Oleh: Puput Hariyani, S.Si, Pendidik Generasi
_________
RADARINDONESIANEWS.COM, KARTA -Sebulan yang lalu ada seorang lelaki paruh baya datang ke rumah. Orang sekitar biasa memanggilnya, Pak Man. Sambil mengetuk pintu, beliau ucapkan salam, ” _Assalamualaikum wr wb_ “. ” _Waalaikumsalam wr wb_ ” jawabku sembari membukakan pintu. ” _Oh Pak Man, monggo masuk Pak, ada yang bisa dibantu_ ?” Tanyaku mengawali pembicaraan sambil mempersilahkan duduk. Ku menatap serius karena beliau tidak pernah ke rumah dan baru kali ini ngobrol, pasti ada sesuatu yang penting pikirku.
_”Mbak Putri saya mau minta bantuannya. Minta tolong cucu saya ini diajarin baca tulis karena sudah kelas 6 SD belum bisa sama sekali”._ Tanpa berpikir panjang kujawab, _”monggo Pak,”_ silahkan cucunya diantar ke rumah. Dalam hati ku membatin seandainya kutolak permintaannya, aku merasa menjadi orang yang tidak bertanggungjawab mencerdaskan generasi, bukankah diri ini telah berkomitmen menjadi seorang pendidik?
Keesokan harinya, seorang anak lelaki dengan perawakan kurus, wajah polos nan sederhana datang ke rumah. ” _Ku tanya siapa namamu le? Kamu cucunya Pak Man? _” Viki,”_ jawabnya singkat. ” _Viki mau belajar baca tulis sama Bu Putri ya?_ ” Iya Bu, sambil tersenyum. ” _Okey dimulai hari ini ya_ “, dia lantas menganggukkan kepala.
Siang itu kisah bermula. Ku mencoba memperkenalkan huruf abjad padanya. Ia sudah mengerti beberapa, namun banyak juga yang ia lupa. Sambil belajar ia banyak berimajinasi sendiri, seperti tidak fokus. Awalnya ku bersabar. Hari demi hari kulalui tanpa perubahan berarti. Si Viki asik dengan dunianya sendiri. Sepekan sudah ku membersamainya. Namun dada ini terasa sesak, hati ini ingin menangis karena tak ada kata yang bisa kuucap untuk menggambarkan kondisinya.
Ku mencoba untuk menghibur diri sendiri. Setelah kepulangan Viki, ada anak didik yang datang lagi untuk belajar bersamaku. Namun dia sangat berbeda dengan Viki. Si Arka ini anak yang cerdas, cepat menangkap pelajaran, sudah pandai baca tulis sejak TK. Membuat siapa saja mengaguminya, begitupun aku yang menaruh hati padanya.
Bersama Arka, aku mencoba untuk berbagi sambil bertanya.
“Le, apa ada temen di TPQ yang namanya Viki?”
“Ada Bu, celetuknya. Kenapa Bu? ”
“Gak apa-apa, oh ya Viki itu anaknya kayak gimana ya?” Arka kembali menjawab.
“Kasihan Bu, Viki itu sering dibully, diolok-olok, dipukul, diketawain. Soalnya dia itu jahil, tidak menyenangkan dan gak nyambungan anaknya.” Auto deg pikirku. Ya Allah berarti selama ini Viki mendapat perlakuan tak menyenangkan.
Berbekal dari penjelasan si Arka. Aku mulai berdamai dengan diriku sendiri. Aku mencoba untuk berempati. Mencari tahu apa yang sedang terjadi pada si Viki. Aku banyak searching, diskusi dengan teman-teman yang memiliki buah hati istimewa, juga mengikuti berbagai webinar untuk menguatkan dugaan sementara tentang si dia. Hingga pada suatu titik, berbagai informasi saya kumpulkan, kemudian saya rangkai, baru saya membuat sebuah premis.
Di hari itu juga aku sampaikan pada diri sendiri bahwa Viki adalah anak spesial, dia istimewa dan cukup berharga. Dia tidak layak dibanding-bandingkan dengan anak lain. Karena setiap anak memiliki kekurangan juga keistimewaan masing-masing.
Dengan optimis kubangun keyakinan. Bahwa kita pasti bisa.Aku mulai menggiatkan diri mencari literatur, metode pengajaran, dan cara berkomunikasi yang baik dengan si Viki. Aku jalani hari-hari dengan senyum dan cinta.
Pekan kedua berlalu, belum nampak juga perubahan yang ku rasakan. Masih hampir sama dengan pekan sebelumnya. Setiap kali dia datang aku selalu berdoa, ” Ya Allah kuatkan aku, jadikan aku pendidik yang sabar dan penyayang .” Kadang kasihan melihatnya, kadang juga geregetan melihat tingkah anehnya. Tetapi karater pendidik harus memiliki jiwa yang lapang, kesabaran yang tak berbatas.
Memasuki pekan ketiga, dengan lembut dan sabar ku terus mengajar. Meskipun tanpa terasa emosi terus mengejar. Tapi, lagi-lagi aku harus bertahan. Pekan ketiga ini aku mulai mengajaknya menulis setelah dua minggu neter dia dengan berkenalan huruf dan membaca suku kata pendek. Menulis satu dua huruf kemudian dirangkai menjadi satu kata saja susahnya minta ampun.
Wajar saja jika kakeknya pernah bercerita, kepala si Viki sering dijentusin ke meja gegara sulit bacanya kebangetan. Kakeknya selalu bilang, Viki ini anak bodoh, sudah berapa kali les privat tapi tetap saja tak bisa. Semua guru di sekolah sudah kuwalahan.
Kucoba tepis semua anggapan orang tuanya, guru les privatnya maupun guru sekolahnya. Aku selalu mengingatkan diri ini bahwa Viki adalah anak spesial, dia istimewa. Kalau aku men-stigma Viki seperti mereka, siapa yang akan mengeluarkan Viki dari gulita menuju pelita.
Seandainya aku menyerah, julukan apa yang cocok untuk pendidik sepertiku. Ah tak pantas aku berpasrah sebelum mengotimalkan segala ikhtiar dan doa. Aku kembali mencari cara yang mampu menembus kebekuan dalam kejumudan.
Hingga akhirnya datang juga pekan keempat. Pekan terakhir dalam hitungan bulan yang sangat aku risaukan. Pertanggungjawaban apa yang akan kuberikan kepada orang tuanya, gumamku lirih.
Di awal minggu keempat kembali ku membangun optimisme yang mulai runtuh setelah menyaksikan kenyataan tiga pekan tanpa perubahan. Perjalanan ku lanjutkan dengan penuh deg-degan. Terus melangkah walau hati ini tak henti membasah.
Siang ini adalah hari terakhir pekan keempat. Hari yang sangat aku takutkan jika ia tak kunjung paham. Dia datang mengucap salam, sebagaimana hari-hari sebelumnya. Segera ku bergegas untuk menemui dan siap belajar.
“Kamu sudah datang le, sudah makan belum?
“Sudah,”jawabnya sambil mengangguk. Kupandang dalam-dalam wajah polosnya seraya berdoa, ” Ya Allah mudahkanlah jalannya “. Kulempar senyum, “mulai ya nak kita belajar membaca seperti kemarin.” Dia jawab,
“Iya, tapi membaca yang panjang-panjang ya. Aku tadi di sekolah bisa baca. Aku disuruh maju sama pak guru, awalnya malas untuk baca tapi ternyata aku bisa dan mudah.”Jawabannya membuatku tercengang, kembali mengundang gerimis hati yang sudah mendung sejak pertama dia datang.
Mashaa Allah. Sejak awal aku mendampinginyaa cukup menguras air mata. Diamku sebulan yang lalu karena menahan rasa sakit dalam dada tersebab ketidakpahamanku tentang dia, sambil berjalan ku belajar memahaminya, berdamai dengan keadaan dan berupaya membangun positif thinking bahwa setiap anak itu istimewa pada tempatnya.
Tepat sebulan berlalu, hari ini Allah kembali menganugerahkan air mata. Namun ini adalah air mata haru, air mata bahagia. Setelah bersama berjuang, akhirnya secercah harapan itu mulai terpancar.
Meski belum sepenuhnya, tapi kami sangat menghargai setiap inchi perubahan. Meski belum sempurna, tetapi selalu ada kebanggaan di setiap proses yang engkau torehkan. Di luar dugaan, dia bisa membaca bahkan menulis meski belum lancar sepenuhnya.
Tak terasa air mata ini benar-benar menetes untuk si Viki. Seringkali aku membersamai anak-anak seusianya, tetapi rasanya tak begini. Viki yang awalnya kukira menyebalkan, kini mendapatkan tempat tersendiri di sudut hati ini.
“Ya Allah terima kasih engkau hadirkan Viki dalam kehidupan kami. Maafkan Bu Putri jika masih trial and error dalam membersamaimu le,” hatiku membatin.
Segera kutatap dengan wajah optimis, “Kamu Hebat Nak, Kamu Hebat, Kamu Luar Biasa.” Man Jadda wa Jadda. Siapa yang bersungguh-sungguh dia akan berhasil. ALLAH Akbar, Allah Maha Besar, Allah Maha Baik. Dia tersenyum.
“Semangat ya le,” ucapku. Selalu ada cerita dalam setiap goresan pena. Setiap anak adalah istimewa tergantung kita memandang dari sudut pandang yang mana. Semoga kita dimudahkan menjadi seorang pendidik yang berkarya dengan penuh cinta. Man Jadda Wa Jadda. Wallahu’alam bi ash-showab.[]
Comment