yang terkenal tegas dan tegar dalam memimpin kaum muslimin tiba-tiba yang terkenal tegas dan tegar dalam memimpin kaum muslimin tiba-tiba menangis. dan kelihatan sangat terpukul.
Informasi salah seorang ajudannya tentang ppceristiwa yang terjadi di tanah Iraq telah membuatnya sedih dan gelisah. Seekor keledai tergelincir kakinya dan jatuh ke jurang akibat jalan yang dilewati rusak dan berlobang. Melihat kesedihan khalifahnya sang ajudan pun berkata:” wahai amirul mukminin, bukankah yang mati hanya seekor keledai!” dengan nada serius dan wajah menahan marah Umar bekata: apakah engkau sanggup menjawab dihadapan Allah ketika ditanya tentang apa yang telah engkau lakukan ketika memimpin rakyatmu?”
Begitulah harusnya sikap seorang pemimpin, takut kepada Allah Swt. terhadap apa yang telah dilakukannya ketika memimpin rakyat. Sehingga tak lagi terjadi pengabaian urusan rakyat barang sedikitpun, termasuk kenaikan harga tiket ini. Wallahu a’lam.[]
Penulis adalah seorang guru di Tangerang
Comment